Friday, January 22, 2016

Romantika Mati Lampu Di Banda Aceh

Tak tahu apakah aku harus marah? Kurasa tak perlu marah. Kan aku sudah tahu kalau negeriku masih krisis dalam segala hal, termasuk krisis energi listrik?

Malam kemarin wajar jika listrik yang disuplai dari Medan itu tak sampai menjangkau Aceh karena kabelnya putus disengat panas kebakaran pabrik kayu yang tepat berada di bawahnya.

Namun, aku kaget juga ternyata di Blangjruen listrik sudah mati sehari sebelum peristiwa kebakaran ini dan sudah pasti berlanjut setelah peristiwa melelehnya kabel pasca kebakaran itu.

Saat tulisan ini aku buat , di Banda Aceh, tepatnya di Lambaro Skep, listrik sedang mati juga. Dan sudah berlangsung selama satu jam.

Tetanggaku yang punya jenset sudah menghidupkannya. Aku yang tak ber-jenset diam saja sambil sesekali melirik ke arah lampu yang sengaja aku hidupkan sebagai penanda jika listrik hidup nantinya.

Walaupun tak semenderita seperti mati listrik di waktu malam, ternyata mati listrik di waktu siang, apalagi saat waktu masak, benar-benar menjadi momok buat ibu-ibu rumah tangga, termasuk istriku.

Betapa tidak, senjata andalan ibu-ibu, yaitu blender, tak dapat digunakan dan mereka harus menggiling bumbu masak dengan batu gilingan yang sudah malas sekali untuk disenteuh. Apalagi istriku, sama sekali tak menyediakan batu gilingan di rumah kosnya di Lambaro Skep.

Mati lampu malam, seperti malam kemarin yang mati lampu semalam suntuk, lebih parah lagi. Kami tak bisa tidur sampai pagi karena si Nusayba nangis kepanasan dan minta dikipasin terus. Dan, kami pun mengipasinya sampi pagi. Hebat, kan? Ke Aceh lah, jika ingin dizaman-batukan.

"Bi, lampu mati," ujar istriku yang sedang merajang bawang di dapur ketika dia melihatku menghampirinya.

Waktu itu aku baru saja pulang setelah mengajak main si Nusayba mutar-mutar kawasan Lampriet dengan sepeda motor agar ia tak mengganggu ibunya memasak. Dia kugendong dengan kain gendongan yang mirip kantpng kanguru itu. Setengah perjalanan dia sudah tertidur pulas.

"Duh, terus ga bisa menggiling bumbu?" tanyaku balik.

"Iya," jawabnya seraya terus merajang bawang.

"Saya masak sayur saja dulu, ya? Dan aku dadar telur. Jadi, kamu bisa makan saja dulu," tambahnya memberikan solusi untuk mengisi perutku yang masih kosong karena tak makan sedari pagi.

"Ga, ah! Aku tunggu saja listrik menyala. Aku mau makan kuah santan itu," jawabku sambil menarik bantal dan tidur di depan televisi mati.

Sejurus kemudian pikiran zaman 70-an-ku muncul. Aku menghampiri istriku di dapur dan berucap: "Mi, kita minta giling di rumah tetangga aja gimana? Tinggal bawa blender ke sana," kataku dengan mata berbinar-binar dan wajahku mengisyaratkan ke arah rumah tetangga yang suara jensetnya menderu dari tadi.

"Jangan, ah! Malu!" sahut istriku dengan nada keras.

Cahaya mataku meredup mendengar jawaban keras istriku itu. Aku mulai berpikir kemungkinan solusi lain. Tak sampai dua menit istriku mendengar suaraku dari ruang tengah.

"Mi, aku beli bumbu yamg sudah jadi saja, ya?" pekikku menerobos suara jenset tetangga menyeruak menuju ruang dapur.

"Ok lah, kalau gitu," jawab istriku.

Aku pun meluncur ke pasar kecil Lambaro Skep menuju lapak bumbu masak Wak Munah, si peracik bumbu masak untuk 97% warga Lambaro Skep. Hanya dua menit badanku sudah terpancang di depan lapak bumbu itu.

"Mau beli bumbu apa?," tanya Wak Munah.

"Aku mau bumbu kuah ikan pakai santan. Ikannya dua buah. Ikan itu," jawabku sambil menunjuk ke arah ikan yang berjejer-jejer di lapak ikan di mana aku membelinya tadi. Kebetulan lapak ikan itu tepat berada di depannya.

Aku melihat dia meracik bumbunya dengan gaya khasnya. Tak kuketahui apa saja yang dicampurnya. Warnanya ada yang kuning, coklat, dan putih. Dan, ada juga yang berwujud serbuk, yang juga puspawarna.

"Nanti sampai di rumah dikasih belimbing wuluh sedikit, ya" ujarnya memberitahu bumbu tambahan yang tidak termasuk dalam paket bumbu racikannya.

Aku mengiyakannya. Dan, setelah membayar empat ribu rupiah, aku pun pulang dengan sepeda motor metik pinjaman mertua untuk istriku yang masih kuliah di Banda Aceh.

"Mi, ini bumbunya. Kata Wak Munah, suruh tambah belimbing wuluh sedikit," ujarku sambil menyodor bungkusan bumbu segera setelah sampai di rumah.

Aku lupa istriku menjawab apa saja tentang perkara tambahan belimbing wuluh itu. Tapi kayaknya dia tak menanggapi anjuran Wak Munah itu. Dia langsung memeras santan setengah buah kelapa yang kubeli tadi.

Setelah itu aku sibuk sendiri di ruang tengah. Tak tau lagi apa yang dikerjakan istriku di dapur. Setengah jam kemudian aku dapat kabar bahwa kuahnya sudah masak. Dan saatnya aku makan sekarang.

Lampunya juga sudah hidup lagi. Tapi jenset tetangga masih hidup. Sepertinya dia tak tahu kalau energi yang lebih murah sudah datang.

Ditulis pada 19 Januari 2016

No comments:

Post a Comment