Wednesday, January 27, 2016

Pisang Goreng Pisban Apakir Di Darussalam Banda Aceh

Seumur-umur aku belum pernah melihat gorengan selaris gorengan Pisban Apakir di Darussalam Banda Aceh. Melihat ramainya pembeli, aku jadi terseret ikut-ikutan mengantre membeli gorengan hasil karya beberapa anak muda ini.

Dengan berbalut baju seragam, mereka melayani pelanggan yang memenuhi trotoar jalan Darussalam yang padat. Ada yang bertugas mengupas pisang, yang menggoreng, dan ada juga yang membungkusnya untuk pelanggan yang sekaligus bertindak sebagai kasir.

Aku tak akan membahas bagaimana rasanya gorengan ini sehingga sebegitu larisnya. Sulit mengilustrasikan perbedaan rasa gorengan dari satu tempat dengan tempat lainnya.

Namun, yang jelas, satu keunggulan dari gorengan Pisban Apakir ini yang sulit dicapai tukang gorengan lain, yaitu nuansa ramai yang telah mereka miliki. Maksud nuansa ramai di sini adalah perbedaan rasa karena ramai.

Seperti rasa sayur dari kebunnya Bob Sadino, yang memanfaatkan nuansa mahal. Ia menjual mahal dulu sehingga orang akan merasakan enak karena telah mengeluarkan banyak uang.

Jadi, ketika orang melihat begitu ramai yang mengantre, maka siapa pun akan penasaran dan ingin mencobanya. Hal ini pernah aku dengar dari seorang pembisnis besar. Sebuah tempat dibikin ramai dulu sehingga orang akan merasa penasaran dan akan membelinya.

Di samping, tentu, kualitasnya juga harus dijaga sehingga orang akan kembali lagi setelah menikmati di kali pertama, seperti gorengan Pisban Apakir ini yang rasanya memang gurih.

Nuansa ramai inilah yang menarik diriku ketika pertama kali melihat begitu banyaknya orang mengantre di tempat gorengan ini. Aku jadi terdorong untuk mencobanya. Dan, setelah mencicipinya, aku pun menjadi salah satu pelanggan tetap gorengan Pisban Apakir ini.

Aku salut sama anak-anak muda ini. Sanggup menarik pelanggan ditahap awal ketika mereka mulai meniti karir sebagai tukang gorengan.

Ini sebenarnya yang menarik. Sehingga pada akhirnya, jika orang ingin makan gorengan, di kepalanya pasti terbayang Pisban Apakir.

Karena begitu laris, gorengan di sini selalu hangat ketika kita membelinya. Karena setelah matang langsung laku. Jarang sekali gorengannya sampai dingin karena lama tak ada yang beli.

Untuk mencukupi permintaan pelanggan, dua belanga dengan ukuran garis tengah sekira satu meter digunakan untuk menggoreng tahu, pisang, dan tempe dengan balutan tepung yang gurih.

Aku biasanya membeli 10 ribu rupiah dengan meminta porsi bakda pisang yang lebih banyak. Dan sisanya dicampur dengan tempe dan tahu goreng.

Unggulnya, di Pisban Apakir ini kita akan diberi kerak bakda dalam jumlah yang banyak dan masih hangat juga. Setiap satu kantong gorengan, mereka langsung memasukkan kerak dari tepung gorengan yang lepas dari bakda ketika di goreng ini.

Pelanggan tak perlu meminta lagi karena ini sudah menjadi standar mereka. Setiap pelanggan akan dijatahi satu piring kecil kerak bakda. Sungguh nikmat makan kerak tepung gurih itu sambil makan gorengannya.

Letak tempat gorengan Pisban Apakir ini sekira 300 meter sebelum gapura kampus Unsyiah. Berada di sebelah kanan jalan jika kita sedang menuju ke arah Unsyiah.
Pekerja Pisban Apakir sedang melepaskan gorengan yang berkelindan dalam minyak panas dengan dua buah sudip

No comments:

Post a Comment