Tuesday, May 26, 2015

Di Taiwan Ternyata Bisa Juga Terkena Timbil

Timbil atau dalam bahasa Aceh disebut dengan guluntie, timbilen kalau orang Jawa bilang, atau  針眼 (zhēnyǎn) kata orang China, ternyata juga bisa menyerang saya walaupun sedang berada di Taiwan. Maunya saya di sini sehat-sehat saja walaupun ada asuransi kesehatan.

Tadi pagi begitu bangun, kelopak mata sebelah kanan atas terasa berat dan gatal serta terasa sakit ketika saya menyekanya. Wah, aku terkena timbil, padahal sudah lama aku tidak diserang bisul kecil di pelupuk mata ini, aku membatin.

Penyakit kecil ini di Aceh dianggap remeh saja dan tidak berbahaya, tapi di Taiwan mereka agak sedikit takut dengan bisul ini. Mungkin mereka takut tertular saja, karena barusan teman sekamar saya bilang bahwa timbil ini menular. "Oh, now you are dangerous," kata dia sambil ketawa.

Ngomong-ngomong tentang timbil, saya ingin bercerita sedikit tentang budaya kami orang Aceh dalam menghadapi (menyembuhkan) penyakit ini. Ada yang masuk akal dan ada pula yang konyol. Namun dua-duanya menarik untuk diceritakan.

Yang pertama, dulu waktu saya masih SMP, ketika menderita timbil ibu menyuruh saya untuk mengambil tungoe apui (kayu api di dapur yang salah satu ujungnya sedang terbakar) kemudian membawanya ke belakang rumah dan membaca mantra. Kira-kira seperti ini mantranya:
Ho Teungku di meurandeh, neucok beuabeh guluntie bak mata (Wahai Teungku* di sebarang, ambilkan olehmu seluruh timbil di mata) 
Setelah membaca mantra itu sebanyak tiga kali maka tungoe apui itu dilempar ke tanah kosong di belakang rumah dan dibiarkan api mati sendiri. Saya rasa ini sulit dilakukan di kota bukan? sulit mencari lahan kosong tentunya.

Saya sebenarnya tidak begitu percaya dengan cara ini. Tapi anehnya, sehari setelah melakukan itu biasanya saya sembuh. Nah, lhoh ! Apakah memang sudah waktunya sembuh atau memang karena mantra itu? Saya juga tak tahu. Saya melakukan saja apa yang disuruh ibuku.

Yan kedua, ini yang masuk akal, adalah minum buah mane. Diminum seperti layaknya minum obat pil karena buah mane itu sebesar buah ceri. Saya lupa dosisnya, mungkin nanti waktu pulang ke Aceh mau bertanya lagi sama orang tua di sana tentang ini.

Mane ini kalau saya lihat di Kamus Bahasa Aceh-Indonesia yang dikeluarkan oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, adalah pohon halaban.

Sayangnya ketika saya cek lagi di KBBI ternyata tidak memuat entri kata "halaban". Namun setelah menelusuri jagad internet ternyata pohon mane ini mirip dengan pohon yang disebut dengan "laban". Saya tidak yakin betul apakah pohon "laban" dan mane merupakan dua pohon yang berbeda ataukah sama. Tapi jika saya lihat gambarnya mirip sekali. Berikut gambar daun dan bunganya:
Laban. Sumber
Buah mane besarnya seukuran buah ceri serta berwarna hitam pekat. Karena pohonnya yang tinggi dan besar, biasanya mencarinya hanya memungut buah yang jatuh karena sudah masak. Buah ini jelas tidak beracun karena banyak burung-burung yang mengkonsumsinya.

Walaupun saya belum pernah mencoba buah mane ini, santer terkabar bahwa buah ini memang manjur untuk menyembuhkan penyakit sejenis bisul, termasuk timbil.

--------------------------------------------------
*Teungku, sebutan kepada orang yang dihormati di Aceh. Setara dengan sebutan Kiai di tanah Jawa

Oleh-oleh di akhir artikel ini, untuk memudahkan Anda yang berbahasa ibu dengan bahasa Aceh dalam menulis. Saya rasa kamus bahasa Aceh - Indonesia sangat penting. Universitas Leiden menyediakan arsip kamus ini dan bisa Anda unduh di sini (http://acehbooks.org/search/detail/4405?language=ind). Semoga bermanfaat.

No comments:

Post a Comment