Tapi, uniknya, saya punya teman akrab -sebut saja namanya Yogi- yang pintarnya tak ada bandingan mulai dari kelas enam sampai kelas satu kala itu. Juara umum. Saya sebut unik karena dulu, biasanya anak bodoh akan berteman akrab dengan sesama bodohnya. Begitu juga anak miskin, teman akrabnya ya sesama miskin.
Saking akrabnya, dan kebetulan ada juga sedikit kedekatan saudara melalui jalur perkawinan (bibi saya kawin dengan paman dia), maka sering juga saya berkunjung ke rumahnya. Dan sering pula makan di situ.
Rumahnya berada di Gampong Alue. Kalau mau pergi ke sana, tentu dulu kami berjalan kaki sejarak 1,3 kilometer ke timur laut Keudee Blangjruen, yang kalau sekarang jarak segitu mungkin sudah terasa jauh. Jika pun sanggup berjalan kaki, sekarang gengsi telah membuat kami harus mencari tumpangan seandainya tak mempunyai kendaraan sendiri.
Suatu hari, entah apa yang terjadi pada perut saya, saya tidak sanggup menghabiskan nasi yang telah saya isikan ke dalam piring. Saya masih ingat nasinya waktu itu berlaukkan kuah lemah daun ubi. Jenis ikannya saya sudah lupa. Padahal, itu adalah kuah kesukaan saya, tapi saya tidak sanggup menghabiskannya hari itu.
Di saat kami berdua sedang asyik makan, saya bilang ke dia bahwa saya tak sanggup lagi menghabiskan nasi ini lagi. "Han abeeh lee, Gi - tak habis lagi, Gi, " kata saya sambil menggosok-gosok perut yang masih tipis kala itu. Mendengar ujaran saya, dengan cerdik ia langsung mengeluarkan triknya.
"Ga habis, ya?" tanyanya mengklarifikasi. Dia berhenti makan sejenak. Kemudian melanjutkannya lagi.
Aku mengangguk. Rona muka saya suram. Merasa tidak enak hati. Menjadi tamu yang tak baik.
"Ok, sekarang coba kamu bagikan nasi ini menjadi dua bagian," perintahnya kepada saya. "Saya mau tahu, bagian mana yang tidak habis kamu makan."
Saya mematuhinya, membagikan nasi itu ke dalam dua tumpukan, di mana yang satu lebih besar daripada yang satunya lagi. Selesai. Saya menatapnya yang dari tadi menunggu pekerjaan saya.
"Sekarang tunjukkan kepada saya tumpukan mana yang tak habis kamu makan," perintahnya lagi.
Saya menunjukkan tumpukan yang besar. Melihat ke arahnya lagi. Menunggu perintah selanjutnya.
"Tumpukan yang habis kamu makan?" Kali ini ia bertanya.
Dengan takzim saya menunjukkan tumpukan yang kecil. Menatapnya lagi. Saya masih bingung akan maksudnya. Menunggu keterangan selanjutnya.
Suasana hening sejenak.
"Ok. Sekarang kamu makan dulu tumpukan nasi yang kamu bilang tak bisa kamu habiskan ini." Ia memerintah sambil menunjuk tumpukan nasi yang berukuran besar.
"Terus yang ini?" tanya saya sambil menunjuk tumpukan kecil.
"Itu 'kan gampang," jawabnya, "tumpukan nasi kecil itu, tadi kamu bilang sanggup kamu habiskan. Jadi, untuk menghabiskan semua nasi itu, berarti pekerjaanmu sekarang adalah, habiskan dulu nasi yang katamu tadi tidak sanggup kamu habiskan."
"Dasar, kamu!" tukas saya. Dia ketawa dan saya juga ikut ketawa. Tapi anehnya, saya ikuti juga perintahnya itu. Walaupun saya tahu itu tak masuk akal. Beruntung, nasi itu akhirnya memang habis saya makan walaupun sudah agak terpaksa. Ini menandakan, sekalipun trik itu tidak berdasar, ternyata secara psikologi berpengaruh juga.
Trik-trik konyol semacam ini sering terjadi di masa-masa kecil saya. Misalnya, kebelet buang air besar di tempat yang jauh dari kakus. Maka solusinya adalah dengan memasukkan batu ke saku celana. Mungkin ini maksudnya semacam "tafaul"; yaitu, sebagaimana batu itu yang keras, maka keraslah air besar itu sehingga sulit baginya untuk keluar!
Atau, ada trik yang lebih gawat lagi; yaitu dengan membacakan sebuah mantra berulang-ulang, "Ini pantat - ini kepala." Caranya, saat mengucapkan kalimat "ini pantat," nunjuknya ke kepala. Sebaliknya, pada saat mengucapkan kalimat "ini kepala", nunjuknya malah ke pantat.
Maksudnya ini adalah, untuk memberi informasi yang keliru kepada air besar yang sedang menuju ke bawah untuk keluar, agar mereka balik lagi ke atas. Sebab posisi pantat telah kami informasikan, saat ini, sudah pindah ke atas. Gila, 'kan? Tapi, sekalipun demikian, ini sering kami lakukan waktu kecil dulu. Dan sering pula berhasil!
Tentang manipulasi letak pantat ini, tersiar cerita yang cukup menyedihkan. Ada seorang anak kecil, sedang mengaji malam di balai pengajian, kebelet buang air besar. Mau turun sendiri ke bawah, ia tidak berani karena gelap sekali di bawah sana. Mau lapor ke Teungku (Kyai), ia pun tak berani. Sehingga akhirnya ia bacalah mantra pemungkas itu: "Ini pantat - ini kepala." Lengkap dengan tatacara yang tersebut di muka, karena semua anak zaman kecil saya dulu, tahu prosesi ini. Ia berhasil! Kontraksi buang air besar, hilang seketika.
Namun sayangnya, beberapa menit kemudian malapetaka pun datang menimpanya. Ia beserdawa. Kebetulan, entah apa sebabnya, serdawanya berbau busuk. Bau tinja.
Sadar atas keanehan yang menimpanya itu, ia berbisik ke teman di sampingnya, "Serdawaku kenapa bau busuk, ya?"
Teman di sampingnya yang kebetulan jahil berujar dengan penuh keyakinan, "Wah, ini ba-ha-ya! Itu artinya air besarmu akan keluar lewat mulut, gara-gara mantramu itu tadi!"
Mendadak balai pengajian pun heboh oleh tangisan anak yang malang itu. Meraung-raung keras sambil memanggil ibunya, khas tangisan anak Aceh zaman dulu: "Maaa oeee!", yang kalau dalam bahasa Jawa mungkin sepadan dengan kata "Mbokeee!".
Begitu takutnya anak yang malang itu bila kejadian tersebut benar-benar akan menimpanya. Mengingat belum ada dalam sejarah peradaban manusia, baik di zaman batu maupun di zaman plastik, air besar salah jalan keluar! Lewat mulut!
__________
Notabene:
- Gampong adalah sebutan untuk desa di Aceh yang dipimpin oleh seorang geuchiek (kepala desa).
- Struktur pemerintahan di Aceh mulai dari yang paling bawah sampai ke yang paling atas adalah: lorong yang dipimpin oleh kepala lorong (kaplor); dusun yang dipimpin oleh kepala dusun (kadus), gampong yang dipimpin oleh geuchiek (sebagai kepala pemerintahan) dan teungku imum/teungku meulasah (sebagai pimpinan agama); kemukiman yang dipimpin oleh imum mukim (sebagai kepala pemerintahan) dan teungku khatib (sebagai pimpinan Agama); kemudian dari kecamatan sampai ke atas sama seperti di tempat lain di wilayah Indonesia.
- Keudee adalah pasar, yang biasanya di Aceh berstatus sama seperti gampong yang mempunyai batas wilayah dan juga mempunyai geuchiek dan teungku imum sendiri.
- Tafaul adalah berharap akan datangnya kebaikan, berupa berubahnya keadaan dari jelek kepada yang baik dengan cara mengubah posisi suatu benda lain. Atau dengan mendekatkan suatu benda yang memiliki sifat baik ke suatu benda yang bersifat jelek, sehingga sifat jeleknya bisa berubah menjadi baik. Contohnya, membalikkan posisi serban pada khotbah salat minta hujan adalah salah satu tafaul agar sebagaimana serban itu terbalik, maka terbaliklah hendaknya keadaan dari kemarau menjadi hujan.
No comments:
Post a Comment