"Bang, sudah pesan minuman?" seorang pelayan warung kopi (selanjutnya kusebut warkop) menghampiriku yang baru saja duduk di meja nomor 14.
Aku memilih meja ini karena dekat dengan stopkontak untuk steker laptopku yang sedang haus energi.
"Sudah, Bang," aku membuka laptop dan mengambil kabel daya dan mos dari tas rangselku yang berwarna cokelat yang sudah berumur 3 tahun ini.
Pelayan itu pun meninggalkanku bersama laptopku yang kadang-kudang susah hidup.
Aku mencoba menghubungkannya ke internet dengan Wifi semi-gratis yang disediakan wakop. Semi-gratis maksudku tidak gratis betul. Mengakses internet di warkop ini berarti kita harus minum atau makan sesuatu, dan itu harus bayar.
Padahal aku dari dulu tak suka duduk di warkop. Aku juga tak suka minum teh. Apalagi kopi, hampir tak pernah. Merokok, lebih-lebih lagi.
Namun, karena terpaksa minum sesuatu. Maka aku memilih minum teh hangat. Teh hangat kalau di Aceh kita menyebutnya teh setengah panas (tee iteungoh panah).
"Bang, aku minum teh saja. Gulanya dikit saja ya," aku memesan minuman kepada pelayan segera setelah aku sampai di warkop ini tadi, sebelum pelayan ke dua datang.
Sambil menunggu teh -minuman andalan jika terpaksa minum- aku mengutak-atik aplikasi nirkabel laptopku. Tak bisa tersambung. Padahal sudah benar seperti yang kulakukan beberapa hari yang lalu, ketika pertama masuk ke warkop ini.
Aku melihat kiri kanan menelisik wajah-wajah yang beraut mudah diajak bicara. Pandanganku terkunci pada seorang anak muda yang tepat berada di belakangku.
Aku mencabut kabel daya dan mos laptop dan membawanya ke meja si pemuda yang beruntung itu. Beruntung memiliki wajah yang sejuk dan teduh.
"Dek, tolong, gimana cara menyambung ke internet ya, Dek?" aku menatap wajahnya yang berkulit khas Aceh. Kulit eksotik bernuansa tepi pantai.
"O, pakek ini, Bang, yang baru ini," dia mencoba menghubungkannya dengan memasukkan kata sandi yang sama seperti yang kuperoleh beberapa hari lalu dari pelayan warkop.
"Ditunggu aja, Bang, ini nanti akan terhubung," dia menyerahkan kendali laptop kepadaku lagi. Aku pun kembali ke mejaku.
Lama juga koneknya. Aku mencoba menghubungkan ulang sampai akhirnya berhasil. Laman demi laman aku buka. Namun, tak semua muncul, beberapa di antaranya eror. Hanya layar dinosaurus yang muncul.
Kucoba muat ulang, setelah mencoba beberapa kali baru bisa. Halaman per halaman aku baca, sampai akhirnya semua laman tak bisa kuakses lagi. Internet semi-gratis putus total. Dahiku mengernyit serasa pingin cepat balik ke Taiwan.
Kucoba hubungkan beberapa kali lagi. Tapi tetap saja tak bisa. Aku menoleh kiri kanan lagi. Tapi... aku tak berani bertanya lagi. Solusi terbaik aku rasa adalah matikan saja laptopnya.
Steker dan mos pun kucabut, laptop kumatikan serta kumasukkan kembali ke rangsel kesayanganku. Tapi, aku belum mau pulang. Aku mau tetap duduk di sini.
Walaupun, asap rokok mengepul dari mulut-mulut peminat kopi di sekelilingku. Aku hanya menghirup asap buangan mereka saja karena aku tak merokok sedari orok.
Kipas-kipas yang tergantung di loteng warkop berputar menurunkan angin dan membuyarkan julangan asap rokok yang beragam bentuk, yang terkadang memang sengaja dibentuk seperti kue donat, berlubang tengah.
Riuh rendah, tawa silih berganti dari satu meja ke meja lain sebagai tawa serdadu baru menang perang. Aku duduk sendiri saja.
Padahal aku bisa tertawa seperti mereka. Bahkan lebih keras dan nyaring daripada itu, sampai tingkatan nada jawabul jawab seperi di MTQ itu. Tapi tentunya tidak sekarang, karena aku sedang duduk sendiri.
Aku ke sini cuma ingin mengakses internet, bukan ingin bercengkerama sambil berinternet semi-gratis. Makanya tak seorang pun teman yang kuajak.
Eits, aku lupa. Masih ada yang gratis, yaitu asap dari segala merek rokok dan tawa segala model dan tingkatan nada, mulai dari qarar (rendah), jawab (tinggi), dan jawabul jawab (tinggi sekali).
No comments:
Post a Comment