Friday, January 22, 2016

Sensasi Naik Pesawat Kecil Berbaling-baling Milik Maskapai Wings Air

Dari Medan ke Banda Aceh hari Kamis minggu lalu, aku langsung naik pesawat setelah turun dari pesawat Air Asia yang menerbangkanku dari Taipei ke Medan setelah tiga jam transit di Kuala Lumpur.

Rencana awal aku mau naik bis dari Medan ke Blangjruen, kemudian berangkat ke Banda Aceh setelah istirahat beberapa jam di kampung halamanku itu.

Namun, setelah melihat harga tiket pesawat dari Medan ke Banda Aceh lebih murah dari ongkos bis, maka aku pun tak ragu lagi untuk naik pesawat saja.

Aku naik pesawat ATR milik maskapai Wings Air dengan cirinya ada baling-baling di kedua sayapnya. Jenis pesawat yang sangat kusukai semenjak kecil dulu.

Bukan karena alasan keamanannya yang katanya pesawat bersudu ini lebih aman daripada pesawat jet, tapi lebih kepada keinginan untuk menikmati suasana pesawat dengan jenis yang sama dengan pesawat yang sering terbang di atas atap rumahku ketika perusahaan Mobil Oil berjaya di kampung halamanku dulu.

Pesawat yang sering aku naiki selama ini berjenis Boeing dan Airbus yang menggunakan mesin jet. Jet maksudku di sini adalah pesawat yang tak berbaling-baling. Walaupun sebenarnya ia tetap mempunyai sudu, tapi terbungkus di dalam mesin sana dan tidak terlihat ke luar.

Dulu, Mobil Oil mempunyai pesawat sendiri untuk mengangkut karyawannya bolak balik Blangjruen (Point A) - Medan. Rumahku yang tak jauh dari landasan pacu bandara, turun dan naiknya pesawat yang bernama Pelita Air ini menjadi alarm gratis yang akan membangunkan siapapun yang sedang terlelap tidur.

Aku sebagai anak seorang petani dan pedagang kampung, tentunya menaiki pesawat dengan dua baling-baling itu hanyalah sebuah mimpi sebagai hiasan tidur saja, yang tak kan pernah menjadi nyata. Hanya karyawan dan keluarganya saja yang bisa menikmati aroma perfum kabin pesawat termewah yang aku kenal saat itu.

Aku hanya menonton saja di balik pagar dengan penuh kekaguman dan mengkhayalkan bila suatu saat nanti bisa naik pesawat yang berwarna dasar putih dan bergaris-garis merah itu. Dan, sempat juga aku bercita-cita bisa jadi karyawan di perusahaan raksasa ini suatu saat nanti.

Namun, setelah aku selesai kuliah di UGM, mimpiku untuk bekerja di perusahaan besar ini mulai meredup mengingat banyak pegawai yang diberhentikan dan menjadi manusia biasa, keluar dari kemewahan fasilitas berkelas internasional menuju masa was-was menyongsong hari tua.

Saat ini, aku berada dalam profesi kebanggaanku, yaitu sebagai seorang dosen di Politeknik Negeri Lhokseumawe. Sebuah institusi yang juga sebagai almamaterku sebelum hijrah ke kota Kesultanan Jogjakarta Hadiningrat.

Dengan profesiku ini, sudah pasti aku sering naik turun pesawat. Namun, cita-cita kecilku sungguh tak bisa di-upgrade. Sudah sering naik pesawat jet, tapi tetap saja masih ingin naik pesawat kecil berbaling-baling. Soalah aku ingin membayangkan bagaimana rasanya jadi penumpang pesawat yang sering membangunkanku di waktu kecil itu.

Hari itu hari Kamis sekitar pukul 8 pagi di Bandara Kualanamu Medan. Aku melakukan check-in di konter pesawat Wings Air tujuan Banda Aceh.

"Bording-nya pukul 9.45 ya, Pak," petugas konter memberikan boarding pass kepadaku.

Aku hanya tersenyum kemudian pergi ke ruang tunggu di pintu 6. Satu pintu dengan pesawat tujuan Gunung Sitoli dan Lhokseumawe. Aku menatap ke kiri dan kanan berharap ada calon penumpang yang berbahasa Aceh. Tapi semua berbahasa Indonesia. Dan aku pun duduk sendiri saja sambil memanfaatkan fasilitas internet gratis.

Tepat pukul 9.45 pagi kami pun dipanggil untuk segera naik pesawat. Kami dianggkut dengan bus menuju pesawat yang diparkir jauh dari garbarata, tapi aku bisa melihat pesawat itu dari ruang tunggu.

"OK, sampai," sopir bus menginjak rem dan membuka pintu.

Hari itu, ada sekira 40 penumpang yang menggunakan jasa pesawat kecil yang sanggup menampung 80 penumpang ini. Hanya separuhnya. Jadi, mudah bagiku untuk pindah bangku jika ingin melihat panorama Aceh dari atas setelah lepas landas nantinya.

"Pesawat apaan ini! Terbang saja tak sanggup," seorang bapak bertongkat menatap pesawat sejenak sebelum naik ke pesawat. Sepertinya ia tak suka naik pesawat ini. Orang kepercayaannya telah memilih pesawat ini buatnya.

"Duh, si Bapak. Ini pesawat kesukaanku, lho. Kata orang-orang pesawat ini justru lebih aman, lho, Pak," aku bergumam sendiri dalam hati.

Aku masuk ke pesawat mendahuluinya. Pesawat baru saja dihidupkan kayaknya. Kabin masih hangat dan pramugari juga terlihat berkeringat. Mukanya berminyak tapi masih tetap terlihat cantik dan sabar dengan senyumannya yang meneduhkan.

Aku langsung berlalu setelah membalikkan senyum Mbak pramugari. Sampai di dalam, baru sadar ternyata model bangkunya sama dengan yang ada di pesawat ekonomi lain. Ada dua bangku per deret.

Karena berbadan kecil, atap pesawat ini terlalu rendah sehingga memberi kesan pengap. Aku yang baru masuk tak tahu di mana letak nomor bangku. Setelah diberitahu penumpang lain, baru kutahu ternyata nomornya dekat lampu di atas pintu bagasi kabin

Walaupun demikian, semua yang ada di pesawat besar, ada sini. Temasuk penyediaan makanan yang bisa kita beli jika seandainya lapar. Tapi aku tak memedulikan tawaran makanan dari kru pesawat. Aku hanya tertarik menatap ke bawah melihat birunya gunung-gunung di dataran tinggi Aceh.

Jumlah penumpang yang tak memenuhi pesawat dibagi ke dalam tiga kelompok. Di bagian depan, tengah, dan belakang. Aku dapat bangku di kelompok tengah dan dapat bangku yang tidak dekat jendela. Ketika pesawat sudah pada ketinggian jelajah, aku pindah ke bangku kosong agar leluasa melihat ke bawah dan sesekali melihat ke arah sudu.

Awalnya aku pikir pesawat kecil ini terbang rendah yang memungkinkan aku bisa melihat jelas pucuk kelapa, sungai, dan jalan di bumi Aceh. Ternyata sangkaanku salah, pesawat ini terbang di 17 ribu kaki. Tinggi juga ternyata. Pohon-pohon di bawah sana hanya terlihat membiru dari kabin pesawat.

Setelah 5 menit terbang, suhu kabin sudah terkondisi sempurna. Sudah sejuk sebagai pesawat besar yang biasa aku naiki selama ini. Satu jam 20 menit kemudian, pesawat mendarat dengan mulus di Bandara Sultan Iskandar Muda Banda Aceh.
Pesawat sebelum berangkat
Penumpang sedang masuk ke pesawat
Suasana kabin
Penampakan dataran Aceh dari dalam kabin
Bandara Sultan Iskandar Muda Banda Aceh
Ditulis pada 21 Januari 2016

No comments:

Post a Comment