Saya barusan saja melakukan transaksi di Bank tersebut yang kebetulan berada di belakang kampus saya, NKUAS. Saya ingin mengirim dana sumbangan untuk Rohingya dari teman-teman yang tidak sempat mengirimnya sendiri ke rekening bendahara secara langsung.
Seperti halnya kantor-kantor yang lain, semua surat tertulis dalam karakter Mandarin. Saya meminta tolong salah satu teller untuk mengisi resi pengiriman saya dengan menyerahkan kopian buku rekening tujuan. Dia menulisnya dan mempersilahkan saya untuk mengambil nomor antrean. Saya mendapatkan nomor antrean 250.
Sambil menunggu antrean, saya melihat kegiatan nasabah dalam bertransaksi, siapa tahu ada ilmu baru yang saya dapat dari situ. Ternyata benar saja, ada, beberapa nasabah saya lihat datang dengan membawa uang koin (peng grik, Aceh) yang lumayan banyak yang diisi di dalam kantong koin. Waduh, saya sampai berpikir, bagaimana teller menghitung semua koin itu. Apakah dihitung satu persatu (manual). Maaf, saya mungkin goblok atau terlalu capek. Jadi tidak tahu hal ini.
Teller menerima uang itu dan menuju ke satu sudut di ruangan tersebut. Mata saya mengikutinya, saya pun berdiri untuk melihat jelas. Nah, ternyata teller menuangkan semua koin itu ke sebuah alat seperti huller penggiling padi. Wah, ternyata koin itu ada alat penghitungnya. Saya pikir cuma uang kertas saja yang bisa dihitung pakai mesin (suasana pikiran hening).
Saya orang Indonesia dan tidak mengenal perbankan secara dalam. Ilmu saya tentang aktivitas perbankan hanya yang umum-umum saja. Penggunaan koin dalam jumlah besar di Indonesia tidak umum. Pun orang menabung di bank Indonesia tidak pernah saya lihat membawa sekeresek uang logam. Makanya di bank Indonesia hanya penghitung uang kertas yang terlihat.
Hal ini wajar, karena uang koin Indonesia lebih kepada pecahan kecil yang hampir tak bernilai. Sementara di Taiwan, koin terbesar dengan pecahan 50 NT cukup untuk makan satu porsi nasi di warung vegetarian. Satu botol aqua sedang dihargai 10 NT. Koin Indonesia terbesar dicetak dengan nominal 2000 rupiah, hanya cukup untuk membeli 2 potong roti di warung kopi sekitar Lhokseumawe.
Namun ada yang aneh juga dari Post Bank ini, loh. Biasanya di bank Indonesia kalau kita kirim uang ke bank yang sama kan tidak perlu ongkos, ya? Tapi saya tadi dikenakan ongkos sebesar 30 NT. Ini saya bayar saja tanpa memotong sumbangan dari teman-teman (amal lagi).
Saya memang terlalu asyik melihat hal yang baru di Post Bank tadi, saya baru terkejut ketika melihat nomor antrean di papan pengumuman sudah sampai 252. Artinya nomor antrean saya sudah lewat. Waduh, saya mau menyela saja tapi tidak berani. Akhirnya saya mengambil nomor antrean lain, dan saya mendapat nomor 260. Saya mungkin sedang lelah sehingga dituntut untuk duduk lebih lama di ruang tunggu yang ber-AC itu.
![]() |
Kira-kira seperti inilah alat penghitung koin di Bank Post barusan. Foto: Sumber |
![]() |
Seorang bapak sedang bertransaksi |
![]() |
Cetakan rekening bank, resi, uang, dan nomor antrean awal |
![]() |
Salah satu kantor pos yang juga sebagai bank di belakang kampus NKUAS, Kaohsiung Taiwan |
No comments:
Post a Comment