Wednesday, November 18, 2015

Bosan Tapi Tetap Romantis, Kehidupan Seorang Mahasiswa Doktor Di NKUAS Taiwan

Setelah kehilangan sepeda beberapa hari yang lalu, tiba-tiba sekarang saya mempunyai kebiasaan yang romantis. Romantis dalam pemahaman saya tentunya. Mungkin bagi orang lain malah terlihat aneh.

Ceritanya begini. Sekarang begitu azan magrib berkumandang di hape atau komputer, saya langsung salat. Setelah itu pakai baju serapi mungkin, menyisir rambut setelah kulumuri dengan minyak Gatsby, terus memakai minyak wangi yang bermerek Minyeuk Pret yang dikasih oleh teman beberapa bulan lalu itu, kemudian keluar untuk makan malam.

Kalau dulu waktu masih punya sepeda, saya kerap membungkus nasi dan makan di asrama atau di lab. Sekarang saya lebih cenderung memakannya di warung. Hal ini tentu karena tidak menarik berjalan kaki dengan perut kosong.

Setelah makan di warung biasanya saya tidak pulang dulu ke asrama, melainkan putar-putar sebentar untuk mencari makanan ringan sebagai persiapan jika tengah malam lapar lagi. Padahal dulu kalau lapar malam-malam langsung saja keluar dengan sepeda hitam yang sudah hilang itu. Sekarang malas, harus jalan kaki soalnya.

Untuk makan selain nasi, biasanya saya membeli buah-buahan di toko buah di depan kampus. Saya sering membeli buah yang sudah dikuliti dan dikemas dalam wadah plastik transparan itu, harganya 30 NTD per buah, beli dua dihargai 50 NTD. Saya sering membeli nanas yang sudah di potong-potong itu.

Selain buah, saya juga sering membeli roti terang bulan, penjualnya tidak jauh dari toko buah tadi. Roti terang bulan itu kalau orang Blangjruen menyebutnya dengan nama yang lumayan vulgar: ‘ruti pukau keubeu’. Kalau di-Indonesia-kan menjadi ‘roti pukas kerbau.’ Tidak tahu kenapa namanya bisa sejorok itu. Mungkin ada kemiripan dari segi bentuknya, barangkali. Saya juga jarang melihat kerbau.

Setelah membeli itu, saya juga tidak langsung pulang, tetapi duduk-duduk dulu di sebuah bangku bundar yang melingkari sebuah pohon yang tidak kuketahui namanya itu. Kursi melingkar itu dibuat dengan posisi duduk di sebelah luar lingkaran, sehingga ketika kita duduk kita akan membelakangi pohon yang diingkarinya itu. Dan, tentunya, juga akan membelakangi orang-orang yang duduk dibelakang kita.

Hal ini membuat bangku itu tidak cocok untuk nongkrong rame-rame, karena tempat duduk itu tidak bisa membuat kita berhadap-hadapan. Sehingga cocoklah jika saya pergi sendiri untuk duduk di bangku itu. Orang lain yang tak kukenal yang duduk di sebelah saya akan berhadap ke lain arah.

Duduk di depan kampus NKUAS selepas magrib ternyata nikmat juga, karena saat itu jalan pas rame dan padat, tapi teratur. Banyak mahasiswa dan pekerja kantor berlalu-lalang dengan segala bentuk modelnya.

Ada yang pakai sepeda, ada yang jalan kaki, ada yang pakai sepeda listrik, kursi roda listrik, dan tentu banyak yang pakai mobil pribadi juga. Bus-bus umum juga berlalu dengan gagahnya yang penuh disesaki penumpang yang baru pulang kantor atau sekolah itu.

Ada beberapa anak abege, mungkin mereka mahasiswa NKUAS, duduk-duduk di atas sepeda motornya yang sudah distandarkan, dan helm digantungkannya pada salah satu setang. Mereka terlihat mengobrol dengan teman-temannya. Mereka memilih mengobrol di sepeda motor ketimbang di kursi lingkar itu. Mungkin sebabnya ya itu tadi, kursinya dibuat melingkar tapi menghadap ke luar.

Saya duduk di situ sambil menikmati awal malam dengan menghadap ke jalan. Langit sudah sempurna gelapnya. Papan-pana reklame di sekujur jalan Jian Gong sudah menyala semua. Sebagian besar tertulis dalam karakter Mandarin yang tidak kumengerti artinya itu.

Tulisan-tulisan itu dilengkapi dengan lampu LED yang akan dinyalakan saat malam tiba. Lampu LED itu ada yang kelap-kelip, ada juga yang kejar-kejaran, dan ada juga LED yang membentuk tulisan berjalan. Semuanya itu memenuhi ruang pandang saya baik sebelah kiri maupun kanan.

Saya baru beranjak dari tempat duduk itu setelah kumandang azan isya memekik di hape saya. Saya pun kembali ke asrama, ambil wudhu, salat isya, belajar, dan tidur. Begitulah putaran hidup saya di Taiwan yang hampir sama setiap hari. Derajat kebosanan tentu bisa dibayangkan, di atas kelas wahid. Tapi tetap romantis.

No comments:

Post a Comment