Setelah
kehilangan sepeda beberapa hari yang lalu, tiba-tiba sekarang saya mempunyai
kebiasaan yang romantis. Romantis dalam pemahaman saya tentunya. Mungkin bagi orang
lain malah terlihat aneh.
Ceritanya
begini. Sekarang begitu azan magrib berkumandang di hape atau komputer, saya
langsung salat. Setelah itu pakai baju serapi mungkin, menyisir rambut setelah
kulumuri dengan minyak Gatsby, terus memakai minyak wangi yang bermerek Minyeuk
Pret yang dikasih oleh teman beberapa bulan lalu itu, kemudian keluar untuk
makan malam.
Kalau dulu
waktu masih punya sepeda, saya kerap membungkus nasi dan makan di asrama atau di lab.
Sekarang saya lebih cenderung memakannya di warung. Hal ini tentu karena tidak
menarik berjalan kaki dengan perut kosong.
Setelah
makan di warung biasanya saya tidak pulang dulu ke asrama, melainkan
putar-putar sebentar untuk mencari makanan ringan sebagai persiapan jika tengah
malam lapar lagi. Padahal dulu kalau lapar malam-malam langsung saja keluar
dengan sepeda hitam yang sudah hilang itu. Sekarang malas, harus jalan kaki
soalnya.
Untuk makan
selain nasi, biasanya saya membeli buah-buahan di toko buah di depan kampus. Saya
sering membeli buah yang sudah dikuliti dan dikemas dalam wadah plastik
transparan itu, harganya 30 NTD per buah, beli dua dihargai 50 NTD. Saya sering
membeli nanas yang sudah di potong-potong itu.
Selain buah,
saya juga sering membeli roti terang bulan, penjualnya tidak jauh dari toko
buah tadi. Roti terang bulan itu kalau orang Blangjruen menyebutnya dengan nama
yang lumayan vulgar: ‘ruti pukau keubeu’. Kalau di-Indonesia-kan menjadi ‘roti
pukas kerbau.’ Tidak tahu kenapa namanya bisa sejorok itu. Mungkin ada
kemiripan dari segi bentuknya, barangkali. Saya juga jarang melihat kerbau.
Setelah
membeli itu, saya juga tidak langsung pulang, tetapi duduk-duduk dulu di sebuah
bangku bundar yang melingkari sebuah pohon yang tidak kuketahui namanya itu.
Kursi melingkar itu dibuat dengan posisi duduk di sebelah luar lingkaran, sehingga
ketika kita duduk kita akan membelakangi pohon yang diingkarinya itu. Dan, tentunya,
juga akan membelakangi orang-orang yang duduk dibelakang kita.
Hal ini
membuat bangku itu tidak cocok untuk nongkrong rame-rame, karena tempat duduk itu
tidak bisa membuat kita berhadap-hadapan. Sehingga cocoklah jika saya pergi
sendiri untuk duduk di bangku itu. Orang lain yang tak kukenal yang duduk di
sebelah saya akan berhadap ke lain arah.
Duduk di depan
kampus NKUAS selepas magrib ternyata nikmat juga, karena saat itu jalan pas rame
dan padat, tapi teratur. Banyak mahasiswa dan pekerja kantor berlalu-lalang
dengan segala bentuk modelnya.
Ada yang pakai
sepeda, ada yang jalan kaki, ada yang pakai sepeda listrik, kursi roda listrik,
dan tentu banyak yang pakai mobil pribadi juga. Bus-bus umum juga berlalu
dengan gagahnya yang penuh disesaki penumpang yang baru pulang kantor atau sekolah itu.
Ada beberapa anak abege, mungkin mereka mahasiswa NKUAS, duduk-duduk di atas sepeda
motornya yang sudah distandarkan, dan helm digantungkannya pada salah satu
setang. Mereka terlihat mengobrol dengan teman-temannya. Mereka memilih mengobrol
di sepeda motor ketimbang di kursi lingkar itu. Mungkin sebabnya ya itu tadi,
kursinya dibuat melingkar tapi menghadap ke luar.
Saya duduk
di situ sambil menikmati awal malam dengan menghadap ke jalan. Langit sudah
sempurna gelapnya. Papan-pana reklame di sekujur jalan Jian Gong sudah menyala
semua. Sebagian besar tertulis dalam karakter Mandarin yang tidak kumengerti
artinya itu.
Tulisan-tulisan
itu dilengkapi dengan lampu LED yang akan dinyalakan saat malam tiba. Lampu LED
itu ada yang kelap-kelip, ada juga yang kejar-kejaran, dan ada juga LED yang
membentuk tulisan berjalan. Semuanya itu memenuhi ruang pandang saya baik
sebelah kiri maupun kanan.
Saya baru
beranjak dari tempat duduk itu setelah kumandang azan isya memekik di hape
saya. Saya pun kembali ke asrama, ambil wudhu, salat isya, belajar, dan tidur.
Begitulah putaran hidup saya di Taiwan yang hampir sama setiap hari. Derajat kebosanan tentu bisa
dibayangkan, di atas kelas wahid. Tapi tetap romantis.
No comments:
Post a Comment