Tuesday, September 20, 2016

Budaya Itu Luas. Sebuah Catatan Perbedaan Budaya di Taiwan

Tadi pagi, sehabis mandi, saat aku keluar dari kamar mandi, di bawah bingkai pintu aku berpas-pasan dengan teman Vietnam. Dia melihatku dengan agak sedikit heran yang kemudian terwujud dalam sebuah pertanyaannya. “Kamu kelihatannya mandi setiap pagi, ya, Usman?” tanyanya dengan menatap badanku dari bawah hingga atas, tersenyum.

Aku meminggang handuk. Tanganku merangkul sebuah ember kecil berisi sabun cair, sampo, dan sepasangan odol-sikat gigi. Aku juga tersenyum sejenak sebelum menjawabnya.

“Iya, aku selalu mandi pagi,” jawabku, “O, kamu belum tahu kalau orang Indonesia itu rata-rata mandi pagi?”

“Oya, itu kabar baik. Lihat, kamar mandi kita hanya tiga sekat. Jadi, kita tak perlu mengantre ke kamar mandi, karena jam mandi kita berbeda,” jawab pemuda Vietnam itu seraya mengacungkan jempol.

Ada sembilan mahasiswa Indonesia di asrama tempatku tinggal sekarang, dan banyak juga anak Vietnam yang tak kuketahui jumlahnya. Bayangkan kalau kami mandi di waktu yang sama, pasti harus antre memperebutkan tiga sekat kamar mandi itu. Tetapi ini tidak terjadi karena waktu mandi kami tidaklah sama.

Budaya waktu mandi orang Taiwan dengan Vietnam ternyata sama. Mereka mandi ketika mau tidur malam. Pagi, hanya mencuci muka dan sikat gigi saja. Sedangkan kita, orang Indonesia, waktu mandi yang penting justru pagi dan sebelum magrib. Selepas magrib, bukan lagi waktu yang tepat untuk mandi.

Bahkan di kampungku, Aceh, mandi malam itu sangat dihindari. Bisa kena penyakit, katanya. Tetapi herannya, orang Taiwan mereka mandi malam terus, dan ternyata mereka baik-baik saja. Malah panjang-panjang pula umurnya. Saking panjangnya umur mereka, harus mengundang tenaga asing untuk merawat orang-orang tua di sini. Ah, aku kira perbedaan waktu mandi ini hanya faktor budaya saja, tak ada sangkut pautnya dengan penyakit tertentu.

Jadi, yang namanya budaya itu bukan hanya tari-tarian, pakaian, dan masakan saja. Tetapi lebih dari itu, waktu mandi juga produk dari budaya. Termasuk juga cara menggunakan jalan, apakah sebelah kanan atau sebelah kiri. Di Taiwan ini, orang berjalan di sebelah kanan. Sehingga setir mobil ada di sebelah kiri.

Terkait perbedaan penggunaan sisi jalan ini, aku sampai sekarang masih jengkel juga dibuatnya, lebih-lebih ketika berjalan di trotoar yang kecil. Entah berapa kali aku hampir ketabrak sesama pejalan kaki di sini, tak terhitung banyaknya. Ini karena orang Taiwan pejalan sebelah kanan, sementara aku sebagai orang Indonesia, pejalan sebelah kiri. Akibatnya, jika berpas-pasan dengan pejalan kaki Taiwan, refleksku membuang badan ke kiri, dan refleks mereka membuang ke kanan, dan, hop, hampir saja tertabrak. Namun, kecelakaan kecil ini bisa diselesaikan dengan hanya sama-sama minta maaf saja.

Hal semacam ini masih saja terjadi padaku sampai sekarang. Padahal aku sudah masuk tahun keempat di Taiwan ini. Itulah akibat dari budaya yang sudah menghunjam ke sumsum tulang. Kita boleh saja tahu beragam budaya di Taiwan yang berbeda dengan Indonesia. Tetapi pada saat terdesak, maka yang keluar adalah Indonesia, aku malah, terkadang yang keluar adalah Acehnya.

No comments:

Post a Comment