Berbeda dengan kunjungan pertamaku 22 tahun lalu, kunjungan kali ini aku merasa bahagia. Ini karena suasana lebaran masih terasa di rumah bersejarah ini. Pengunjungnya banyak. Beberapa kios darurat pun muncul untuk menjajakan makananan dan minuman.
Petugas parkir terlihat sibuk mengatur kendaraan pengunjung. Tak lupa, di pintu masuk mereka mengitutip uang parkir 3 ribu Rupiah dan diganti dengan satu lembar kwitansi.
Walaupun sudah agak sore, pintu rumah masih dibuka sehingga aku bisa masuk ke dalam untuk melihat-lihat isinya. Ini menarik karena dulu aku tak sempat masuk ke dalam rumah ini karena tak ada yang membuka pintu kala itu.
Namun, sampai di dalam aku agak kecewa melihat kondisi di dalam rumah ini. Hampir tak ada benda-benda bersejarah kecuali gambar-gambar yang sebagian besarnya tak berketerangan dan bahkan ada yang tak terlihat lagi gambarnya karena sudah luntur dan uzur.
Tapi kekecewaanku sedikit terobati dengan adanya papan besar yang berisi bagan silsilah keturunan Cut Mutia. Karena inilah yang menjadi pertanyaanku selama perjalanan dari rumah tadi. Saya ingin sekali tahu apakah masih ada keturunan Cut Mutia di sekitar rumahnya ini?
Gayung bersambut, saat aku sedang asyik melihat papan bagan silsilah yang berisi nama-nama yang tak kukenal selain Cut Mutia, tiba-tiba datang seorang perempuan muda menunjuk nama ayahnya yang tertulis di deretan cucu Cut Mutia.
"Ayah saya di mana ya di sini? O, ini," ujar perempuan itu sambil menunjuk ke atas nama ayahnya, kemudian diiyakan oleh temannya.
Dari bagan itu kuketahui bahwa ayah dari perempuan ini adalah cucu dari Teuku Muhammad Syah, yang merupakan saudara laki-laki dari Cut Mutia. Jadi, perempuan ini bukan cicit Cut Mutia langsung, tapi cicit saudara laki-lakinya.
Sekalipun demikian dia masih masuk dalam keluarga besar Cut Mutia. Dan dari dialah tadi aku mendapat informasi tentang keturunan Cut Mutia. Dari pengakuannya, dia sekarang tinggal di Desa UD Matangkuli, tak jauh dari rumah ini.
Dari dialah kuketahui bahwa masih ada cucu Cut Mutia yang masih hidup, salah satunya adalah Cut Zuraida yang sekarang menetap di Lhokseumawe. Dulu beliau tinggal di desa Beureughang, Kecamatan Tanah Luas, Aceh Utara. Hanya sekilometer dari rumahku di Blangjruen.
Saya juga sempat diperlihatkan foto terbarunya yang diambil beberapa hari lalu. Beliau masih terlihat cantik jelita walau sudah sangat sepuh. Cut Zuraida ini adalah satu-satunya cucu Cut Mutia yang tinggal di Aceh. Selebihnya menetap di Jakarta, termasuk Teuku Johan dan Cut Nursiah yang sudah almarhumah.
Tentang Cut Nursiah ini ada kabar menarik yang mungkin tak banyak orang tahu. Tapi saya diberitahu tadi. Jika kita masuk ke rumah Cut Mutia dan belok kiri sedikit, kita akan milihat sebuah lukisan wajah Cut Mutia. Siapa sangka, ternyata wajah yang dilukis itu sebenarnya wajah Cut Nursiah, bukan Cut Mutia.
Hal ini karena tidak adanya foto Cut Mutia yang berhasil ditemukan. Sehingga untuk melukis wajah Cut Mutia diperlukan seorang model yang dinyatakan mirip dengan baliau. Dan berdasarkan keterangan pihak ahli waris, ada satu cucunya yang sangat mirip Cut Mutia dan itu adalah Cut Nursiah. Sehingga dialah yang menjadi model dari lukisan Cut Mutia yang terpampang di rumahnya di Pirak sekarang.
Dari penelusuran saya selanjutnya, Cut Mutia ini sebenarnya bukan anak dari hulubalang besar, dia merupakan anak dari hulubalang empat Pirak yang merupakan daerah di bawah kekuasaan hulubalang delapan yang lebih tinggi. Hulubalang empat diberi gelar Teuku Ben, sehingga ayah Cut Mutia dikenal dengan Teuku Ben Daud.
Hulubalang delapan yang dikenal dengan hulubalang Keureutoe yang membawahi beberapa hulubalang, termasuk hulubalang empat Pirak, diberigelar Teuku Chik. Dan yang paling terkenal adalah Teuku Chik Di Tunong, yang tak lain adalah suami Cut Mutia.
Dari buah cinta Teuku Chik Di Tunong dan Cut Mutia inilah lahir pewaris tahta hulubalang Keureuto, yaitu Teuku Raja Sabi. Dari beliaulah lahir keturunan Cut Mutia yang masih ada yang hidup sampai sekarang, termasuk Cut Zuraida yang aku lihat fotonya tadi sore.
Tentang rumah Cut Mutia ini, dari keterangan cicitnya tadi, rumah aslinya sudah dibongkar dan dibawa ke Jakarta. Dan sekarang ada di Taman Mini Indonesia Indah (TMII). Baru tahu, ternyata rumah adat Aceh yang ada di TMII sekarang adalah rumah asli Cut Mutia yang diangkut ke sana.
Kemudian terkait perabotan rumah Cut Mutia, dari keterangannya lagi, dulu ketika ahli waris mendengar Cut Mutia telah syahid di tangan Belanda, ada beberapa isi rumahnya yang sempat diselamatkan dan banyak juga yang hilang.
Untungnya, yang sempat diselamatkan itu, sekarang oleh pihak ahli waris sudah diserahkan ke pemerintah untuk dipajang di rumah Cut Mutia sekarang di Pirak. Namun, karena alasan tempat yang belum aman, maka perkakas itu masih belum diambil oleh pemerintah. Dibiarkan agar tetap dijaga oleh ahli waris sampai ada tempat pajangan yang aman.
Semoga masih banyak perabotan lain yang dulu sempat diselamatkan oleh pihak keluarga dan diberikan lagi ke pemerintah agar bisa kita lihat sekarang. Agar kita tahu bahwa dulu kita mempunyai pemimpin yang tangguh mempertahan harga diri sebagai bangsa, lebih-lebih untuk warga Aceh Utara.
Karena tadi juga disampai kepada saya bahwa salah satu cucunya, Teuku Johan, yang masih hidup di Jakarta menyimpan foto asli Cut Mutia. Semoga saja ini benar adanya, sehingga kita bisa tahu wajah asli Cut Mutia. Bukan lukisan yang dimodelkan oleh cucunya.
Dari kiri: Saya, istri saya, cicit dari abangnya Cut Mutia |
Salah satu sudut di dalam rumah Cut Mutia |
Lukisan Cut Mutia yang dimodelkan oleh cucunya, Cut Nursiah |
Salah satu gambar di dinding rumah yang sudah luntur. |
Papan nama Rumah Cut Mutia |
Tugu di pekarangan Rumah Cut Mutia |
Kroeng, tempat penyimpanan padi. |
Jingki, penumbuk padi |
No comments:
Post a Comment