Monday, December 19, 2016

Hati Saya yang Luluh di Perpustakaan Berjalan Kaohsiung Taiwan Selatan

Selama dua minggu lalu, mulai tanggal empat sampai delapan belas Desember 2016, Profesor saya melawat ke Inggris. Tak tahu dalam rangka apa. Kami tak berani menanyakannya. Ditinggalkannya, di satu pihak saya cemas juga. Karena biarpun saya sudah berstatus dosen, sudah tua, ternyata ketika saya kuliah lagi, secara sempurna saya menjadi mahasiswa utuh lagi; malas mandi, jarang ganti baju, penampilan seadanya, stres kalau ada banyak tugas, sehari sebelum deadline adalah waktu terbaik menyelesaikan tugas, dan semua sifat-sifat umum mahasiswa lainnya.

Saya rajin bekerja di lab sampai sekarang ini lebih karena takut akan pecutnya, dan wibawanya membuat saya malu bila di rapat mingguan saya tidak dapat melaporkan perkembangan yang berarti. Karenanya, dia pergi, besar kemungkinan saya tidak bekerja. Dan itu berbahaya. Dua minggu tidak berbuat apa-apa untuk penyelesaian studi itu adalah hal yang menakutkan bagi mahasiswa doktor di semester-semester akhir, lebih menakutkan dari hantu macam mana pun.

Di pihak lain, ternyata kami senang juga. Teman yang asli Taiwan malah bilang “Two weeks holiday!” Maka sontak saja selama dua minggu itu, lab sering sepi. Saya yang mahasiswa paling tua di lab ternyata ketularan juga. Senang dan sering minggat dari lab selama dua minggu ini.

Seperti biasa, hari Minggu saya memang selalu makan di bilangan Stasiun Kaohsiung. Ini memang sudah paten kebiasaan saya. Setelah makan dan mengobrol beberapa jenak, saya langsung kabur pulang, karena nanti sehabis Magrib kami ada rapat dengan Profesor, rapat di mana kami harus melaporkan apa saja yang telah kami lakukan selama seminggu terakhir.

Tapi kali ini, di saat profesor lagi di luar negeri selama dua minggu, beda. Saya yang biasanya setelah makan dan mengobrol sejenak langsung kabur pulang itu, bukannya pulang malah keluyuran sampai malam di stasiun. Bercengkerama dengan teman-teman WNI lain yang sebagian besar mereka ada adalah Pahlawan Devisa, para pekerja.

Dan lagi, saya menyempatkan diri ikut gabung dengan sukarelawan Perpustakaan Berjalan di mulut pintu MRT Stasiun Kaohsiung, yang membuka lapaknya dari selepas Asar sampai Isya.

Perpustakaan ini diadakan oleh sukarelawan mahasiswa untuk memberi fasilitas bacaan kepada seluruh WNI pada umumnya dan teman-teman pekerja pada khususnya. Mereka bisa membaca langsung di situ, atau meminjamnya untuk dibacakan di mana ada sela waktu.

Uniknya, di tempat sederhana dan seadanya itu terkadang dilakukan juga diskusi dan bedah buku. Seperti kemarin (18/12/2016), ada novel “Ayah” buah karya Andrea Hirata yang dibedah oleh Mas Yusril, seorang mahasiswa sarjana dari sebuah universitas di Tainan.

Dua hari ikut bergabung dengan Perpustakaan Berjalan ini, saya menyadari dua hal. Pertama, ternyata tak sedikit dari teman-teman pekerja itu sangat haus ilmu dan bacaan-bacaan yang berkualitas. Kedua, persediaan buku di Perpustakaan Berjalan itu hampir tak sanggup lagi mengimbangi minat baca mereka yang begitu menggebu-gebu.

Karena hal yang kedua itulah hati saya luluh. Yang akhirnya saya merelakan buku yang saya punya untuk saya sumbangkan ke perpustakaan tersebut. Namun sayang, saya hanya punya satu buku umum di Taiwan ini, yaitu sebuah novel yang saya beli empat bulan lalu di Lhokseumawe. Sebuah novel berjudul “Lampuki” racikan Bang Arafat Nur. Novel ini mengisahkan kehidupan seorang guru mengaji dan Ahmadi sebagai pemberontak dalam konflik Aceh dulu.

Saya melepaskan novel ini, sekalipun sebelumnya, jangankan menyumbangnya, meminjamkan saja sulit sekali bagi saya. Takut tak kembali. Tapi hari ini, lain. Malah saya gembira sekali demi melihat novel itu langsung dipinjam tak berapa lama setelah ia dijejerkan bersama buku-buku lain.

Bagi saya buku-buku yang telah tamat saya baca, begitu indah ketika saya pajang di rak dan sesekali melihatnya. Tak sudi memindahkannya ke tangan orang lain. Tapi manakala saya dengan minat baca yang lumayan tinggi, mendapatkan orang yang juga lebih keras minat bacanya tapi tak punya buku, di situ hati saya mencair.

Bahkan saya menyesal, kenapa saya hanya punya satu buku cetak di Taiwan ini ya? Jika seandainya punya lebih banyak buku, niscaya akan saya pinjamkan ke Perpustakaan Berjalan itu. Karena jika pun hati saya belum rela menyumbang secara permanen, saya masih bisa meminjamkan buku itu ke perpustakaan tersebut, dan bisa saya ambil kembali jika memang saya membutuhkannya lagi. Masih tetap ada jalan untuk membantu dengan tidak harus melepaskan buku itu selama-lamanya. Ini semua agar mereka juga bisa membaca apa yang telah saya baca, dan tahu apa yang telah saya ketahui.

Di zaman yang sudah sedemikian canggih ini tentu buku saya sebenarnya bukan hanya satu novel itu saja di Taiwan ini, tetapi masih banyak juga yang lain. Namun buku-buku itu semua dalam bentuk digital (ebook) yang saya beli baik di “Google Play Book” maupun di “Scoop”. Karenanya, buku-buku itu hanya saya yang bisa membacanya di gadjet saya sendiri. Mau saya cetak pun buku itu saya tak enak hati karena melanggar hak cipta yang telah saya sepakati ketika membeli buku tersebut. Semoga saja akan banyak yang menyumbang buku ke Perpustakaan Berjalan itu.
Sausana bedah buku novel "Ayah" pada hari Minggu (18/12/2016)

Bu Wati dengan takzim mendengar ulasan bedah buku

Mas Yusril, pembedah buku

Novel "Lampuki" karya Bang Arafat Nur sudah ada di Perpustakaan Berjalan Kaohsiung, Taiwan Selatan

No comments:

Post a Comment