Wednesday, November 27, 2019

Dosen Pelupa dan Nasi Bungkus

Sejak kecil saya memang terkenal pelupa. Agak parah. Misalnya begini, saya jalan dari parkiran kampus dengan menenteng sesuatu. Di tengah jalan dicegat mahasiswa untuk minta tanda tangan atau minta bimbingan.

Biasanya saya langsung cari tempat duduk terdekat untuk melayaninya. Yang saya tenteng tadi, saya taruh di samping. Selesai urusan, mahasiswa itu pergi, dan saya juga. Dan, barang yang saya taruh tadi, biasanya, dipastikan tinggal di situ.

Makanya, saya paling resah kalau pergi jauh yang mengharuskan saya membawa tas banyak. Biasanya saya tidak mau tas lebih dari dua. Atau, kalau terpaksa harus membawa lebih, saya selalu mengingat jumlahnya setiap saat mau beranjak. Setiap berhenti, kemudian mau berangkat lagi, jika tas saya ada tiga misalnya, angka itulah yang saya ingat. Kalau sudah ada tiga, baru berangkat.

Separah itu? Iya. Makanya, saya paling jengkel kalau ada yang menitip sesuatu saat saya melakukan perjalanan jauh. Bikin was-was saja. Perjalanan menjadi tidak bisa saya nikmati sama sekali. Di samping, saya juga tak begitu suka jalan-jalan.

Yang lebih parah lagi, soal bolpoin. Dosen itu kan identik dengan bolpoin yang bagus? Yang selalu tersungging di saku bajunya? Saya pernah mencoba begitu. Membeli pena bagus. Tapi, ternyata paling lama tahan tiga hari. Setelah itu raib entah kemana. Entah di rimba mana ia kutinggalkan. Makanya, saya hampir selalu tak punya bolpoin.

Hampir semua mahasiswa saya tahu itu. Kalau mau minta tanda tangan Pak Usman, berarti harus bawa bolpoin. Pak Usman pasti enggak punya. Dan biasanya, saya marahi mereka kalau berurusan dengan saya tanpa bawa bolpoin.

Lebih gila lagi, setelah saya tanda tangan, bolpoin mereka itu lupa saya kembalikan. Mahasiswa pun kayaknya lupa mengambilnya kembali. Atau, mungkin saja mereka enggak berani minta. Dan bolpoin itu pun, kalau tidak mereka ambil lagi, maka akan menjadi korban selanjutnya. Hilang entah kemana.

Nah. Kemarin. Kasus. Tapi ini baru pertama terjadi dalam dunia persilatan. Pas mau makan siang, nasi bungkus saya hilang tak tahu ke mana. Saya bingung. Masalahnya, itu nasi bungkus bukan sembarang bungkus. Dibungkus oleh istri saya di rumah. Buat makan siang saya.

Loh. Kenapa dibungkus? Itu hanya untuk mengelabui lawan, agar mereka mengira itu nasi warung. Pengalaman, kalau saya bawa nasi pakai Tuperware, ada saja ceritanya kalau ketemu teman. Tapi kalau nasi bungkus, saya merdeka dari itu semua. 

Terus, mungkin, ada yang tanya lagi begini, kenapa saya bawa bekal dari rumah? Jawabannya mudah saja: biar irit. Enggak usah cari-cari alasan lain biar kelihatan elegan. Irit saja sudah capek, jangan ditambah lagi dengan jawaban karangan untuk berkilah. Bikin tambah capek lagi.

Okelah. Jadi, ketika nasi bungkus tidak kuketahui rimbanya, bingunglah anak muda tahun 80-an ini. Agak sulit, karena kali ini saya enggak berani tanya siapa pun apakah ada yang melihat nasi bungkus saya? Tidak berani. Takut dibilang pula aku Dosen Nasi Bungkus!

No comments:

Post a Comment