Monday, April 3, 2017

Dr. Zakir Naik dan Bahasa Inggris Kita

Saya tak tahu persis berapa persen penduduk Indonesia yang bisa berbahasa Inggris dengan sempurna. Artinya, bisa berbicara, mengerti ketika mendengar, dan juga lihai dalam menulis serta membaca. Tapi saya yakin itu tidaklah banyak. Dan mungkin saya termasuk di dalamnya.

Saya kalau disuruh bicara, yakin betul hampir tak ada yang tak bisa saya ungkapkan dalam bahasa Inggris. Begitu banyak sudah kosakata yang saya miliki. Tapi giliran disuruh dengar ceramah, nonton film, dengar lagu, dan opera dalam bahasa Inggris, nanti dulu, saya angkat tangan.

Mendengar (listening) satu arah semacam itu terus terang saya belum mampu. Namun, kalau ada bule mengajak saya mengobrol dalam bahasa Inggris, sehari suntuk pun mampu saya layani. Bila perlu tambah semalam suntuk, tak apa-apa. Ini karena komunikasinya dua arah. Konteksnya sudah jelas. Sehingga kosakata-kosakata yang lepas dari mulut bule sudah siap saya terima.

Itu yang pertama. Yang kedua, dalam memahami bahasa Inggris (dan bahasa lain juga sama), dialek juga berpengaruh. Dr. Zakir Naik, misal kasusnya, itu orang India. Dialek Indianya, sebagaimana yang sama kita tahu, secara utuh terbawa ke dalam bahasa Inggrisnya. Ini masalah besar bagi pendengar non-India.

Bagi orang yang belum pernah berkomunikasi dengan bahasa Inggris secara intens dan lama dengan orang India, maka siap-siap saja mengernyit dahi ketika mendengar mereka bicara. Akan terasa sulit dimengerti.

Ini lumrah terjadi. Karenanya, Anda tidak perlu sedih jika mengalaminya. Sudah belajar bahasa Inggris puluhan tahun, tapi mendengar ceramah Dr. Zakir Naik, kok, ya, tak paham.

Oke, baiklah, saya akui saja. Biar pada lega. Bukan hanya Anda, saya pun yang sehari-hari menggunakan bahasa Inggris di Taiwan ini, tak banyak yang bisa saya pahami dari ceramah Dr. Zakir Naik. Oleh karena itu, tak perlulah bersedih hati. Anda tidak sendiri. Ada saya di sini. Karena memahami bahasa Inggris satu arah itu memang sulit.

Terkait bahasa Inggris dialek India, untuk diketahui, bahwa teman saya yang asli Taiwan dan Vietnam ternyata juga kesulitan memahaminya. Di Taiwan ini juga lumayan banyak pendatang dari India baik sebagai pekerja maupun mahasiswa.

Ada sebuah cerita, ini saya dengar dari teman Aceh yang juga sedang sekolah di Taiwan. Suatu hari seorang pemuda India berbelanja di sebuah minimarket di Taiwan. Dia belum bisa berbahasa Mandarin. Maka dengan bahasa Inggrislah ia berbicara dengan pelayan minimarket itu.

Alih-alih dimengerti, pelayan malah bingung, tidak paham apa yang diutarakannya. Kampretnya, pelayan itu malah minta ke pemuda India itu untuk berbahasa Inggris. Nah, loh, kan, ia sudah berbahasa Inggris? Pemuda India ini gusar. Dia sudah berbahasa Inggris, tapi masih saja pelayan bertuah itu bilang bahwa ia berbicara bahasa India.

Itu sebuah kasus dalam bahasa Inggris. Dalam bahasa Aceh, saya juga punya cerita. Dulu, tahun 1999, saya pergi ke Banda Aceh untuk ikut Sipenmaru (sekarang SPMB) di Unsyiah. Ini adalah kali pertama saya ke Banda Aceh. Saya numpang di rumah kost kakak teman saya di bilangan Darussalam. Suatu malam saya diajak main jalan kaki oleh seorang pemuda asli Banda Aceh.

Ia sangat fokal. Berbicara terus sepanjang jalan. Saya harus menunggu ia batuk, tersedak, atau bersin baru sempat bicara. Saya orang Pase (kawasan Aceh Utara dan Aceh Jeumpa sekarang). Sementara pemuda itu berbicara dengan dialek Banda Aceh. Mau tahu nasib saya saat itu? Tak ada bedanya dengan pelayan minimarket tadi yang kerepotan memahami bahasa Inggris pemuda India. Tak mengerti.

Satu cerita lagi. Antara tahun 2003-2005, saat saya sedang bersekolah master di UGM Jogjakarta, saya pernah mengajak teman melancong ke kota Berhati Nyaman itu. Bagi teman saya itu, adalah kali pertama ia ke Jogjakarta, dan kali pertama pula ia mendengar langsung penutur asli bahasa Jawa.

Suatu malam saya ajak ia ke angkringan di bilangan Jetisharjo untuk minum teh dan makan gorengan. Tempatnya hanya sepelemparan batu dari rumah kost saya. Sampai di sana, karena saya sudah kenal dengan pemilik angkringan, mengobrollah saya dengan Si Mbak angkringan. Tentunya dengan bahasa Indonesia, tidak dengan bahasa Jawa sebagaimana biasanya. Karena saya berharap agar teman saya itu mengerti apa yang kami bicarakan.

Namun sayang, saat kami beranjak pulang ke rumah kost, saya tanya pada teman saya itu, “Kamu paham apa yang kami bicarakan tadi?” Ia menggeleng. ”Tidak banyak yang kupahami. Paling separuhnya.”

Duh, padahal saya dan Si Mbak menggunakan bahasa Indonesia, loh. Akhirnya saya sadar. Si Mbak itu adalah penutur asli bahasa Jawa. Bukan rakitan seperti saya. Namun, karena saya sudah bisa berbahasa Jawa, bahasa Indonesia yang kami bawakan sudah sangat berdialek Jawa, dan lagi cepat. Alhasil, teman saya ternyata hanya separuh bisa menangkapnya.

Syahdan, dari tiga kisah di atas, memberi pelajaran bahwa sebuah bahasa yang dilantunkan dengan dialek yang berbeda, akan sulit dipahami oleh orang yang tidak menggunakan dialek tersebut. Anda belajar bahasa Inggris di Indonesia sampai karatan dan bisa bicara cas-cis-cus dengan sesama orang Indonesia, tapi jarang melatih untuk mendengar logat orang Inggris atau Amerika asli, siap-siap bengong saat tiba-tiba mendengar mereka bicara.

Begitu juga jika belum pernah mendengar orang India berbahasa Inggris. Sekali dengar, dijamin langsung bingung. Begitu juga saat mendengar orang Vietnam dan Taiwan berbahasa Inggris. Orang Vietnam sulit mengucapkan huruf “s” mati. Sedangkan orang Taiwan tidak bisa mengucapkan huruf “d”.

Kali ini saya buka rahasia saja. Biar pada tambah lega lagi. Di bulan-bulan pertama saya kuliah di Taiwan, saat mau bertemu Professor, saya mendadak stres. Perkaranya, saya takut karena kerap tak tahu apa yang dibicarakannya. Padahal ia telah berbicara bahasa Inggris. Namun seiring berjalannya waktu, sekarang jangan tanya, dengan melihat gerak mulutnya saja, tak usah banyak dengar, saya langsung mengerti apa maksudnya.

Professor saya orang Taiwan asli. Orangnya baik sekali. Sayang sama murid-muridnya setiap hari. Ia adalah lulusan Amerika di University of Cincinnati. Kemampuannya akan bahasa Inggris tentu tak perlu diragukan lagi. Tapi soal dialek, nanti dulu, kali. Tak pernah dibuangnya sampaikan nanti. Tentunya sama dengan saya, berbahasa Inggris tetap dengan dialek Aceh wilayah Pase sejati.

No comments:

Post a Comment