Setelah makan siang dan mengobrol sejenak, kemudian saya mendekat lagi ke rak makanan yang dilengkapi aneka masakan Indonesia yang telah siap makan itu. Semuanya prasmanan, ambil sendiri. Selepas itu menuju ke kasir untuk dihargakan oleh Mbak Sari. Kali ini bukan untuk makan di situ, tapi saya bungkus untuk makan malam nanti.
Bungkus nasi kalau di Taiwan berarti kotak nasi yang disekat dua: satu sekat yang besar untuk nasi, dan yang kecil untuk lauknya. Di Taiwan kotak nasi itu disebut dengan 便當 yang dengan huruf latin ditulis dengan "biàndang". Cara Indonesia kita baca dengan "pientang."
Saya mengambil ikan masak kecap, sayur ubi kuah lemak, kuah rendang, dan dua tempe goreng yang dibungkus secara terpisah dalam plastik ukuran setengah kilo gula pasir. Baik tempe dan kotak nasi, kedua-duanya dimasukkan ke satu tas keresek plastik yang sama.
Setelah membayar saya meninggalkan warung tersebut menuju ke perhentian bus jalur 30-merah. Bus yang melewati kampus saya, NKUAS.
Saya makan nasi itu di asrama sekitar pukul 7 malam. Nasi yang awalnya dalam kontak yang sudah padat sehingga seperti nasi cetak segi empat, kemudian saya ambil dengan cara menyedok dengan tangan dan saya letakkan di piring plastik kesayanganku yang berwarna kuning. Piring tersebut adalah sumbangan dari teman Vietnam, Quac Manh nama teman yang baik itu.
Saya menyantap nasi itu yang di atasnya telah berlumur kuah rendang, dengan tanganku yang berkulit sawo matang ini. Sesekali saya mengambil sedikit ikan yang masih berada di kotak, juga sayur ubinya. Sampai akhirnya semua habis tak tersisa. Piring dan kotak bersih seolah baru saja dicuci. Tak sebutir nasi pun yang tersisa.
Saya kenyang. Setelah bersendawa dan sedikit mengelus perut, kemudian saya mengikat kertas keresek yang berisi kotak nasi yang sudah kosong itu dan saya masukkan ke tong sampah yang berada di pojok kamar.
Sebenarnya tong sampah itu adalah ember yang berbentuk bulat panjang ke atas, makin ke atas ukurannya makin besar. Dia punya tutup sehingga bau sampah tidak merambat keluar.
Setelah itu saya menuju ke wastafel yang ada di ruang kamar mandi. Sampai di sana saya berkumur-kumur untuk mencuci mulut. Ini saya lakukan karena saya tidak pernah minum air ketika makan. Kebiasaan ini mengikuti jejak ayah tiri saya yang sampai akhir hayatnya berbadan sehat.
Setelah berkumur-kumur, saya mencuci piring dengan air saja, tanpa diterjen. Setelah itu saya masuk kamar dan belajar seperti biasa.
Sampai saat itu, tidak ada masalah apa-apa. Saya belajar saja santai. Pada pukul 9.10 malam, musik mozaik di asrama berbunyi. Itu tandanya tukang sampah sudah menanti di luar sana. Waktunya buang sampah.
Saya ambil tong sampah saya yang berwarna merah itu dan dengan mengenakan sarung saya turun ke bawah untuk menyetor sampah. Setelah itu saya naik lagi ke kamar dan belajar, lagi.
Tepat pukul 12.30 malam, saya matikan laptop dan naik ke tempat tidur yang berada di atas meja belajar. Lampu utama kami matikan. Ini adalah perjanjian kami di kamar jika ada salah satu dari kami yang mau tidur.
Seperti biasa, sebelum tidur saya suka mengkhayal. Materinya runut satu persatu, mulai membayangkan anakku si Nusayba yang baru bisa lari itu. Aku tersenyum tipis sendiri ketika membayang mahluk lucu sebagai anugerah terindah dalam hidupku itu.
Kemudian, saya membayangkan istri saya yang cantik itu, aku juga tersenyum. Beruntung saya mendapatkan istri cantik dengan selera humor tinggi dan bernama Muthmainnah Binti Abdullah yang berasal dari Blang Bidok.
Konon katanya, kecantikannya sampai tercium oleh penduduk seantero kecamatan. Itu kata dia kepada saya pada suatu hari, saya mendengarnya dengan serius sampai akhirnya, setelah menarik napas panjang saya bertanya, “Mi, kamu lapar, ya?” Percakapan itu pun disudahi dengan tertawa terdekah-dekah.
Anak dan istri, mengkhayalkan mereka tentu dengan cara melihat foto-foto mereka di hape saya yang dikirim via BBM dan Line setiap harinya. Imbas dari LDR.
Setelah senyam-senyum membayangkan dua wanita cantik dalam hidupku itu, sekarang gilirannya mengkhayal makanan yang saya makan tadi siang dan malam.
Nah, di situ muka saya tiba-tiba menggeronyot. Sambil menjerit dalam hati, "O, Tuhan. Ternyata aku tadi tidak memakan tempe yang sudah saya beli tadi siang."
Aku menyingkapkan selimut yang menutupi separuh badan saya itu dan turun dari tempat tidur. Saya mengais-ngais kertas yang ada di meja belajar saya, tapi tempe tidak ada. Akhirnya saya baru ingat, ternyata tempe itu tadi kan satu keresek dengan kotak nasi.
Mungkin karena guncangan ketika berjalan, posisi tempe menyelinap ke bawah kotak nasi di dalam plastik keresek itu. Dan, dia pasti luput dari pandangan saya ketika makan malam tadi, karena kotak nasi yang medindih tempe itu tidak saya keluarkan dari kantong plastik, hanya saya buka saja tutupnya.
Berarti, kotak nasi dan tempe tadi berangkat bersama dengan tas plastik keresek menuju gerobak sampah di bawah. Suasana lengang. Hanya ada suara kipas yang menderu meniup angin kesana kemari di kamar asrama ini. Sementara aku terdiam walaupun dalam hati merepet menyesali.
Yang pernah menjadi anak kos, pasti bisa membayangkan kondisi hati saya tadi malam. Sakitnya tuh bukan hanya di sini, tapi di mana-mana. Tempe goreng itu adalah kesukaan saya semenjak sekolah S1 di Jogjakarta, sudah kubeli malah lupa kumakan, terus tak sengaja kubuang begitu saja.
--------------------------------------------------
Tas plastik keresek itu adalah istilah orang Aceh untuk kantong plastik yang biasa dipakai ketika kita belanja di warung. Kalau kita remas-remas mengeluarkan suara keresek. Dalam bahasa Aceh kita menyebutnya dengan "umpang kreh-kroh," terjemahannya "tas (plastik) keresek."
No comments:
Post a Comment