Friday, December 2, 2016

Detergen, Piring, Tali Pinggang, dan Es Krim. Secarik Pengalaman Hidup dan Makan di Taiwan

Dua hari lalu, detergen saya habis. Di Taiwan ini saya mencuci sendiri, tentu dengan bantuan mesin cuci. Bersamaan dengan itu pula, tali pinggang saya rusak, tiba-tiba gesper otomatisnya tak bekerja, tuas pembukanya blong. Ini berbahaya sekali. Coba bayangkan kalau ini terjadi saat sedang kebelet buang air besar. Bisa heboh dunia ini mendengar seorang blogger buang hajat di celana.

Di samping itu, sudah lama pula saya berencana membeli sebuah piring makan yang agak besar agar mudah digunakan untuk makan pakai tangan. Bungkus nasi di Taiwan selamanya dalam kotak, yang memang sangat sulit bagi pemakan pakai tangan seperti saya ini. Terlalu sempit apabila tangan ikut serta masuk ke dalam kotak itu, karena kotak nasi di Taiwan ini sepertinya memang tidak dirancang untuk pemakan nasi pakai tangan. Kotaknya kecil, sempit, hanya cocok untuk makan pakai sumpit. Sekalipun bisa pakai sendok, itu pun sendok kecil yang juga disediakan di beberapa warung makan.

Tetapi sebagai orang Indonesia, lebih-lebih saya sebagai anak Aceh, di rumah tak pernah makan pakai sendok, apalagi sumpit. Makan pakai tangan itu adalah kenikmatan yang tak bertara. Di Aceh, orang makan pakai sumpit hanyalah si Boboho, itu pun dalam televisi, di film Shoulin Popey. Hanya sampai situ saja, sebatas tontonan, tidak sampai berlanjut ke dunia nyata.

Begitu saya dapat kesempatan kuliah di Taiwan, mulai saat itulah, suka tidak suka saya harus menyesuaikan diri dengan sumpit. Bahkan, di sini, malah ada warung makan yang tidak menyediakan sendok sama sekali. Mau makan pakai tangan, siap-siap saja seluruh penghuni warung akan menatap kita dengan pandangan penuh heran dan aneh. Atau malah lebih parah dari itu, mereka akan jijik melihatnya.

Ini pernah saya alami dulu ketika saya tertangkap basah makan pakai tangan di lab. Salah satu teman langsung jijik bukan kepalang, dan ketawa. Namun, setelah saya jelaskan bahwa budaya kami, kalau makan pakai tangan. Dan oleh karena itu, tangan kami senantiasa bersih. Dan pula sebelum makan kami mencuci tangan dahulu. Maka akhirnya mereka bisa memahaminya dan berkurang rasa jijiknya itu.

Dulu saya sebenarnya mempunyai piring besar berbahan porselin yang sengaja saya beli untuk makan di lab. Biasanya, setelah beli nasi kotak di warung, sampai di lab nasi itu beserta lauknya saya tumpahkan ke piring, dan selanjutnya saya makan pakai tangan. Gaya makan Aceh maksimal.

Perlu saya ceritakan pula di sini bahwa, sebenarnya perbedaan budaya cara makan nasi bukan hanya melulu pada penggunaan sendok, sumpit, atau tangan saja. Tetapi lebih dari itu, cara mereka memperlakukan nasi beserta lauknya saat makan, ternyata juga berbeda. Orang Indonesia, lebih-lebih Sumatra dan Aceh, nasi dan lauk dicampur dulu dengan tangan di dalam piring, kemudian baru dimasukkan ke mulut. Orang Tiongkok ternyata tidak demikian.

Sekarang coba lihat orang Tiongkok makan, nonton saja di film-film Cina. Pertama mereka menjepit nasi dengan sumpit, dimasukkan ke mulut, kunyah, kemudian baru mereka ambil lauknya, kunyah lagi. Sehingga secara praktis nasi dan lauknya baru bertemu di lambung sana.

Berbeda dengan cara makan kita, dari dalam piring saja mereka (lauk dan nasi) sudah bercampur sebelum dimasukkan ke tempat eksekusi berikutnya, yaitu mulut. Karenanya, lauk makanan orang Indonesia, secara budaya memang harus dicampur dulu, baru dimakan. Maka kurang pas, pada sangkaku, jika kita makan nasi Padang pakai sendok, apalagi pakai sumpit, hilang nikmatnya.

Kembali lagi ke piring tadi. Piring porselin yang saya beli itu, dalam perjalanannya, hilang entah ke mana. Itu terjadi ketika saya pulang liburan beberapa semester lalu. Saat saya sedang di Aceh, di lab terjadi pembersihan besar-besaran yang dilakukan anak-anak lab asli Taiwan; revolusi kebersihan. Dan setelah saya kembali lagi ke Taiwan, piring saya itu ternyata masuk dalam salah satu korban revolusi itu, hilang entah siapa yang ambil.

Waktu berjalan begitu saja, piring pengganti itu tak kunjung saya belikan. Sehingga kemarin (1/12/2016), ketika detergen dan tali pinggang saya rusak, maka piring sekalian masuk ke daftar belanja saya. Maka berangkatlah saya ke sebuah minimarket yang hanya lima ratus meter dari pintu gerbang belakang kampus kami, NKUAS, Kaohsiung, Taiwan Selatan.

Sesampai di sana, saya buka ponsel pintar saya, mengetik kata “piring” di browser google, maka muncullah gambar piring. Gambar itulah yang saya tunjukkan ke pelayan toko sambil berucap, “Zhege you ma? – Ini ada ga?” Pelayan menjawab, “Sanshi er – Tiga puluh dua” sambil menunjuk ke satu arah. Maksudnya adalah, piring itu ada di rak nomor tiga puluh dua. Maka saya pun melangkah ke sana. Saya mendapatkan sebuah piring besar yang pinggirnya melengkung tinggi ke atas, bersudut siku-siku; model yang cukup aman untuk makan pakai tangan. Harganya 110 NTD, sekitar 46 ribu rupiah. Untuk standar piring di pasar Keudee Blangjruen (sebuah pasar di kampung halaman saya), piring seharga ini tergolong piring bagus.

Dengan cara yang sama pula, memakai gambar google, saya menanyakan di mana letaknya etalase tali pinggang. “Qianmian – Di depan,” jawab singkat seorang pelanggan seraya menunjuk ke arah sebuah rak. Saya pun menuju ke sana dan memilih sebuah tali pinggang dengan sistem pengunci gesper otomatis, seperti model sebelumnya. Harganya kali ini 350 NTD, sekitar 147 ribu rupiah.

Saya memilih tali pinggang gesper otomatis untuk kepraktisan saja. Dengan gesper otomatis, saya tak perlu repot-repot mengatur lubang di tali pinggang yang kadang dari satu celana dengan celana lainnya bisa berbeda posisinya. Tetapi dengan gesper otomatis ini, tali pinggang tinggal saya tarik saja sampai ikatannya pas dengan pinggang saya, berhenti, maka secara otomatis pada posisi itu gasper akan terkunci.

Saya pun mengantre di kasir setelah sebelumnya mengambil detergen ukuran sedang seharga 59 NTD (sekitar 24 ribu rupiah). “Wu bai shi jiu – Lima ratus sembilan belas, ” kata kasir setelah memindai barang-barang belanjaan saya. Saya langsung keluar pulang setelah menyambar setruk belanja (fapiao) yang dianjurkan kepadaku yang disatukan dengan uang kembalian.

Untuk mengangkut barang belanjaan saya yang tak begitu banyak ini, saya diberikan kantong keresek ukuran jumbo, yang kalau tidak saya lilit sekali di pergelangan tangan saya, pasti keresek ini menyentuh tanah. Ini penghinaan, pikir saya, sudah tahu saya tingginya “semeter kotor” begini, kenapa pula diberikan kantong keresek sebegini panjangnya, sapu aspal jadinya.

Sampai di lab, pertama yang saya eksekusi adalah piring, cepat-cepat ia saya cuci. Kemudian, nasi sumbangan anak-anak master dan sayur yang saya beli di warung vegetarian sebelum ke toko swalayan tadi, saya tumpahkan ke piring raksasa itu. O, Tuhan, nikmat sekali makan malam saya malam ini. Sudah lebih setahun setengah tidak pernah makan di piring besar pakai tangan begini di lab. Ditambah lagi ikan goreng baluran tepung racikan anak-anak master yang gurihnya bikin lupa mertua ini.

Setelah makan, saya mengepas panjang tali pinggang untuk mengetahui berapa kemungkinan yang harus saya potong. Setelah selesai pemotongan, tali pinggang itu pun langsung saya pakai, tali pinggang baru. Sampai saat itu, kondisinya masih aman-aman saja. Tidak ada masalah. Saya pun melanjutkan belajar. Tali pinggang tua saya masukkan ke kantong sampah.

Pukul 11.30 malam, saya beranjak pulang ke asrama, mau tidur. Betapa kagetnya saya, ketika mau ganti celana, ternyata tali pinggang yang baru saya beli itu tidak bisa saya buka. Ada yang menahannya sekalipun tak begitu kuat. Aku mengintip ke belakang gespernya. Ya Tuhan, trek bergerigi yang ada di belakang sabuk yang berfungsi sebagai penahan pengunci gesper, terkelupas, lekang dari tempatnya. Kesimpulannya, tali pinggang baru ini tamat riwayatnya, tak bisa dipakai sama sekali. Untuk mekanisme gesper otomatis, trek bergerigi ini adalah bagian vital. Dia rusak, maka buang saja keseluruhan ikat pinggang itu, tak berguna lagi.

Saya menguji kekuatan trek yang terbuat dari plastik itu dengan cara menekannya dengan ujung kuku. Ternyata dia sudah sangat rapuh, serapuh hatiku malam itu ketika menyadari bahwa tali pinggang baru saya sebegitu cepatnya rusak. Saya berniat akan mengembalikannya besok, dan minta ganti yang baru. Untuk malam itu, saya lupakan saja tali pinggang itu, kemudian menuju ke tempat tidur. Setelah satu jam membaca buku digital di ponsel pintar, saya pun tertidur.

Keesokan harinya, hari ini (2/12/2016), pagi hari Jumat, saya bergegas bersedia untuk berangkat ke masjid. Setelah pulang dari masjid, saya singgah di lab sebentar untuk mengambil tali pinggang yang rusak itu, seraya mengais-ngais plastik bungkusannya yang sudah saya masukkan ke kantong sampah semalam. Kemudian setelah mengambil setruk, saya bergegas pergi ke toko itu.

Sampai di sana saya langsung mengantre di kasir dan memperlihatkan trek tali pinggang yang rusak itu. Kasir melihatnya, dan juga setruknya, kemudian bilang, “O, silakan ambil yang lain saja.” Setelah mengumbar senyuman terbaik saya hari ini, saya langsung memilih tali pinggang yang lain, dengan merek yang berbeda, tetapi dengan harga yang sama.

Saya tersenyum bahagia sekalipun baru saja capai berjalan, itu lebih karena, entah mengapa, saya meyakini bahwa mereka tak mau menerima penukaran tali pinggang yang telah rusak itu. Ternyata sangkaan saya itu salah, karena itulah saya tersenyum senang. Saya baru sadar belakangan, ternyata saya balik ke toko swalayan itu memang untuk berantam (maksud saya, adu mulut saja, bukan baku hantam), karena saya hampir yakin betul mereka tak mau melayani penukaran itu.

Namun, manakala saya mendapati kenyataan bahwa saya dilayani dengan baik dan dipersilakan mengambil tali pinggang yang lain tanpa tanya ini-itu, maka padamlah bara api yang dari malam tadi menyala menggelegak di dalam dada saya. Sekarang bara itu berubah menjadi es krim yang lembut, menyejukkan.
Penahan gesper yang tergelupas

Barang belanjaan saya

Piring baru saya

No comments:

Post a Comment