Sunday, January 17, 2016

Ternyata Murah. Pengalaman Pertama Makan Di Bandara Taoyuan, Taiwan

Baru kali ini aku makan di bandara Taoyuan, Taipei. Ternyata tak mahal. Hanya 160 NTD per porsi nasi lemak kari ayam. Murah sekali ini. Mengingat, sekali makan di warung Indonesia saja bisa lebih dari ini. Padahal ini kan di bandara?

Apa yang dikatakan Ayub, seorang mahasiswa master NKUAS berhobi jelajah asal Banjar, ternyata benar. Di sini, Taiwan, harga barang antara di luar dan dalam bandara tak terpaut jauh. Atau malah sama. Hari ini saya membuktikannya.

Sebenarnya aku tak sengaja untuk membuktikan ini. Ini hanya terpaksa saja akibat telat keluar ke stasiun Kaohsiung tadi siang. Sehingga ritual biasa yaitu makan siang di warung Pak Zainal sebelum berangkat, sungguh tak terkejar lagi.

Aku yang tak pernah makan pagi tentu agak sedikit tersiksa dalam perjalanan pulang kali ini. Jangankan untuk makan, untuk beli roti saja tak sempat lagi karena bus yang mau kutumpangi segera mau berangkat pas aku tiba di terminal.

Saking laparnya, dengan sangat terpaksa, aku harus mengorup kue Mochi yang sejatinya untuk oleh-oleh buat istri dan keluargaku. Saya makan lima buah, lumayan menenangkan perut yang sudah begitu bergejolak dari tadi.

Sekitar pukul empat sore Ubus berhenti di sebuah terminal besar yang banyak menjual makanan. Saya turun dan berniat ingin membeli sesuatu yang bisa mengenyangkan. Sampai di toko itu aku melirik ke rak nasi kotak. Indah sekali penampakannya.

Tapi sayang, pemilik warung ini sangat murah hati, di setiap kotak nasi pasti dikasih irisan berwarna merah semacam sosis yang setelah kutanya ke kasir, ternyata daging babi.

Wajahku lesu sejenak mendengar pengakuan kasir itu. Sampai akhirnya pandanganku menangkap sebuah wujud mahluk Tuhan yang selama ini aku sukai: jagung rebus. Iya, jagung rebus. Dengan sigap aku merengkuh dua jagung yang ukuran panjangnya sejengkal orang dewasa ini.

Setelah membelinya saya langsung meluncur ke bus lagi dan memakannya sampai habis dua-duanya. Sambil makan, lagu Bang Haji Rhoma Irama tumpah ke telingaku melalui corong dengar dengan setelan suara rendah. Perlahan-lahan suaranya menghilang dan aku pun tertidur.

Aku terbangun ketika spiker bus mengeluarkan pengumuman bagi penumpang yang mau ke bandara agar siap-siap turun dan melanjutkan dengan bus selanjutnya di terminal Zhongli yang lagi akan sampai sekejap lagi.

Saya menghela tas dan kantong keresek yang berisi kue mochi setelah bus berhenti di terminal Zhongli. "Bandara, kah?" tanya petugas bus yang sudah menunggu di depan pintu. "Iya," jawabku. "Itu busnya. Silakan naik. Ada bagasi?" ujarnya dan sekaligus mengingatkan bagasiku. "Tak ada, hanya tas ini," pungkasku.

Sepuluh menit kemudian aku sampai di terminal dua bandara Taoyuan. Tapi aku dapat jatah pesawat di terminal satu, jadi harus menunggu sesaat lagi. Ini termasuk yang aneh ketika naik bus ke bandara. Duluan sampai terminal dua daripada satu. Jadi, jangan salah turun, lho.

Sampai di terminal satu suara perutku melengking lagi. Lapar. Saya langsung belok ke kanan, ke zona yang dipenuhi warung makan, sementara ruang check in pesawat harus belok kiri dan naik ke lantai dua melalui tangga berjalan.

Setelah dua kali bolak-balik dari ujung ke ujung di deretan warung makan, langkahku akhirnya terhenti pada sebuah warung bernama CITIES. Di dalamnya ada pamflet bertuliskan Singapore Malay Cuisine. Nah, ini cocok. Ada tulisan Malay-nya. Insya Allah halal. Atau minimal tak ada babi. Atau minimal lagi, mereka tahu bahwa aku ga main-main dengan babi.

Saya pesan nasi kari ayam. Setelah aku makan baru kutahu ternyata nasinya adalah nasi lemak. Rasanya gurih, segurih nasi lemak Pak Nasser dalam pesawat AirAsia. Cuma di sini ada keunikan sentuhan cita rasa Taiwan dengan tambahan bunga kol dan rebung dengan saus kecap.

"Saya ga makan babi," saya bilang ke pelayan itu sambil memilih menu yang ada di depan kasir.

"Bukan. Ini daging ayam," jawabnya.

"Ini apa?" tanyaku sambil menunjuk ke salah satu gambar di daftar menu.

"Ini kari ayam," sahutnya

"Ok, aku mau ini. Ini harganya, kan?" saya menyetujuinya dan sekaligus mengklarifikasi harga sambil menunjuk ke atas harga yang ada di atas gambar menu. Di situ tertulis 160 NTD.

"Iya benar. Ini harganya. 160 NTD. Ini tokennya. Dua menit lagi selesai," jawab pelayan mengiyakan dan memberikanku token yang akan berbunyi jika pesananku selesai nantinya.

Saya membawa token itu ke tempat duduk. Tapi, belum saja aku melangkah, gerakanku langsung terhenti.

"Heh. Bayar dulu!" ujar pelayan itu sambil menggesek-gesekkan jempol dengan jari telunjuknya.

"O, he-he-he. Maaf," aku tertawa tersipu sambil mengeluarkan uang kertas 100 NTD dua lembar.

Setelah itu aku langsung bergegas ke meja makan. Tak lama kemudian, seperti janjinya, yaitu dua menit, masakan pesananku pun selesai. Token berdering dan bergetar kuat. Sampai berputar-putar di atas meja. Aku bingung. Gimana matiinnya ini!? Eitss! Tenang! Ternyata dia mati sendiri setelah kenyang berteriak dan berputar-putar.

Aku mengambil nasi kari ayam itu. Nasi rapelan dari pagi, siang, dan malam. Dan, mungkin saja sampai untuk makan pagi besok.

Token
Sajian nasi kari ayam
Penampakan warung makan CITIES dari depan

No comments:

Post a Comment