Sunday, December 11, 2016

Bencana dan Kebelet Bernasihat

Saat gempa besar yang menghantam lepas pantai barat Aceh pada 26 Desember 2004 silam, saya masih bersekolah sarjana teknik mesin di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Saya indekos di Jetisharjo, sebuah wilayah sekitar satu setengah kilometer ke timur fakultas teknik dari universitas ternama di Indonesia itu.

Tepat pukul 7.59 WIB, gempa itu terjadi. Beberapa saat kemudian air laut di pantai surut untuk berkumpul ke samudera Hindia sana. Sampai mencapai ketinggian tertentu, mereka turun lagi menuju pantai. Dengan gaya inersianya, tentu air yang masif ini tak akan bisa berhenti di posisi awalnya sebelum mereka surut tadi. Melainkan dengan tanpa rem melanjutkan perjalanannya ke darat. Menerjang dan Membawa serta apa yang mereka jumpai di depannya. Tak kurang dari 230 ribu manusia meregang nyawa di empat belas negara. Warga Aceh adalah korban terbanyaknya.

Saya baru tahu bahwa satu gempa besar telah melanda Aceh di sore harinya. Saya menelepon ke Aceh. Tak ada satu pun yang bisa saya hubungi. Komunikasi putus. Baru keesokan harinya, saya mengetahui bahwa keluarga saya di Blangjruen selamat, setelah mendapat sms dari abang saya. Kecuali, ada satu kerabat dekat saya, hilang dalam musibah itu karena sedang bertugas sebagai karyawan PLN di Banda Aceh.

Terus terang, sekalipun saya tidak bisa menghubungi keluarga di Aceh waktu itu, saya masih tetap tenang-tenang saja. Itu lebih karena, sepanjang hidup saya sampai waktu itu, boleh dikatakan orang Aceh hampir tak mengenal gempa bumi. Cerita gempa bumi besar, di mana isi tanah muntah keluar, air laut tercurah ke darat, itu hanya sering kami dengar dalam cerita-cerita kiamat kubra yang sering diriwayatkan teungku-teungku kami di balai pengajian. Oleh karena pagi itu matahari masih keluar dari ufuk timur, maka gempa bumi itu saya pikir hanya goyangan kecil saja, karena tentu waktu itu bukan saatnya kiamat seperti yang saya yakini.

Selain itu, sebuah cerita gempa bumi di Aceh sering juga dihikayatkan kepada kami sebagai yang pernah terjadi pada tahun 1965, setelah peristiwa Gestapu yang mengakibatkan tujuh perwira tinggi militer Indonesia dan beberapa yang lainnya (mereka kelak digelari Pahlawan Revolusi) dibunuh dan dipendam ke sebuah sumur tua pada satu Oktober dini hari .

Bertolak dari kejadian yang memilukan itu, dan dengan sepenuh keyakinan bahwa gerakan tersebut didalangi oleh PKI, angkatan darat yang dimotori oleh Mayor Jenderal Soeharto (saat itu sebagai Pangkostrad dan kelak menjadi presiden RI terlama) melakukan serangan balik, yang pada akhirnya terjadilah pembantaian besar-besaran terhadap orang PKI dan simpatisannya. “Setelah rentetan kejadian itulah, ” kata sahibul hikayat kepada saya pada suatu hari, “gempa bumi besar mengguncang Aceh.” Tapi saya masih meragukan kebesaran gempa bumi itu, mengingat tak ada cerita lanjutan tentang adanya korban.

Gempa bumi 1965 itu hanya menjadi cerita tentang kedahsyatan sebuah bencana yang masuk dan tersimpan di memori saya tanpa tahu bagaimana rasanya digoyang gempa. Sampai tahun 2004, seumur hidup saya, baru sekali merasakan gempa. Itu pun kecil sekali, sungguh bagai berayun di buaian saja. Bergoyang lembut, hampir tak mungkin ada bangunan yang runtuh karenanya. Itu terjadi saat saya menduduki kelas lima di SDN 1 Tanah Luas Blangjruen. Sekalipun demikian, saya takutnya minta ampun. Guru menggiring kami keluar ruang kelas untuk berkumpul dan jongkok di halaman sekolah.

Dalam suasana panik, seorang guru menyuruh kami meratib. Saya yang saking takutnya, meratiblah saya dengan suara sekencang-kencangnya sampai akhirnya saya sadar, ternyata cuma sayalah yang meratib sendiri dengan suara yang menggelegar. Teman lain cuma diam dalam ketakutannya. Saya kemudian ikut terdiam. Bahkan tercekat dan tersipu malu sebab semua guru menatap saya dengan wajah marah dan matanya melotot. Setelah garuk-garuk kepala yang tidak gatal kemudian saya menjongkok manis lagi sebagai teman-teman lain lakukan. Saya menyadari, mereka telah salah menafsirkan tingkah saya barusan.

Dikiranya saya memperolok-olok bencana dan anjuran meratib itu! Karenanya, tentu saja saya dimarahi oleh seorang bapak guru dengan ceramah yang cukup panjang, setelah sebelumnya kepala saya diketok dengan penghapus papan tulis. Dalam hati saya meratap, ”Ya Allah, inilah akibat dari sifat olok-olok saya selama ini. Saya meratib dengan sepenuh hati pun sekarang bisa dianggap main-main oleh orang lain.”

Bapak guru yang mengetok kepala saya itu, terakhir saya lihat saat saya sedang melayat saudara di Matangkuli, sebuah kecamatan sekitar empat kilometer ke Tenggara Blangjruen. Melihatnya, saya hanya tersenyum mengingat kejadian yang dulu itu. Saya tidak marah sama sekali atas perlakuannya itu, karena dulu memang saya nakal dan bengal (sekarang mungkin lebih kurang ya sama saja). Sebagaimana kebiasaan saya, saya sangat menghormati guru-guru saya, sekalipun saya pernah disakitinya.

Setelah gempa bumi kecil itu, yang saya duga terjadi pada sekitar tahun 1987, tidak pernah ada gempa bumi lagi. Maka karenanya, kabar gempa bumi 2004 saya tanggapi dingin saja. Paling itu hanya goyangan kecil saja, dan tak mungkin ada korban jiwa, pikir saya. Tapi suasana hati saya mendadak terbalik manakala gambar-gambar kerusakan, lengkap dengan korban yang mengenaskan, ditayangkan di televisi pada keesokan harinya; Banda Aceh hancur, mayat bergelimpangan.

Maka mulai saat itulah saya menangis sejadi-jadinya dan tidak mau keluar kost dalam beberapa hari. Tidak mau menjumpai teman yang biasanya kalau bertemu dengan saya mesti disambut dengan canda, karena begitulah tingkah kami pada kebiasaan. Saya benar-benar syok. Sekalipun keluarga saya tidak terkena bencana itu.

Terkait bencana tersebut, yang tak kalah perlu saya ceritakan di sini adalah, saat itu saya tersinggung betul manakala ada yang mengatakan bahwa tsunami di Aceh waktu itu adalah hukuman dari Allah atas dosa-dosa orang Aceh yang selalu suka berkonflik. Bunuh-membunuh di sana telah membuat Allah SWT murka, begitu kata seseorang kepada saya pada suatu hari.

Terlepas benar atau tidaknya analisis itu, dengan hati yang masih disaput kesedihan, tuduhan itu tidak bisa saya terima. Minimal, bukan saatnya menghakimi korban sebagai pendosa manakala orang sedang sangat berduka. Saya marah betul mendengar semua itu. Sampai-sampai saya pernah merutuk di dalam hati, “Kalau hari ini kalian bilang orang kami adalah pelaku maksiat sehingga Allah SWT menghukum kami. Maka tanah Indonesia lain juga tak kurang maksiatnya. Maka tunggulah.”

Tahun 2006, terpaut jarak waktu satu tahun lima bulan satu hari setelah tsunami Aceh, dua minggu setelah saya pulang kampung karena telah selesai studi, sesar Opak di Yogyakarta yang telah lama larut dalam tidur panjangnya, menggeliat. Tanah Yogyakarta bergejolak. Rumah-rumah yang sejatinya menjadi pelindung bagi penghuninya, sekejab berubah menjadi perangkap yang cukup mematikan.

Dalam waktu 57 detik, 6.234 penduduk kota kesayangan saya itu, meninggal dunia. Kalau dulu saat gempa Aceh saya tidak langsung menangis tersebab tak tahu keparahannya, maka saat gempa menghantam Yogyakarta, sontak saja saya menangis. Video bebangunan hancur secara cepat tersiar ke seluruh pelosok negeri.

Yogyakarta adalah kota kedua yang paling saya cintai setelah Blangjruen tempat saya dilahirkan. Yogyakarta adalah kota dimana pandangan hidup saya berubah, kota dimana guru-guru tercinta saya berada, kota dimana teman-teman terbaik saya tinggal, tapi sekarang telah hancur.

Tak terasa air mata tergenang menganak sungai di sudut mata, kemudian pecah mengalir membasahi pipi. Saya menyekanya dengan punggung telapak tangan saya berkali-kali. Saya benar-benar menangis. Untuk mengetahui kondisi teman-teman di sana, saya bisa menelepon ke sana berkali-kali karena sarana telekomunikasi tidaklah sampai putus lama. Alhamdulillah, Jetisharjo, tempat saya tinggal dulu, aman. Tak ada satu pun korban di sana.

Jauh setelah rangkaian gempa bumi yang memilukan itu, yang menghantam dua kota saya tercinta, beberapa hari yang lalu, 7 Desember 2016, saat saya bangun tidur di asrama NKUAS, Taiwan Selatan, saya mendapati beranda Facebook saya penuh dengan gambar dan kabar bahwa kota Pidie Jaya, hancur dihantam gempa bumi! Saya menangis lagi. Hampir setengah jam saya berbaring saja di kasur tipis itu seraya menangis sejadi-jadinya, sampai akhirnya saya turun dari dipan setelah sanggup menguasai emosi. Saya betul-betul sedih atas hampir tak putus-putusnya orang Aceh itu menderita. Baik menderita akibat perang, maupun bencana alam.

Tak berapa lama kemudian, di beranda Facebook saya, muncullah banyak “kata-kata mutiara” yang kira-kira bunyinya hampir sama dengan: “Banyak masjid yang hancur, itu pasti uang pembangunannya dari harta yang tak halal.” Dan juga, “Gempa menjelang Subuh, itu artinya sebagai peringatan bahwa orang Aceh sudah malas-malas salat Subuh.” Dan kalimat-kalimat lain sebangsanya.

Harus saya akui, membaca kalimat-kalimat itu benar-benar membuat saya heran. Apa sulitnya untuk sedikit bersimpati kepada korban bencana. Kalau memang kebelet sekali mau “bernasihat”, dan takut esok bisa kelupaan, apa tidak lebih baik ditulis saja dulu di catatan kecil, di simpan dengan baik di dompet, besok lusa kalau suasana sudah tidak dramatis lagi, baru disampaikan.

No comments:

Post a Comment