Syair lagu Bang Haji yang dilantunkan dengan apik oleh Bunda Riza Umami, mengiringi stres keluar dari kepalaku, seolah diserap oleh dinginnya kota Kaohsiung.
Bulan sekarang hilang sudah bersembunyi di balik gedung-gedung tinggi yang menghalang pandangan di sebelah barat itu.
Langit berawan, tapi masih ada celah untuk satu bintang yang sangat beruntung itu untuk menampakkan diri bagi penduduk pertiwi.
Aku duduk di kursi yang tidak kuketahui siapa pertama yang menaruhnya. Kursinya tidak seragam, ada yang kecil, besar, dan sedang. Tapi cukuplah untuk bersantai.
Sebuah meja kecil segi empat yang penuh dengan gelas- gelas kecil dan teko, yang juga kecil. Terlihat bekas minuman di dalamnya. Sepertinya ini peninggalan pesta bir teman-teman semalam.
Aku duduk pada satu kursi yang besar, kaki kananku kujulurkan ke atas satu kursi yang lain hadapanku. Sementara kaki kiriku kuanjurkan ke sela-sela kaki meja itu. Benar-benar sebagai orang tak bermasalah.
Aku duduk membelakangi dua buah tangki air berbahan anti karat yang berdiri kokoh dan warnanya paling bersih sendiri. Suara gemeretak sesekali terdengar darinya. Dia meregang entah karena kedinginan, entah ada suatu yang mengusiknya.
Sekarang salah satu teman ikut bergabung. Lantunan suara merdu bunda Riza tidak kumatikan. Biar dia mendengar. Siapa tahu dia suka dengan hentakan gendang dangdut negeriku ini.
Sekarang dia pergi. Aku sendiri lagi sekarang.
Dari kejauhan terdengar suara deru mercon. Sepertinya ada pesta si sana. Sepertinya itu bukan di pusat kota. Suaranya sayup-sayup sampai menyeruak dari antara sela-sela bangunan kota.
Angin sepoi-sepoi malam sudah terasa menghembus seraya membawa aroma khas daun-daun yang memenuhi taman NKUAS. Wangi, harum, cukup lumayan buat menenangkan pikiran.
Banyak lampu-lampu kamar di apartemen yang tinggi mengelilingiku itu, satu per satu mati. Waktunya istirahat buat mereka.
Sedangkan aku belum bisa istirahat. Dibawa tidur pun otakku masih bekerja memikirkan baris per baris di paper itu.
Paper, sebuah makluk yang hanya terdiri dari beberapa lembar tulisan itu. Tapi dia adalah sebuah tanda seorang mahasiswa doktor selamat atau gagal.
Sebuah meja kecil segi empat yang penuh dengan gelas- gelas kecil dan teko, yang juga kecil. Terlihat bekas minuman di dalamnya. Sepertinya ini peninggalan pesta bir teman-teman semalam.
Aku duduk pada satu kursi yang besar, kaki kananku kujulurkan ke atas satu kursi yang lain hadapanku. Sementara kaki kiriku kuanjurkan ke sela-sela kaki meja itu. Benar-benar sebagai orang tak bermasalah.
Aku duduk membelakangi dua buah tangki air berbahan anti karat yang berdiri kokoh dan warnanya paling bersih sendiri. Suara gemeretak sesekali terdengar darinya. Dia meregang entah karena kedinginan, entah ada suatu yang mengusiknya.
Sekarang salah satu teman ikut bergabung. Lantunan suara merdu bunda Riza tidak kumatikan. Biar dia mendengar. Siapa tahu dia suka dengan hentakan gendang dangdut negeriku ini.
Sekarang dia pergi. Aku sendiri lagi sekarang.
Dari kejauhan terdengar suara deru mercon. Sepertinya ada pesta si sana. Sepertinya itu bukan di pusat kota. Suaranya sayup-sayup sampai menyeruak dari antara sela-sela bangunan kota.
Angin sepoi-sepoi malam sudah terasa menghembus seraya membawa aroma khas daun-daun yang memenuhi taman NKUAS. Wangi, harum, cukup lumayan buat menenangkan pikiran.
Banyak lampu-lampu kamar di apartemen yang tinggi mengelilingiku itu, satu per satu mati. Waktunya istirahat buat mereka.
Sedangkan aku belum bisa istirahat. Dibawa tidur pun otakku masih bekerja memikirkan baris per baris di paper itu.
Paper, sebuah makluk yang hanya terdiri dari beberapa lembar tulisan itu. Tapi dia adalah sebuah tanda seorang mahasiswa doktor selamat atau gagal.
No comments:
Post a Comment