Monday, December 12, 2016

Alasan

Kalau tidak salah, saya lahir di tahun 1980. Tanggal dan bulannya sampai sekarang masih gelap bagi saya dan bagi segenap keluarga saya. Kalau itu benar, berarti saya sudah berumur 36 tahun sekarang. Tidak terlalu muda dan tidak pula terlalu tua. Di umur saya yang siap menggapai usia empat puluh ini, salah satu urusan yang paling sulit bagi saya adalah, apabila bertemu orang yang selalu suka bertanya alasan atas apa saja yang saya lakukan.

Dulu, segera setelah saya lulus kuliah sarjana teknik mesin di Universitas Gadjah Mada pada tahun 2005, saya sempat ikut tes wawancara di sebuah perusahaan alat berat terkenal di kawasan Cikarang, Bekasi. Saya berangkat dari stasiun Lempuyangan Yogyakarta dengan kereta api kelas ekonomi di sore hari. Pagi-pagi saya sampai di Jakarta.

Dalam keadaan kurang tidur, saya langsung berangkat ke kawasan Cikarang. Jalanan macet, lancar, dan macet lagi, mengikuti ritme yang tidak teratur dan membosankan itu. Saya sempat tertidur beberapa jenak di dalam bus mengingat suhu belumlah tinggi sebab masih pagi. Pukul sepuluh baru saya sampai di perusahaan itu. Perut saya lapar. Tidak sempat makan karena takut telat sampai di tempat wawancara. Karenanya, saya sangat berharap di perusahaan yang megah itu nantinya, saya diberi makan. Tapi sayang, nyatanya tidak.

Sampai di sana saya diwawancarai oleh seorang pegawai yang namanya begitu menggelegar membahana. Hampir mirip nama dari salah satu anak presiden Soekarno. Kami duduk berhadap-hadapan. Wawancara segera dimulai. Setelah saya jelaskan bahwa skripsi saya mengupas tentang alat berat, dan dengan itu saya yakin betul sesuai dengan perusahaan tersebut, tiba-tiba saya diselanya dengan pertanyaan, “Kenapa kamu suka mempelajari alat berat?”

Terus terang saya bingung menjawab pertanyaan ini. Karena memang saya tak mempunyai alasan menarik atas mengapa saya tertarik dengan alat berat. Dulu ketika saya mengambil matakuliah alat berat –sebagai matakuliah pilihan, bukan wajib–, saya hanya mengambil begitu saja. Dan sampai sekarang tak tahu mengapa saya memilih matakuliah itu, yang pada akhirnya mengantarkan saya pada menulis skripsi tentang alat berat. Celakanya, sekarang di depan pewawancara saya harus mengemukakan alasan itu. Pun saya juga dihantui kata orang, bahwa jawabannya harus semenarik mungkin. Tak peduli mau bohongan atau benaran alasan itu.

Dasar memang kurang pengalaman berbohong, alasan saya yang keluar begitu lugu, “Saya ini orangnya kurang seni dan tak rapi. Alat berat itu bentuknya kasar, terlihat dari bentuk bangunnya yang tak begitu rumit, sehingga cocok buat saya.” Saya yakin bukan itu alasan saya memilih berkecimpung di alat berat. Alasan konyol ini mutlak saya karang saja secara darurat dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.

Atas alasan palsu itu, ternyata saya didebat oleh pewawancara, “Siapa bilang alat berat itu tidak seni. Karyawan di sini mengelas itu pakai seni. Kalau tidak, tidak akan rapi.” Ini adalah kali pertama saya menghadapi wawancara di perusahaan. Perusahaannya besar lagi. Saya hanya diam ketika didebat dengan mata menatap nanar ke arah pewawancara. Entah dia kasihan kepada saya, akhirnya materi wawancara diganti dengan materi yang lain. Tak berapa lama wawancara itu usailah, dan dilanjutkan dengan psikotes.

Sampai sekarang saya tidak pernah tahu apakah saya diterima atau ditolak oleh perusahaan itu. Karena setelah tes saya tidak pernah dihubungi lagi, dan saya pun tidak pernah menghubunginya lagi. Sampai akhirnya saya pulang ke Blangjruen dan menyatakan dalam hati tidak mau bekerja di perusahaan itu.

Sampai di Aceh, saya memutuskan untuk mendaftar menjadi dosen di Politeknik Negeri Lhokseumawe (PNL). Dulu dengan ijazah sarjana masih bisa mendaftar menjadi dosen.

Untung saja ketika saya mengikuti tes penjaringan dosen di PNL, tidak ada wawancara. Dan karenanya tidak ada serbuan pertanyaan tentang apa alasan saya menjadi dosen. Dan kali ini, saya lulus. Diterima sebagai dosen di PNL jurusan teknik mesin. Menjadi seorang dosen dengan tanpa harus mengarang alasan.

Rong-rongan terhadap permintaan alasan ternyata belum berhenti dalam hidup saya selanjutnya. Dulu, di saat saya sedang mencari calon istri, ternyata orang yang saya dekati itu juga menanyakan alasan saya mengapa suka kepadanya. Duh, bingung lagi saya. Akhirnya saya terpaksa mengarang lagi. Bagaimana nasib hubungan kami selanjutnya? Tak ada bedanya dengan kejadian di perusahaan alat berat itu, saya gagal menjadi suaminya. Cuma kali ini lebih baik karena adanya pemberitahuan penolakan. Beda dengan perusahaan itu yang sampai hari ini belum ada keputusan. Saya masih digantung.

Untung saja ada seorang perempuan muda jelita asal Blangbidok yang kecantikannya sungguh tak berpadan dengan wanita mana pun di kabupaten Aceh Utara dan sekitarnya. Dia tak pernah menanyakan alasan saya mau memperistrikannya. Di ujung telepon, ketika saya mengajaknya menjadi pendamping hidup saya, cuma satu pertanyaannya yang sangat saya ingat adalah: “Ini serius, ‘kan?” “Serius!” jawab saya dan setelahnya loncat-loncat bagai kodok tercemplung ember.

Selanjutnya kami bertemu. Untuk saling mengenal lebih jauh satu sama lain. Dan, singkat cerita, sekarang kami hampir mempunyai dua orang anak dari buah cinta suci kami berdua. Tanpa perlu banyak alasan!

Baru saja tadi siang (12/12/2016), saya membeli makan di warung makan langganan saya. Biasanya saya tidak pernah meminta nasi tambah. Mengingat satu porsi nasi lengkap dengan sayur mayur itu, sudah lebih dari mengenyangkan bagi perut saya. Tapi, entah angin apa yang menghembus ubun-ubun saya siang ini. Sebelum saya membayar nasi itu, mulut saya tiba-tiba mengeluarkan kata-kata, “Wo yao jia yi wan fan – saya mau nasi tambah semangkuk.”

Pelayan dengan sigapnya langsung saja membungkus nasi tambahan dan menganjurkannya kepada saya, “Shi kuai – sepuluh NTD.” Maksudnya, harga nasi tambah itu sepuluh NTD, sekitar empat ribu rupiah.

Sampai di lab, nasi tambah yang saya beli tadi itu, masih utuh di meja belajar saya sampai sekarang. Tak tersentuh sama sekali. Saya mencoba mengernyit-ngernyit dahi berpikir apa alasannya sehingga saya membelinya tadi siang. Sampai habis tulisan ini saya ketik, saya belum tahu apa alasannya.

Saya simpulkan saja, sepertinya nasi ini saya simpan saja di kulkas untuk bila saja saya lapar, saya makan ia. Tentu tidak perlu banyak alasan untuk hanya menghabiskan semangkok nasi ini. Cukuplah lapar sebagai alasannya kelak.
Semangkok nasi dengan tanpa alasan

No comments:

Post a Comment