Aku yang kebetulan melintas di depannya juga ikut tersenyum seraya bertanya, “Anak kamu?” Dia hanya mengangguk saja, tidak mau menjawabnya walaupun dengan hanya kata “iya” sekalipun. Kemudian dia terus menyaksikan bayinya itu tanpa memedulikan aku lagi.
Aku bergegas pergi menjauh setelah tidak diacuhkannya itu. “Aku paham, aku juga punya anak yang masih bayi,” Kataku dalam hati. Rindu akan anak istri nun jauh di sana rasanya bagai tertusuk pepas: perih, sembiluan, dan sulit dilepaskan.
Pemandangan seperti ini adalah hiasan wajib yang disuguhkan oleh mahasiswa-mahasiswa penghuni asrama yang rata-rata sudah menikah, punya anak, dan ditinggal di kampung halaman demi bersekolah di Taiwan ini.
Kadang suara anak kecil menangis, tertawa lucu, kadang dengan nada tersengut-sengut anak bertanya, “ayah kapan pulang?,” dan sesekali suara istri yang manja dan cantiknya bukan buatan itu keluar dari saluran-saluran komunikasi berbasis internet.
Pahitnya kerinduan itu justru lebih getir daripada kesulitan dalam mempersiapkan sebuah paper untuk sebuah jurnal internasional dengan faktor pengaruh setinggi langit sekalipun. Tapi, apa yang harus dikata, jalan hidup orang itu beda-beda. Kami harus menelan semua rasa itu walaupun muskil, pelik.
‘Pilih keluarga atau karier?’, kalimat ini sering dipakai sebagai amunisi untuk menyerang. Sebuah pertanyaan yang paling memualkan perut, reaksinya lebih keras daripada garam glauber sekalipun.
Bagi saya, pertanyaan memilih karier atau keluarga adalah sebuah tanya yang sudah usang. Pertanyaan itu bukan sekarang waktunya. Tapi dulu, sebelum melangsungkan pernikahan. Jawaban saya dari dulu sampai sekarang tegas sekali untuk itu: saya pasti memilih dua-duanya, keluarga dan karier, titik.
Pemandangan seperti ini adalah hiasan wajib yang disuguhkan oleh mahasiswa-mahasiswa penghuni asrama yang rata-rata sudah menikah, punya anak, dan ditinggal di kampung halaman demi bersekolah di Taiwan ini.
Kadang suara anak kecil menangis, tertawa lucu, kadang dengan nada tersengut-sengut anak bertanya, “ayah kapan pulang?,” dan sesekali suara istri yang manja dan cantiknya bukan buatan itu keluar dari saluran-saluran komunikasi berbasis internet.
Pahitnya kerinduan itu justru lebih getir daripada kesulitan dalam mempersiapkan sebuah paper untuk sebuah jurnal internasional dengan faktor pengaruh setinggi langit sekalipun. Tapi, apa yang harus dikata, jalan hidup orang itu beda-beda. Kami harus menelan semua rasa itu walaupun muskil, pelik.
‘Pilih keluarga atau karier?’, kalimat ini sering dipakai sebagai amunisi untuk menyerang. Sebuah pertanyaan yang paling memualkan perut, reaksinya lebih keras daripada garam glauber sekalipun.
Bagi saya, pertanyaan memilih karier atau keluarga adalah sebuah tanya yang sudah usang. Pertanyaan itu bukan sekarang waktunya. Tapi dulu, sebelum melangsungkan pernikahan. Jawaban saya dari dulu sampai sekarang tegas sekali untuk itu: saya pasti memilih dua-duanya, keluarga dan karier, titik.
Sejak awal menjadi dosen di Politeknik Negeri Lhokseumawe, saya sudah tahu semua konsekwensi menjadi seorang dosen. Harus meninggalkan kampung halaman untuk studi lanjut itu sudah tergambar dari tahun 1 saya menjadi dosen.
Perempuan, jika sudah memilih suami seorang dosen, juga sudah siap seandainya suatu saat suaminya harus berangkat tugas belajar lagi. Demikian juga Allah SWT, tidak akan pernah salah dalam menakdirkan seorang bayi terlahir sebagai anak dosen yang ayahnya kadang harus pergi jauh dalam menjalankan tugasnya.
Jadi, ketika ada pertanyaan pilih karier atau keluarga? Jawabannya mudah bagi saya: pemilihan itu sudah usai. Sekarang kita move on. Saya dan istri sangat menikmati irama hidup kami ini, hidup penuh kerinduan untuk sementara waktu.
Semoga cepat lulus.
Perempuan, jika sudah memilih suami seorang dosen, juga sudah siap seandainya suatu saat suaminya harus berangkat tugas belajar lagi. Demikian juga Allah SWT, tidak akan pernah salah dalam menakdirkan seorang bayi terlahir sebagai anak dosen yang ayahnya kadang harus pergi jauh dalam menjalankan tugasnya.
Jadi, ketika ada pertanyaan pilih karier atau keluarga? Jawabannya mudah bagi saya: pemilihan itu sudah usai. Sekarang kita move on. Saya dan istri sangat menikmati irama hidup kami ini, hidup penuh kerinduan untuk sementara waktu.
Semoga cepat lulus.
No comments:
Post a Comment