Simpang Rangkaya, sebuah persimpangan hasil persilangan jalan umum dengan jalan perusahaan asing ExxonMobil penyedot gas di daerah kelahiran saya sejak 1971 yang awalnya diinisiasi oleh MobilOil.
Simpang ini cukup strategis karena mempertemukan pengguna jalan yang datang dari segala penjuru kawasan pedesaan Blangjruen dan sekitarnya. Karenanya, berjejerlah ruko-ruko di keempat kuadrannya, menyapa pengguna jalan.
Pada gilirannya, sekarang ternyata bukan hanya ruko yang menggelayuti pinggir jalan itu, yang menjajakan hampir apa saja yang dibutuhkan, tapi juga komidi putar yang siap menjebak mata anak-anak dan menguras isi dompet jatah belanja orang tuanya.
Tadi malam, Sabtu 28 Januari 2017, saya dengan sepeda motor Jupiter MX butut besutan Yamaha tahun 2007, bersama istri dan anak melintasi persimpangan itu. Nusayba, anak saya yang lucu itu, matanya tiba-tiba tertambat pada komidi putar yang sengaja dihidupkan lampu dan lagunya untuk menarik perhatian anak kecil yang sedang melintas.
Kami sebenarnya sudah melewati komidi putar itu ketika si Nusayba bilang minta naik. "Ayah, eek nyan - Ayah, naik itu," pintanya dengan bahasa Aceh yang patah-patah sambil menunjuk komidi putar yang berupa rangkaian kereta berbentuk helikopter itu.
Di saat saya sedang berkonsentrasi menatap ke depan, istri sayalah yang duluan menyadari permintaan anak kami akan komidi putar. Saya kemudian diberitahu. Sebagai ayah yang baik hati yang cinta anak-istri, rem sepeda motor saya injak, setangnya saya banting memutar ke belakang, menuju komidi putar yang belum berputar itu, tapi lampu dan lagu sudah dihidupkan.
"Padup sigo eek, Kak? - Berapa sekali naik, Kak?" tanya saya pada seorang perempuan yang sedang duduk di sisi komidi putar itu sesaat setalah kami sampai di sana.
Alih-alih mendapatkan jawaban, pinggang saya malah dicolek istri dari belakang, bilang, "Bi, itu bukan pemiliknya. Itu tetangga kita di Blang Bidok. Itu anaknya yang sedang duduk di komidi. Dia sedang menunggu anaknya."
Yang ditanya tertawa, bilang ke kami, "Dia mau duduk saja. Nggak mau diputar. Takut. Itu pemiliknya." Kemudian ia menunjuk ke arah pengomidi yang sedang berjalan mendekati kami.
Nusayba saya naikkan. Duduk di bangku helikopter jejadian itu. Komidi diputar. Anak yang tadi menangis takut. Komidi dihentikan. Anak itu diturunkan. Maka tinggallah si Nusayba sendiri menghuni salah satu deretan helikopter yamg kosong itu. Tadi malam memang sedang sepi. "Pengaruh cuaca," kata abang komidi putar.
Kami hanya mengamati tingkah si Nusayba beraksi memutar-mutar stir helikopter sambil tertawa dan bilang "dada" saat melintas di depan kami, kemudian pegang stir lagi setelahnya. Macam benar di helikopter saja tingkahnya. Tapi biarkan saja, untuk ukuran umurnya, belumlah waktunya dia tahu bahwa stir helikopter bukanlah bulat seperti itu.
"Berapa lama sekali naik, Bang?" Pada pengomidi saya bertanya dengan suara nyaring, melawan kerasnya suara lagu Bergek dari komidi. "Sepuluh menit, " jawabnya. Saya tidak menanyakan harga.
Sepeluh menit berlalu. Tombol stop ditekan. Komidi berhenti. Nusayba melihat ke arah kami. Saya mengulurkan tangan, memintanya turun. Dia tidak mau. Tangannya menggenggam keras stir helikopter, berontak tak mau turun. Lampu dan lagu komidi dimatikan agar dia mau turun. Jemarinya saya paksa-bukakan. Lepas. Saya menggendongnya. Dia menangis. Kami tertawa sambil terus melaju pulang dengan bujukan penuh tipuan, "Nggak ada lagi. Sudah dimatikan. Habis baterainya."
Nusayba menatap komidi itu yang terus tinggal menjauh di belakang. Tangisannya mengendur. Namun matanya belum berpindah ke arah lain. Sekitar tiga ratus meter kami pergi, komidi dihidupkan lagi. Lagu Bergek terdengar lagi olehnya. Matanya membulat lagi sambil berseru, "Kajikheun lom, Mak! - Sudah dinyanyikan Lagi, Mak!" Dia pun menangis lagi. Kami tertawa sambil terus melaju sampai komidi putar lenyap dari pandangannya di kelokan jalan.
Sebenarnya bukan kami tak sudi membayar komidi itu sampai sepuluh putaran sekalipun. Tak mahal ongkos komidi putar itu pun. Demi anakku yang jarang-jarang bisa bermain dengan ayahnya. Hanya lima ribu rupiah per sepuluh menit. Tapi masalahnya malam sudah larut. Harus segera pulang. Hawa malam pun lumayan dingin sekarang. Waktunya tidur baginya.
Tangisannya masih tersisa sesenggukan ketika kami sudah tiba di rumah. Nusayba kemudian misuh-misuh mengadu ke kakeknya perkara komidi putar bertuah itu. Kami tertawa. Dia malah menangis lagi sejadi-jadinya sampai akhirnya diam di pangkuan kakeknya.
__________
Hasyiah:
Bergek ("e" pertama diucapkan seperti pada kata "ke" dan yang kedua seperti pada kata "peyek") adalah nama panggung dari seorang penyanyi muda Aceh yang bernama Zuhdi, yang lagunya sangat diminati oleh anak-anak kecil di Aceh. Syair lagunya yang kocak telah dihafal oleh hampir semua anak-anak kecil di Aceh, termasuk anak saya.
Kuadran adalah empat bidang tanah yang diapit oleh dua buah jalan yang saling bersilangan yang membentuk simpang empat (perempatan). Tanah kuadran menjadi cukup mahal harganya karena strategis untuk berjualan.
No comments:
Post a Comment