Monday, November 25, 2019

Guru? Bukan. Aku Dosen

Hari ini hari guru. Anak-anak sekolah menengah ke bawah, mereka menyiapkan kue tar dan kekado untuk dipersembahkan kepada gurunya. Sebagai penghormatan dan kasih sayang mereka kepada pahlawan tanpa tanda jasa itu.

Dulu semasa saya sekolah belum ada hari ini-hari itu. Memberi kado kepada guru hanya pada hari perpisahan saja. Itu pun kadonya dibeli dengan uang keroyokan anak-anak sekelas. Isi kadonya juga klise sekali: jilbab, kain untuk bahan baju, handuk, dan jenis lainnya yang tak jauh-jauh dari itu.

Sekarang. Sudah canggih. Saya dengar cara mereka merayakannya seperti acara ulang tahun itu. Ini agak aneh, menurut saya. Kue tar ala ulang tahun itu dipotong terus disuapkan kepada gurunya. Agak lucu ini. Tapi tidak apa-apalah. Tidak ada undang-undang yang dilanggar. Bebas saja kalau cuma hal itu.

Saya tentu, juga punya guru. Saya sangat mencintai mereka. Tapi tidak pernah merayakan hari guru. Bukan pelit. Bukan. Itu karena dulu, memang, kami, tidak kenal acara gitu-gituan. Apalagi saya, asal tahu saja, sama sekali tidak suka sama perayaan apapun. Termasuk perayaan ulang tahun.

Istri saya, tak pernah saya rayakan ulang tahunnya. Anak-anak saya juga tidak. Dan juga saya, tak pernah merayakannya. Apalagi, saya tidak tahu kapan saya dilahirkan. Soal perayaan ulang tahun ini, kelihatannya istri saya juga tidak suka.

Eh, saya hampir lupa. Ternyata, siapa saja yang dianggap sebagai guru, dan berhak dirayakan harinya pada hari ini, berbeda antara Indonesia dengan Taiwan, tempat saya mengambil doktor.
Di sana, dosen juga dipanggil dan dianggap sebagai guru. "Teacher". Atau, orang Taiwan menyebutnya "Laoshi". Sehingga di Taiwan hari guru dirayakan mulai dari mahasiswa sampai anak-anak di grup bermain (play group).

Saya agak lupa-lupa ingat, kayaknya dua bulan yang lalu saya ditanyakan sama teman saya alumni Taiwan, apakah saya sudah mengucapkan selamat hari guru kepada profesor kami? Tentu saja belum. Karena begitu kembali ke Indonesia, saya benar-benar menjadi warga +62 seutuhnya.

Di sini, di Indonesia ini, guru itu adalah untuk pengajar sekolah menengah ke bawah. Di atasnya adalah dosen. Dan tidak ada hari dosen. Dan karenanya, tidak pernah dirayakan. Soalnya sampai hari ini belum ada hari dosen.

Untuk saya yang suka menyendiri, ini cocok sekali. Kalau misalnya hari guru juga dirayakan buat dosen, tentu hari ini saya sibuk sekali melayani mahasiswa dengan suap menyuapkan kue tarnya. Sesuatu yang tidak saya sukai sama sekali!

Jangankan acara-acara begituan, saya malah pernah mewanti-wanti mahasiswa saya untuk tidak pernah mengundang saya di acara buka puasa bersama. Saya merasa butuh di rumah bersama istri saat waktu berbuka puasa!

Jadi, seharusnya saya berterimakasih kepada budaya Indonesia yang tidak menganggap saya sebagai guru. Saya adalah dosen. Dan jadi dosen itu adalah hobi saya. Dari dulu. Sampai sekarang. Dan tidak setuju jika kelak ada harinya, dan dirayakan.

No comments:

Post a Comment