Friday, August 5, 2016

Silaturahmi, "Moto," dan Harga Diri

Semasa lajang dulu, di hari-hari lebaran aku kadang menghilang dari rumah. Masalahnya cuma ingin menghindar dari pertanyaan kapan nikah yang selalu datang bertubi-tubi dari sesiapa saja yang datang ke rumah. Pasalnya, setiap ada saudara yang datang mesti itu yang ditanyakan. Bikin jengkel.

Setelah menikah untung aku cepat dikarunia anak. Karenanya aku aman dari serbuan pertanyaan itu. Tentang anak ini, dipikir-pikir aneh juga sih. Kok ya ada yang tega-tega bertanya kapan punya anak. Memangnya anak itu bisa dibikin kayak tahu bacem? Yang bisa jadi kapan saja mau? Ada-ada saja tingkahmu, Saudara.

Aman dari pertanyaan kapan punya anak, eh, ternyata ada pertanyaan satu lagi yang tak kalah menjengkelkan. Kapan beli mobil!? "Pajan kablou moto ikah, Man? - Kapan kamu beli mobil, Man?"

Aku biasanya hanya tersenyum jika ada pertanyaan yang tak kusukai. Tak berusaha menjawabnya. Berharap obrolan akan mengalir lagi tanpa didahului jawabanku.

Kampretnya, setelah itu ternyata ada keterangan tambahan lagi yang keluar dari mulut mereka: "Si Polan sudah beli mobil, loh." Saya menarik napas panjang. Tak merespons. Kemudian obrolan berjalan lagi. Saya mendengar lagi dengan senyuman ringan penuh takzim. Kelar masalah si Polan, sampailah pada pembahasan tentang si Polin. Ternyata kata mobil meluncur lagi: "Nah, si Polin juga sudah beli mobil, loh, Man."

Duh, Gusti. Yang dibahas, kok, yang pada punya mobil semua? Apakah sebegitu tak menariknya membahas saudara-saudara lain yang tak bermobil? Padahal jumlah mereka lebih banyak dan susah-susah lagi hidupnya.

Atau mereka sedang menyadarkanku bahwa aku sebegitu gobloknya? Seorang dosen PNS tapi masih menunggang sepeda motor Jupiter MX butut besutan Yamaha yang dipopulerkan Komeng cs itu?

Tapi, mau bagaimana lagi? Aku, ya, seperti ini, Saudara. Pekerjaanku masih terbang-terbang untuk mengejar kuliah. Uang yang terkumpul pun belum berani kupergunakan untuk keperluan konsumtif termasuk membeli mobil yang belum tentu sempat kupakai karena di kampung pun aku hanya sebentar.

***

Memang, baru-baru ini di kampung saya mobil sepertinya bukan hanya dinilai dari kegunaannya sebagai alat transportasi keluarga. Tapi lebih dari itu, ia menjadi pendongkrak harga diri. Pengangkat kasta. Seperti itulah yang sedang kurasakan saat ini.

Harga diri seolah melorot sampai ke titik nadir ketika aku terlihat menunggang sepada motor dan harus meminggir saat dihardik klakson mobil dan berlanjut dengan selimut debu adukan turbulensi udara hantaman mobil yang membuat mataku harus memicing. Perih.

Parahnya lagi, tak seorang pun yang menanyakanku kapan aku membangun rumah. Bayangkan, rumah saja kalah pamor dengan mobil. Padahal saya masih numpang di rumah mertua, loh.

Itu...!

Ditulis pada tanggal 9 Juli 2016

No comments:

Post a Comment