Kemarin teman sekamar saya yang baru pulang dari Vietnam memberikanku mi instan produksi Vietnam. Saya biasanya menolak jika diberi mi karena memang saya tak begitu suka makan Indomi dan sebangsanya.
Karena setengah dipaksa, maka aku pun mengambilnya. Tak tahu kapan aku akan memasaknya karena dapur pun aku tak punya. Pilihan satu-satunya tentu dengan cara menyeduh dengan air panas yang bisa aku ambil di mesin-mesin air yang bertebaran di beberapa sudut bangunan kampus.
Tapi lagi-lagi aku sebenarnya tak begitu suka mi instan seduhan air panas. Rasanya, menurut saya, beda sekali dengan yang dimasak. Mi instan jika dimasak agak kenyal, sedangkan jika hanya diseduh air panas, mi hanya membengkak dan tak kenyal. Akhirnya, mi ini pun kumakan mentah saja. Caranya tentu masih ingat, kan? Remukkan, kasih bumbu, dan mi siap dimakan seperti kerupuk.
Mi instan yang diberikan teman Vietnam ini terpaksa aku terima, karena alasan tak halal yang biasa kugunakan untuk menolak makanan, tak bisa kupakai kali ini. Mi instan ini ada logo halalnya dari Islamic Community of Ho Chi Minh, Vietnam. Memang beberapa makanan produksi Vietnam mempunyai logo halal dari komunitas Muslim setempat. Jadi, terpaksa mi ini aku terima. Walaupun setelah itu aku bingung kapan dan bagaimana aku harus memasaknya. Yang akhirnya harus kumakan mentah.
Eh, berbicara tentang makan mi instan mentah, aku jadi ingat percakapanku dengan teman kecilku dulu, yang sampai sekarang masih terngiang-ngiang di telinga. Suatu hari aku mengomentari serbuk cabai yang hanya sedikit dibandingkan dengan bumbu yang ada dalam bungkus mi instan.
Saya bilang ke teman kecil dulu, "Kop diet jiboh capli lee pabrik mi nyou." (Sedikit sekali serbuk cabai dikasih sama pabrik mi ini). Teman saya menjawabnya dengan penuh percaya diri, "Nyan keuh. Hanjiteujeut boh loe that. Yoe kop keu'eueng aneuk gop." ( Itu lah. Tak berani dia memberi banyak cabai. Ditakutinya akan membuat anak orang kepedasan).
![]() |
Mi instan Vietnam dengan logo halal di pojok kiri bawah |
![]() |
Mi instan sesudah kuremukkan dan kubumbui |
No comments:
Post a Comment