Oleh karena itu, kalau Anda ke Aceh biasanya hanya ada dua pasar yang akan Anda temukan: pasar ikan dan pasar sayur. Jika ada yang jual daging lembu itu hanya numpang tenar di pasar ikan. Terkait daging ayam potong, baru pada tahun 90-an orang Aceh mengenal ayam potong, itu pun hanya di kota-kota saja. Di pasar kecamatan sekelas pasar Blangjruen* kala itu belum ada penjual ayam potong. Kalau kami mau membelinya, kami harus ke pergi ke pasar Geudong*. Kemudian daging lembu, biasanya hanya hari makmeugang* saja kami memakannya, atau jika kebetulan ada pesta perkawinan di kampung atau di tempat saudara.
Fenomena ini membuktikan bahwa orang Aceh jarang makan daging selain ikan. Hanya momen-momen tertentu saja kami makan daging, atau di saat keinginan makan daging ayam atau lembu muncul, dan itu menjadi menu istimewa. Jadi, yang menjadi lauk wajib ketika makan nasi adalah ikan. Kalau tak cukup uang untuk membeli ikan segar, maka minimal harus ada ikan asin atau telur.
Bagi saya, inilah yang menyedihkan selama saya tinggal di Taiwan. Saya tinggal di asrama mahasiswa yang tidak diijinkan memasak serta sulitnya mencari warung yang menyediakan lauk ikan. Yang banyak adalah daging ayam dan babi, dan juga daging lembu walaupun jarang juga ada warung yang menjualnya.
Memang ada beberapa warung yang menyediakan ikan, namun cara memasaknya yang berbeda dan jenis ikan yang aneh yang tidak pernah saya lihat di Aceh tentu membuat lidahku kadang tak bisa menikmatinya. Kalau bisa memasak sendiri tentu saya bisa memilih ikan yang ada di pasar sesuai selera dan juga bisa memasaknya sesuai hasrat.
Mungkin karena pengaruh bulan Ramadhan, beberapa hari ini saya lebih militan untuk mencari makanan berbuka. Memasak dengan alat seadanya di lab pun saya lakukan untuk menyiapkan makanan untuk berbuka dan sahur.
Tadi malam keinginan saya untuk makan ikan benar-benar tak terbendung lagi. Saya keluar lab sekitar pukul 2 malam ke sebuah supermarket di sekitar kampus. Untunglah, di sana saya menemukan ikan favorit saya di Aceh. Orang Aceh menyebut ikan ini dengan nama ikan pilok ("k" dibaca seperti dalam kata "rakyat").
Ikan yang berbadan tipis dalam arah medial-lateral (kiri-kanan) dan lebar serta hampir berbentuk lingkaran dalam arah inferior-superior (atas-bawah), ternyata juga ada di Taiwan. Orang Taiwan menyebutnya dengan nama 皮刀(pí dāo), atau dalam bahasa Inggris disebut dengan nama moonfish. Maaf, Saya belum mengetahui apa nama ikan ini dalam bahasa Indonesia.
Ikan yang dalam bahasa Latin dikenal dengan nama Mene Maculata ini bagi saya rasanya sangat enak. Di samping harganya yang murah (38 NT), ikan ini juga tidak amis. Sehingga saya bisa memasaknya hanya dengan bumbu garam saja, tanpa jeruk. Saya langsung saja memasaknya berbarengan dengan nasi karena rice cooker mini saya dilengkapi dengan wadah daging di atas panci nasinya. Jadi, ikan bisa masuk ke situ dan akan matang bareng nasi.
Memang rasanya tentu tak seenak seperti memasak di rumah dengan bumbu yang serba cukup. Tapi minimal bisa mengobati kekangenan lidahku akan ikan. Enak itu memang relatif, tergantung situasi dan kondisi. Kondisi saya sekarang, ikan pilok uap yang hanya diberi garam sungguh terasa enak sekali. Tentu jangan dibandingkan dengan kondisi Anda yang sedang melahap masakan istri atau ibu tercinta di rumah. Rasa masakan saya tentu kalah jauh. Tetapi perjuangan sebelum makan ikan, saya yakin bahwa saya adalah pemenangnya.
![]() |
Ikan pilok yang saya beli tadi malam |
![]() |
Ikan pilok di rice cooker miniku |
*Makmeugang = Budaya membeli daging lembu atau kerbau dan memasaknya satu hari sebelum puasa Ramadhan, Idul Fitri, dan Idul Adha di Aceh.
*Geudong = Sebuah kota di pinggir jalan Banda Aceh Medan yang tidak jauh dari pusat kerajaan Samudra Pasai, sekira 20 km timur Lhokseumawe.
*Blangjruen = Sebuah kota kecamatan tempat kelahiran saya. Letaknya 25 km timur Lhokseumawe.
No comments:
Post a Comment