Kesimpulannya, selama empat tahun saya studi doktor di NKUAS yang saya cintai ini, saya sukses menghasilkan tiga karya ilmiah (paper) yang terindeks di SCI (Science Citation Index) dan tiga paper yang terindeks di EI (Engineering Index).
Tentang SCI dan EI ini, bagi yang belum tahu, mudah bilangnya begini, kalau sebuah paper terindeks di SCI, itu artinya paper tersebut isinya berupa tulisan hasil penelitian yang serius dan sulit. Sementara paper yang terindeks di EI berisi tulisan dari sebuah penelitian yang sederhana, tak begitu sulit.
Sejatinya, syarat ikut sidang doktor di NKUAS untuk angkatan saya (2013), cukup hanya dengan dua paper EI. Tapi untuk angkatan baru, maka mereka membutuhkan minimal satu paper SCI dan satu IE, lebih berat.
Syarat-syarat tersebut itu tentunya syarat minimal untuk mencapai kelulusan. Kadang kala professor tidak mau meluluskan mahasiswanya dengan standar minimal tersebut. Ia pengin yang lebih, misalnya tiga SCI, empat, atau malah lima. Semua itu tergantung professor.
Nasib kita sebagai mahasiswa doktor mutlak ada di tangan professor. Atau biar tidak dituduh tak bertauhid, bilangnya begini, nasib mahasiswa doktor mutlak ada di tangan Allah swt yang diwujudkan-Nya di tangan professor.
Dalam kesuksesan kuliah doktor ini, saya termasuk anak yang cukup beruntung. Professor saya, bersedia meluluskan saya dengan hanya dua paper EI. Standar yang cukup minimal. Oleh karena itu, tanpa paper SCI pun saya akan diluluskan semester ini. Satu hal yang berdosa jika tak saya syukuri.
Tapi, tiga bulan sebelum sidang sebenarnya profesor saya masih mencemaskan nasib saya. Dia takut kalau-kalau peraturan lulus dengan dua paper EI dan juga jenis paper EI yang diakui pihak kampus, berubah. Dan imbasnya saya tidak bisa naik sidang. Profesor saya cemas. Saya? Jangan tanya lagi.
Namun, secara tiba-tiba dan sungguh di luar dugaan, Allah swt mengangkat derajat saya, yang sebenarnya sudah mulai angkat tangan, menyerah, tak sanggup lagi. Tak lama setelah itu, salah satu paper saya diterima di jurnal SCI dan satu lagi di EI. Maka saat itu kualifikasi saya sudah lebih dari cukup untuk meluluskan doktor.
Saya pun naik sidang pada hari Kamis 20 Juli 2017. Setelah diuji oleh empat Professor, tibalah giliran Profesor saya yang terakhir bicara, bilang, "Usman, paper kamu yang kita ajukan ke sebuah jurnal SCI di Jepang barusan saya dapat e-mail mereka bilang bahwa paper kamu diterima untuk diterbitkan di jurnal tersebut."
“Congratulation–Selamat,” Profesor ketua penguji yang duduk di samping profesor saya, berujar. Tersenyum ke arah saya.
Saya masih mengernyit dahi. Masih bingung, membatin, “Paper yang mana? Jepang?”
“Kamu sudah lupa ya? Kita dulu pernah ajukan sebuah paper ke jurnal tersebut, dan hari ini baru dinyatakan diterima. ” Profesor saya tertawa.
Setelah sedikit menerawang ke belakang, mengais-ngais sejarah penulisan paper saya, baru saya ingat. Benar, saya pernah menulis paper untuk sebuah jurnal di Jepang. Lama sekali tidak ada tanggapan, saya pun melupakannya.
Saat itu sekaligus saya sadar, bahwa sekarang saya sudah mempunyai dua paper SCI. Hidup saya berlalu begitu indah dan jalan saya bak dipenuhi bunga-bunga mulai hari itu. Saya lulus doktor.
Saya sudah sangat bahagia dengan pencapaian saya itu ketika kemarin (26 Juli 2017) Allah swt ternyata masih menambah lagi kebahagiaan kepada saya. Satu lagi paper saya diterima di sebuah jurnal SCI. Jadilah sekarang saya mempunyai tiga paper SCI.
Saya menerawang lagi kisah sedih saya ke belakang, ketika saya sempat membuat status di FB, mengajak teman dan keluarga saya agar siap jika saya pulang kampung tanpa membawa ijazah doktor, pulang kosong.
Bisa dibayangkan, betapa anjloknya semangat saya waktu itu. Saya sudah siap mengibarkan bendera putih, menyerah. Tak tahu bagaimana saya bisa berusaha setelah hilangnya semangat kala itu. Namun, tiba-tiba saja saya sidang, dan lulus.
Ini serius, ajaib. Saya mulai saat itu serasa digiring sekalipun dalam kondisi kejiwaan yang cukup lemah. Ada kekuatan lain. Saya yakin itu adalah doa dari ibu saya. Itulah kekuatan saya selama ini. Saya bersyukur ia masih hidup. Kerap sekali saya memesan doa kepadanya, sampai hari ini.
Ibu saya memang tak tahu SCI, EI, dan apalah tetek bengek itu semua. Tapi dia tahu betul bahwa saya anaknya harus sukses, dan itulah doanya yang mengiringi saya setiap hari, jam, menit, dan detik.
No comments:
Post a Comment