Tuesday, January 31, 2017

Sapaan Bunda di Aceh

Bunda adalah kependekan dari ibunda, yang seharusnya digunakan sebagai sapaan hormat untuk ibu. Namun, dalam dasawarsa terakhir ini di Blangjruen, Aceh Utara, tempat saya dilahirkan, penggunaannya menjadi melenceng. Bunda lebih ditujukan untuk menyapa istri dari paman, yang seyogianya dalam bahasa Aceh disapa dengan mak cek (mak cik) dan ma bit (mak kecil).

Entah siapa yang memulai, sapaan bunda membanjiri daerah saya dengan penggunaannya yang lumayan keliru itu. Tak terkecuali, keluarga saya juga terseret ke dalam arus itu. Di sini bunda-di sana bunda. Di mana-mana terdengar bunda.

Dulu ketika saya mengusulkan agar kemenakan saya memanggil istri saya sebagai ma bit atau mak cek, saya kalah pendukung. Termasuk istri saya mungkin tidak mau dipanggil ma bit atau mak cek. Akhirnya, istri saya juga dipanggil bunda oleh mereka.

Sekarang malah lebih unik lagi, sapaan bunda yang sudah terlanjur keren untuk sapaan istri paman, istri uak pun mau dipanggil dengan sapaan bunda. Alasannya cukup sederhana, kedengaran tua sekali kalau dipanggil mawa (mak ua). Karenanya, dipanggil bunda lagi.

Menurut pengamatan saya, perkara sapaan khas Aceh yang mulai ditinggalkan bukan karena kedengaran tua atau tidaknya, tapi memang kita orang Aceh ini lumayan lama dulu menganggap bahasa Aceh sebagai bahasa kampungan. Ini sama gobloknya saat dulu kita menerima tuduhan Belanda bahwa nenek kita buta huruf.

Mana ada orang Aceh yang buta huruf. Jauh sebelum Belanda datang, nenek kita sudah mengenal tulis-baca dengan aksara Arab dan Arab Jawi. Namun, ketika kita tidak menggunakan huruf latin yang mereka pakai, kita malah dianggap buta huruf. Yang buta itu mata mereka!

Terkait masa suram penggunaan bahasa Aceh, masih ingat tahun 80-an? Saya masih. Ketika kecil dulu pada suatu hari saya datang di kota Lhokseumawe, saya kesulitan membeli es krim karena belum bisa berbahasa Indonesia. Bayangkan, untuk membeli es krim saja bahasa Aceh sudah tak level lagi kala itu. Maka kiaskan saja untuk hal-hal lain ke atasnya.

Ini bukan artinya saya anti-bahasa Indonesia. Bukan itu maksud saya.Tapi mengagungkan suatu bahasa sampai-sampai menganggap rendah bahasa lain, itu yang saya lawan.

Untuk diketahui, kerajaan Aceh baru mulai goyang pada tahun 1873 ketika Belanda menyerang kerajaan Aceh yang entah apa maksud dan tujuannya. Mungkin sebab gatal saja tangan mereka untuk berperang, sehingga orang Aceh melayani keisengan mereka dengan berperang mati-matian sampai 1919 dan dilanjutkan lagi pada 1942. Jadi, sebelum 1874, kerajaan Aceh masih sebuah negara berdaulat. Bahkan, kemerdekaan Belanda pun salah satunya kerajaan Acehlah yang mengakuinya.

Lama dari tahun 1874 sampai sekarang, dalam rentang waktu sejarah, tak berlebihan jika saya bilang bahwa kerajaan Aceh baru kemarin sore runtuh. Jadi, jangan berlagak bego menjadi orang Aceh dengan menganggap bahasanya sendiri sebagai kampungan.

Tapi santai, sekarang kita bisa lumayan tenang tentang hal itu. Bahasa Aceh sudah mulai marak lagi digunakan di kantor-kantor resmi pelayanan publik sekalipun. Orang-orang tua sekarang tak perlu takut berbahasa Aceh dengan dokter dan petugas di rumah sakit.

Namun, sisa-sisa zaman kegelapan penggunaan bahasa Aceh masih juga bisa didapati sampai sekarang. Termasuk di dalamnya, keengganan menggunakan sapaan khas Aceh seperti ma bit, ma wa, mak cek, abu wa (uak laki-laki), ayah bit (paman), dan lain sebagainya.

Entah kapan sapaan-sapaan khas Aceh itu diminati lagi dan kita bisa mengembalikan sapaan bunda pada tempatnya yang benar, yaitu sapaan hormat untuk ibu, bukan untuk mahluk Tuhan yang lain.
__________
Hasyiah:
Dasawarsa adalah masa sepuluh tahun.

No comments:

Post a Comment