Hari ini saya berencana makan siang di Warung Pak Zainal Abidin di jalan Nanhua, warung yang cukup senior di Kaohsiung Main Station. Saking seniornya, pemiliknya, yang namanya diambil sebagai nama warungnya, Zainal Abidin, sering kami juluki sebagai lurah Kaohsiung.
Sumbangannya untuk WNI di Kaohsiung lumayan besar juga. Bahkan, di tingkat tiga warungnya, selain untuk musala, sering pula dipakai untuk acara rapat kegiatan sosial WNI di Kaohsiung. Semester yang lalu malah kami pernah membuat kursus bahasa Inggris dan kewirausahaan kepada teman-teman pekerja, dan dengan senang hati dia merelakan tempatnya kami pakai untuk kegiatan tersebut.
Saya berjalan santai saja di jalan Nanhua setelah menyeberang. Dengan tangan kanan, saya mengempit gadget saya. Tadi gadget ini tak sempat saya masukkan ke dalam ransel sesaat sebelum turun dari bus. Karena terlalu asyik membaca buku digital, tiba-tiba saja bus sudah sampai di perhentian tujuan.
Dengan tas ransel yang hanya sempat saya sampir di bahu kiri, maka turunlah saya sambil berucap, “Xie xie ni – Terimakasih” kepada Pak sopir yang berpakaian seragam putih bercelana hitam rapi, yang menatap saya melalui spion yang terpasang di muka atas kepalanya. Ia mengangguk, saya pun lenyap dari pandangannya di balik dinding bus.
Tak lebih dari lima depa saya melangkah di jalan Nanhua, tiba-tiba ada orang menabrak sisi kanan saya. Saya kaget. Orang itu terus berlari dengan sekencang-kecangnya, tak peduli dengan kekagetan saya. Tas selempang kecilnya berayun-ayun ke sana ke mari. Tak berapa lama kemudian, ia lenyap di balik kelokan jalan.
Saya rasa, saya pernah melihat lelaki ini. Sehari sebelumnya, Sabtu 3 Desember 2016, ia terlihat menawarkan ponsel bermerek Iphone pada siapa saja yang ia jumpai. Saat itu saya sedang duduk di salah satu warung Indo di bilangan Kaohsiung Main Station. Hari itu ia tidak berhasil membujuk seorang pun dari kami yang sedang asyik bercengkerama di warung tersebut.
Namun, berdasarkan keterangan salah satu teman tadi siang (4/12/2016), ternyata kemarin malam (3/12/2016), ia telah mendapatkan mangsanya. Ia berhasil menjual ponsel pintar itu, yang ternyata tidak pintar lagi, tetapi sudah goblok. Untuk menelepon masih bisa, tetapi giliran dipakai untuk membrowser internet, ponsel itu sudah tak bisa bergerak lagi.
Maka tadi pagi (4/12/2016), lelaki itu dicegat untuk dimintai pertanggungjawabannya. Sampai pagi tadi, ia memang belum beruntung ketika kenyataan pahit harus ia terima, bahwa ponsel “pintar” dikembalikan dan uangnya dimintai balik. Maka kembalilah ia pada pengembaraan awalnya, mencari mangsa lain, yang mungkin menjadi mangsa terakhirnya.
Ia beruntung, ia mendapatkan mangsa barunya ketika hari sudah siang. Tepat sesaat setelah transaksi itu usai, setelah ia mengambil uangnya, maka kaburlah ia meninggalkan tempat itu, berlari sekencang-kencangnya menuju jalan Nanhua, di mana saya juga sedang berjalan di jalan yang sama.
Entah karena matanya yang sesekali menatap ke belakang untuk meyakinkan apakah ada yang mengejarnya, dia tidak melihat bahwa di depannya ada saya yang sedang berjalan dengan gaya tanpa dosa. Maka Saya pun ditubruknya.
Sepintas saya pikir itu adalah jambret yang berusaha merebut gadget saya. Ternyata bukan. Gadget saya masih utuh di tempatnya ketika saya lihat ia telah lolos ke depan dan hilang di persimpangan jalan. Dia berbelok ke kiri. Hilang. Ia berhasil. Kali ini benar-benar mangsanya yang terakhir di Kaohsiung Main Station. Entah kapan ia akan kembali lagi.
Ini adalah sekelumit kisah tak mengenakkan di Taiwan. Kejadian ini membuktikan bahwa Taiwan tidak selalu aman dari penipuan, yang bisa mengambil korban siapa saja dan kapan saja.
Dulu, di akhir tahun 2012, kami yang baru saja menjejakkan kaki di Taiwan pernah juga tertipu di sebuah pasar Taipei. Sebuah ponsel pintar bermerek “Samsumg” (lihat ejaannya baik-baik) berhasil dijual kepada kami dengan harga yang lumayan menarik.
Sampai di rumah baru disadari bahwa itu bukanlah “Samsung” sebagaimana yang kami harapkan, tetapi “Samsumg” (huruf “N” diganti dengan “M”, sangat menjebak). Maka tragedi itu sampai sekarang masih saja terngiang-ngiang di telinga kami, dan terkadang membuat kami tertawa konyol. Saya lebih suka menyebut peristiwa ini sebagai “Tragedi Samsumeg” (Samsumg kami baca samsumeg).
Tragedi Samsumeg tersebut bukan akhir dari peristiwa tak mengenakkan yang menimpa kami. Tanggal 8 November 2015, sepeda kesayangan saya, hilang. Setelah saya cek di CCTV di kantor sekuriti kampus, sepeda saya itu dicuri di tengah malam buta di tempat parkirnya. Agaknya, memang ini salah saya. Saya tak pernah mengunci sepeda. Tetapi di sini yang perlu digarisbawahi adalah, kita harus berhati-hati juga di Taiwan ini, jangan terlalu ceroboh dalam membeli dan menaruh barang.
Dua minggu yang lalu, kejadiannya lebih gawat lagi (lebih gawat lucunya maksud saya). Teman kami, anak master, baru saja membeli bebek goreng dari sebuah warung Indo. Karena mereka pergi dengan sepeda motor, bungkusan tiga potong bebek goreng itu digantungnya pada sangkutan di sepeda motor. Dalam perjalanan pulang, mereka singgah sebentar di sebuah toko yang lain. Namun sayang, betapa kagetnya mereka ketika keluar, saat mereka menyadari bahwa bebek goreng tidak ada lagi di tempatnya. Telah Hilang dicuri orang.
Untuk kasus hilangnya bebek goreng ini, saya yakin yang ambil adalah orang-orang sakit jiwa yang memang selalu ada di sekitar Kaohsiung Main Station. Mereka memang orang-orang yang mentalnya terganggu, yang kerap menadahkan tangan, mengemis kepada para calon penumpang di terminal.
Bahkan tak jarang mereka tidur di terminal itu dengan baju yang itu-itu saja setiap harinya, tak pernah ganti sampai hitam warnanya. Tak jarang pula bau hangus menguar dari badan mereka, menusuk hidung, yang mengakibatkan calon penumpang bus harus menyingkir ke tempat lain, dan juga ramai-ramai bersibak ketika melihat orang-orang sakit ini berjalan ke arah mereka.
__________
Notabene:
Menguar artinya mengeluarkan uap (bau dan sebagainya)
Bersibak artinya memberi jalan dengan menyisi ke kanan dan ke kiri.
No comments:
Post a Comment