Kiosnya tidak begitu besar, hanya sekitar 3 x 3 meter persegi. Atapnya dari anyaman daun rumbia. Sekalipun kecil, cukuplah kios ini untuk dibagi menjadi dua bagian. Satu meter ke belakang disisakan untuk tempat memasak. Sementara dua meter ke depan digunakan untuk menaruh barang dagangan dan tempat duduk bagi pelanggannya yang ingin makan dan minum di situ.
Pelanggan utamanya tak lain adalah kami, murid SDN 1 dan 2 Tanah luas Blangjruen. Nama pemilik kios ini cukup melegenda bagi kami anak-anak Blangjruen kelahiran tahun 70-an sampai awal 80-an. Dia adalah Syeh Puteh, seorang pemilik kios kecil tapi cukup mewarnai masa kecil kami dulu.
Letak kios ini tepat di depan sekolah SDN 1 Tanah Luas Blangjruen. Di seberang jalan di pojok timur gedung Bulog (KUD). Kios ini tentu sekarang tidak dapat dilihat lagi sekalipun hanya sekadar bekasnya. Hanya gedung KUD-lah yang masih tertinggal sampai sekarang, yang menjadi saksi mati masa-masa kecil kami di sekolah dasar ternama di kecamatan Tanah Luas itu. Sekarang lokasi kios Syeh Puteh itu sudah menjadi milik dan pekarangan rumah dari seorang guru SD saya.
Dalam menjalankan usaha di kios itu, ia selalu dibantu oleh istri tercintanya. Untuk istrinya kami juga memanggil Syeh untuk panggilan langsung (bertindak sebagai orang kedua), dan Syeh Puteh Inong jika namanya kami sebut dalam percakapan kami (bertindak sebagai orang ketiga).
Tambahan kata “Inong” pada nama orang dalam bahasa Aceh itu berarti “nyonya” dalam bahasa Indonesia. Misalnya “Nek Ali Inong”, itu maksudnya istri Nek Ali, atau Nyonya Nek Ali. Ini semacam tata kesopanan budaya Aceh (yang mungkin saja berlaku secara lokal) dalam hal pemanggilan nama orang tua. Namun, pada sangka saya, aturan semacam ini sudah tak dipakai lagi oleh anak-anak muda sekarang dalam berinteraksi dengan orang tua di sekitarnya.
Pagi-pagi, Syeh Puteh Agam dan Inong sudah duluan sampai daripada kami untuk membuka kiosnya. Seingat saya, yang dimasak langsung di kiosnya adalah mi lidi (mi yang jika belum dimasak persis seperti lidi) dan bakwan. Mi lidi Syeh Puteh ini bagi saya rasanya selalu khas. Beda sekali dengan mi racikan pedagang lain yang tentu ikut juga meramaikan masa-masa kecil kami.
Mi yang dibuatnya selalu agak berkuah. Mi goreng basah, kalau kata kami dulu. Inilah yang membedakannya dengan mi pedagang lain. Lain cara racik lain pula citarasanya, yang mengakibatkan rasa mi itu masih terindera di lidah saya kapan saja bertemu Syeh Puteh. Mi yang rasanya, hangatnya, basahnya, taburan renyah kerupuk merahnya, sampai sekarang masih tertempel di ingatan saya. Begitu juga bakwan, beda. Warnanya putih kecokelatan, lembek, dan lembut, adalah bakwan favorit saya kala itu.
Barang dagangannya rupa-rupa. Ada kelengkapan sekolah seperti pensil dan buku, serutan dan karet penghapus, dan penggaris plastik yang kalau digosok di rambut bisa berubah menjadi magnet. Juga, ada makanan dan minuman warna warni yang dikulak di pasar grosir Blangjruen seperti popo, mi krip-krip, permen kaki Hot Hot, cokelat gelas plastik pakai sendok kecil yang juga dari plastik, dan yang paling saya ingat adalah, air manis yang berwadah plastik transparan berbentuk gitar. Saya sering membeli minuman ini. Untuk permainan, ada pula “preh” ("e" diucapkan seperti dalam kata “lem”), adalah barang-barang yang setiap pembeliannya diimingi peluang mendapatkan undian berhadiah.
Syeh Puteh kala itu sangat mengenal saya karena istrinya, Syeh Puteh Inong, sangat mengenal keluarga saya. Hal itu karena, menurut pandangan Syeh Puteh Inong, saya adalah anak yang beruntung. Terlahir sebagai salah satu anak saudagar kaya. “Kamu anak Tauke Aji, ya?” Itu pertanyaannya kepada saya pada suatu hari. Saya mengangguk, hanya menjawab, “Iya, Syeh.” “Wah, kamu beruntung. Almarhum ayahmu itu orang kaya. Rumahmu besar sekali,” lanjutnya, mengagumi, “kalau beli sepeda mini, tak usahlah kamu bawa sepeda itu ke luar rumahmu. Di atas rumah saja sudah cukup lahan untuk bermain sepeda itu.”
Saya hanya tersenyum. Dalam hati saya bergumam, “Sebenarnya kami sekarang tidak seberuntung dan sebahagia seperti yang dibayangkan orang, Syeh.” Memang untuk kawasan Blangjruen kala itu, kami dicap sebagai anak yatim kaya. Ini lebih karena aura ayah saya sebagai pedagang sukses, masih membekas pada wajah kami sampai jauh sesudah kami ditinggalkannya.
Padahal, saat itu, di samping beberapa petak tanah, megahnya kilang padi di Blangbidok, sebuah ruko di pasar Keudee Blangjruen, dan rumah yang dianggap megah itu, kami sebenarnya sempat juga sulit makan. Ikan yang merupakan lauk wajib makan kami, sempat pula tak sanggup kami beli. Konon katanya, ibu saya pernah menangis manakala waktunya memasak tiba, memikirkan apa yang bisa dimasak untuk anak-anaknya yang masih kecil-kecil. Itu benar-benar tahun kepedihan. Tapi itu tak banyak diketahui orang, kecuali hanya keluarga dekat kami.
Dalam hal ini, bukan hanya Syeh Puteh yang menganggap kami sebagai anak orang kaya, tetapi guru kami di SDN 1 Tanah Luas Blangjruen, pernah tertawa terdekah-dekah pada acara perekrutan murid yatim calon penerima sumbangan, tatkala ia mendapati saya sebagai salah satu murid yang menyatakan diri dari keluarga tak mampu.
“Hei, kamu anak Tauke Aji!” sergahnya sambil tertawa, “miskin apaan kamu! Tidak boleh.” Begitulah, setiap ada sumbangan di sekolah, saya pasti tidak dapat. Dan pula, kalau saya tidak punya uang jajan, tidak pernah berani berhutang pada penjual mana pun di sekitar sekolah saya, termasuk pada Syeh Puteh. Sebab saya adalah anak orang kaya, pada sangka mereka waktu itu.
Terkait rumah kami yang dianggap besar dan megah. Kalau kita lihat sekarang tentu tidaklah megah lagi. Karena sekarang ia hanya sebuah rumah panggung kayu tua yang sudah keropos di sana-sani. Tapi dulu, itu adalah rumah orang berada. Saat pembangunan rumah tersebut, belum zamannya bangunan dibuat dari semen. Sekalipun semen sudah ada pada waktu itu, tapi di desa belum digunakan untuk bahan utama bangunan, melainkan hanya untuk lapik tiang rumah dan lapik tangga agar tidak langsung menyentuh tanah.
Julukan rumah batu (rumoh batee) yang terbuat dari semen sebagai rumah orang kaya, baru muncul belakangan. Sebelumnya, sebutan rumah batu di tempat kami hanyalah ditujukan kepada rumah para hulubalang Keureutoe, yang sampai sekarang masih terlihat sisanya di depan Kantor Camat Tanah Luas.
Rumah tersebut sekarang menjadi salah satu saksi bisu betapa ganasnya “revolusi sosial” di Aceh yang terjadi pada awal kemerdekaan RI. Revolusi Sosial yang berdarah-darah ini dilancarkan oleh Amir Husen Almujahid dari Idi dengan pasukannya yang diberi nama Tentara Perjuangan Rakyat (TPR). Mereka membabat habis para hulubalang yang dianggapnya kontra revolusioner.
Kejadian itu terjadi pada tahun 1946. Rumah-rumah hulubalang dibakar, termasuk rumah hulubalang Keureutoe di Blangjruen itu. Dan lagi dua pembesar kehulubalangan Keureuto yang berpusat di Blangjruen, Ampon Chik Raja Sabi (anak Cut Meutia) dan Ampon Chik Muhammad Basyah (anak Ampon Chik Syamsyareh), gugur tak berpusara dalam tragedi yang memilukan itu..
Sisa-sisa rumah hulubalang itulah yang makruf bagi kami anak kecil dulu sebagai rumah batu. Jika kami sebut rumah batu, maka maksud kami adalah sisa-sisa rumah batu hulubalang tersebut. Rumah batu itu dulu menjadi “landmark” (sebagai bangunan khas penanda suatu kota) Blangjruen.
Kembali ke Syeh Puteh, salah satu orang yang ikut menghiasi masa kecil saya. Setelah saya lulus SD dan masuk ke SMP, tidak lama kemudian kiosnya itu ditutup dan dia berjualan di tempat lain, tapi tidak tetap lagi. Terakhir yang mampu terekam dalam ingatan saya, ia sempat jualan di SMP Swasta Harapan Blangjruen.
Setelah itu sepertinya ia berhenti berdagang. Masa tua selanjutnya juga dihabiskan di majelis taklim. Empat tahun yang lalu tatkala saya masih aktif di majelis taklim Masjid Besar Annur kecamatan Tanah Luas, ia adalah salah satu anggota pengajian yang tak pernah absen menghadiri pengajian Fikih dan Tauhid asuhan Teungku Haji Abdul Mannan itu.
Empat tahun setelah itu, dua hari yang lalu, pada 12 Desember 2016, melalui salah satu akun media sosial cucunya, saya mendapatkan kabar bahwa Syeh Puteh telah meninggal dunia. Inna lillahi wainna ilaihi rajiun. Selamat jalan, Syeh. Semoga husnul khatimah, segala dosamu diampuni dan segala amal salehmu dilipatgandakan fahalanya oleh Allah SWT. Amin.
No comments:
Post a Comment