Saturday, April 8, 2017

Pliek Dalam Bahasa Aceh, Bukan Patarana Dalam Bahasa Indonesia

Banyak yang menyangka bahwa pliek, yang merupakan salah satu bumbu khas Aceh dengan rasanya yang juga khas itu, disebut “patarana” atau “batarana” dalam bahasa Indonesia. Padahal tidak demikian kenyataannya.

Kata “patarana” tak pernah ada dalam bahasa Indonesia. Artinya, lema tersebut tidak terdapat di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Pun dalam kamus Aceh-Indonesia tidak disebutkan padanannya, melainkan hanya definisinya belaka. Jadi, patarana itu bahasa apa? Saya pun tak tahu.

Untuk rekan-rekan yang bukan Aceh, baik saya beritahu di sini bahwa pliek itu adalah daging kelapa yang sudah diperam sampai busuk untuk diperas minyaknya kelak. Namun, jika pliek ini diniatkan untuk bumbu sayur “kuah pliek”, maka ia tidak akan terlalu diperas. Kandungan minyak di dalam pliek dibiarkan ada sedikit, jangan kering.

Saya sebagai blogger yang gatal tangan jika tak menulis, tentu sudah lama mencari padanan kata pliek dalam bahasa Indonesia. Hasilnya, saya tidak mendapatkannya. Oleh karena itu, dalam beberapa tulisan saya yang harus melibatkan kata pliek, saya tetap menyebutnya sebagai pliek, bukan patarana atau petahana, eh, batarana!

Selanjutnya jika kata pliek itu saya pakai, untuk tidak membingungkan pembaca non-Aceh, maka biasanya di bawah tulisan dimaksud, saya cantumkan hasyiahnya untuk menjelaskan definisi pliek tersebut sebagaimana saya singgung di atas.

Hal ini saya lakukan karena, jika pun saya memaksakan penggunaan kata patarana, sama saja, tak akan berfungsi lebih untuk menjelaskan wujud pliek. Ini karena penutur bahasa Indonesia juga tak akan mengerti maksudnya. Maka saya pakai pliek saja, tapi dengan iringan penjelasan.

Sungguhpun demikian, jika memang Anda tak enak hati memakai kata pliek dalam tulisan, mungkin saya bisa mengusulkan sebuah kata yang sudah ada dalam KBBI yang sedikit mewakili definisi pliek, yaitu “bungkil”.

Tapi terus terang saya sendiri tak suka memakainya, karena kata bungkil itu bermakna sangat umum, yaitu ampas dari kacang, kedelai, atau kelapa yang sudah diambil minyaknya. Definisi ini mengharuskan kita untuk menambahkan kata kelapa setelahnya, yaitu menjadi "bungkil kelapa".

Tentunya, tak luput dari risiko, kata bungkil kelapa itu pun belum tentu akan dipahami orang sebagai pliek di Aceh. Kan, tidak lucu jika kita harus menyebutnya menjadi “bungkil kelapa Aceh” untuk hanya mengungkapkan seonggok pliek, kan?

Lalu, baiknya kita memakai kata apa untuk pliek dalam bahasa Indonesia? Terserah, mau pakai “bungkil kelapa” atau pliek, silakan. Tapi saya memilih menggunakan kata pliek saja, karena tidak selamanya barang khas daerah itu harus diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Atau bila perlu, kata pliek diusulkan saja agar dimasukkan ke KBBI.

Tentang pliek ini, ada kasus. Berdasarkan pengalaman teman-teman Aceh yang mau ke luar negeri, membawa pliek bisa bermasalah di bandara. Petugas bandara akan mencurigai pliek sebagai bahan terlarang dan akan diinterogasi. Nah, saat kejadian demikian berlaku, maka kata bungkil bisa menjadi pahlawan. Sebab bungkil ada padanan katanya dalam bahasa Inggris, yaitu oilcake.

Dalam kamus Merriam Webster, oilcake adalah the solid residue after extracting the oil from seeds. Indonesianya: residu padat setelah biji-bijian diperas minyaknya. Jadi, pliek itu dalam bahasa Inggris bisalah kita sebut coconut oilcake. Kalau mereka menanyakan definisinya, maka bilang saja sambil menunjuk ke arah pliek, "This is pliek, the solid residue after extracting the oil from coconut." Pasti mereka paham, kecuali mereka tidak bisa berbahasa Inggris.
Pliek. Sumber foto: Internet.

No comments:

Post a Comment