Friday, December 16, 2016

Timbil Taiwan, Ternyata “Harus” Dioperasi

Padahal yang namanya timbil, kalau di kampung saya, bisa disembuhkan dengan hanya dirajah. Caranya, ambil kayu api di dapur yang ujungnya sudah terbakar, baca mantra, kemudian lempar ke tanah kosong di belakang rumah. Selesai. Timbil pun dalam beberapa hari kabur tak meninggalkan bekas. Atau, dibiarkan saja, terus biasanya nanti sembuh sendiri. Tapi, kali ini beda. Ini Taiwan, satu tempat yang sepertinya, semua penyakit hanya takut sama dokter. Bukan sama kayu api, apalagi mantra.

Sebenarnya timbil yang saya derita ini adalah bibit lama yang timbul-tenggelam di tempat itu-itu saja; di kelopak mata kiri, di sudut sebelah kanan, dekat pangkal hidung. Ia tak mau pindah ke tempat lain. Beberapa hari yang lalu saya sudah membawanya ke klinik dokter umum terdekat. Saya berharap dokter bisa memberikan saya salep yang bisa saya oleskan di atas timbil ini. Tapi, ternyata saya malah diberi obat minum.

Malas juga saya meminumnya, karena waktu makan saya di sini tidaklah teratur. Sementara obat itu harus diminum tiga kali sehari sehabis makan. Sejak kapan saya sempat makan tiga kali sehari di Taiwan ini? Tak pernah. Akhirnya obat itu saya buang saja. Lagi pula cuma timbil, sabar saja, nanti paling hilang sendiri, begitu pikir saya.

Namun, kemarin (15/12/2016), selepas Isya, saat saya sedang mengobrol dengan teman satu lab asal Indonesia, tiba-tiba benjolan di pelupuk mata saya itu terdeteksi olehnya. Obrolan kami terpotong. “Wah, Bang, kenapa itu matamu?” Teman saya menunjuk mata saya. Saya memegang benjolan itu. “Oh, ini, timbil.” Obrolan kami langsung saja berhenti di kata “timbil”. Saya kembali ke meja belajar. Mengambil cermin. Melihatnya. Memang sudah membesar. Tanpa kata kompromi dan sabar lagi, saya ambil dompet, kemudian kabur ke klinik mata yang berjarak sekitar delapan ratus meter dari kampus saya.

Kemarin dulu benjolan timbil ini masih bisa saya biarkan dan berharap ia bakal hilang sendiri. Namun, di saat orang lain sudah mudah mendeteksinya, berarti ukurannya sudah tak main-main lagi, dan tak boleh dibiarkan ia bertengger di pelupuk mata saya lagi. Maka ke dokterlah ia saya bawa. Tidak main-main, ke dokter spesialis mata.

Saya keluar lab. Membawa tas selempang laptop. Di dalamnya saya isi gadjet, powerbank, dan kabel charger. Siapa tahu nanti saya harus menunggu lama, maka saya bisa melewati waktu tunggu dengan membaca. Namun, belum beberapa depa meninggalkan kawasan lab, saya harus balik, harus mengambil jaket. Ternyata di luar dingin sekali.

Padahal, sehari sebelumnya, Kaohsiung masih hangat. Suhunya masih tak jauh di bawah tiga puluh derajat. Tapi sekarang, malah turun sampai lima belas derajat. Separuhnya. Angin dingin berhembus. Akibatnya, dingin yang saya rasakan jauh di bawah suhu yang terukur termometer. Saya memasukkan tangan ke saku jaket, sebab ujung jemari saya terasa mengerut, sakit. Tulang sinus saya pun perih, sehingga saya harus mengatur tarikan napas, pelan-pelan. Biarpun demikian saya terus melangkah keluar kampus.

Tak berapa lama, saya sampai di sana, di Dr. Tung Eye Clinic, saya langsung disambut suster petugas konter dengan senyum manisnya. Saya juga membalasnya dengan senyuman terbaik saya; dengan kawat gigi yang selalu mengilat manakala terkena cahaya lampu.

Setelah menyerahkan kartu Asuransi Kesehatan Nasional (National Health Insurance) dan membayar 150 NTD, saya dipersilakan duduk di kursi ruang tunggu. Nomor antrean lima belas. Tak akan lama. Klinik sedang sepi. Sebelumnya ada satu pasien yang menunggu. Sekarang ia sudah dipanggil masuk. Maka tinggallah saya sendiri. Menunggu.

Sejenak kemudian, seorang suster muncul di depan pintu. Ada sebuah map di tangannya. “You Se Man, ” ia memanggil nama saya. Saya bangkit berdiri. Melangkah mendekati suster yang berkulit putih, berbadan sintal, dan bermata agak sipit itu. “Keluhannya apa?” tanyanya. Saya tak menjawabnya dengan kalimat, karena saya tak tahu apa timbil itu dalam bahasa Mandarin. “Wo you zheke – Saya punya ini” Cuma itu yang saya bilang ke dia sambil menunjuk benjolan di mata kiri saya. Ia paham keluhan saya.

Bersama mapnya kemudian suster masuk ke ruang dokter. Saya dipersilakan duduk di bangku tunggu yang dekat dengan ruang dokter yang akan memeriksa mata saya nanti.

Dalam wawancara singkat tadi, saya sempat mengintip map di tangannya. Isinya semacam lembaran borang di mana keluhan pasien ditulis sebelum nantinya diserahkan kepada dokter. Di kertas itu juga ada sketsa gambar mata kiri dan kanan.

Hanya tiga menit berselang, suster itu muncul lagi di balik daun pintu, memanggil saya masuk. Dokter kemudian memeriksa, menekan-nekan benjolan di mata saya itu.

“Sakit?” tanyanya.

“Tidak, Dokter.” Saya menggeleng. “Dulu di awal kemunculannya sakit. Tapi sekarang tidak lagi.”

“Sudah berapa lama ini?” dokter bertanya sambil tangannya lincah, sibuk mencatat sesuatu.

“Kalau bengkak yang nggak sakit ini, kira-kira tiga atau dua minggu.” Saya kurang begitu yakin waktunya. Tapi untuk standar timbil Blangjruen, ini sudah tergolong lama.

Setelah tanya-jawab itu, kemudian ia menjelaskan, “Ada beberapa fase penyakit ini. Dan ini sudah sampai ke fase yang tidak sakit. Artinya, ini akan sulit hilang kalau tidak dibedah, untuk kita keluarkan isinya dan kita bersihkan.”

Deg! Mendengar kata “bedah”, bukan Usman Blangjruen namanya kalau tidak langsung cemas. Saya tercenung sejenak. Cuma timbil harus dibedah? Duh, bagaimana ini, Tolan, bagaimana!? Wajah saya yang tadinya aktif senyum, sekarang mendadak serius, suram. Saya takut jarum suntik! Apalagi disilet-silet! Tapi, pada akhirnya, saya harus pasrah. Bersedia menjalaninya.

Duduk berhadap-hadapan, rupanya dokter menangkap kecemasan saya. “Sebenarnya tidak darurat juga.” Dokter memberi peluang kepada saya seandainya saya mau menunda operasi kecil ini. Tapi, pikir saya, buat apa saya tunda? Lebih baik sekarang saja. Saya tunda besok-lusa pun, yang namanya takut ya tetap takut. Akhirnya, saya memang pasrah. “Sekarang saja, Dokter, ” ujar saya dengan mantap.

Suster selanjutnya mengajak saya masuk ke ruang bedah. Terlihat ada sebuah dipan berkasur dengan lapik karet tebal. Dan juga sebuah bantal karet kecil mirip ban Vespa. Sebuah lengan yang di ujungnya ada lampu sorot juga terpasang di dinding, di dekat posisi kepala pasien.

Setelah sebelumnya saya diminta menandatangani sebuah borang, kemudian saya berbaring di atas dipan sederhana itu. Lampu disorotkan ke bola mata saya. Saya berpejam. Suster meneteskan sebuah obat ke mata saya. Agak perih. Saya masih berpejam. Suara gemerincing alat mulai terdengar. Seram juga suasananya.

Sekarang dokter sudah duduk di ujung kepala saya. Tangannya mulai beraksi. Jarum suntik obat kebas adalah siksaan pertama. Pelupuk mata saya dibalik. “Jangan bergerak ya,” Dokter memberi aba-aba. Jarum suntik masuk. Saya menggeliat. “Duh, kok, sakit, “ saya bergumam dalam hati. “Selesai proses pembiusannya, “ kata dokter sekelebat kemudian, memberi tahu saya kabar gembira itu. Tapi, ini masih tahap awal. Belum selesai.

“Berapa tahun lagi kamu akan di Taiwan,” dokter bertanya, sembari tangannya mulai menjamah apa yang harus dijamah. Mulai membedah. Sekalipun bedah kecil, tapi suasananya ternyata horor juga.

“Empat tahun, Dokter,” jawab saya. Saya menggelinjang seraya bilang sakit.

“Oh, masih lama ternyata”

“Eh, maksud saya, lama total tinggal di Taiwan yang empat tahun, ” saya mengklarifikasi sambil menggeliat lagi, “sekarang sudah masuk tahun keempat. Berarti sekitar eee, owww, enam bulan lagi. Sakit, Dokter!”

Keluhan sakit saya tidak digubrisnya. Terus saja ia mengacak-acak pelupuk mata saya. Kali ini sepertinya ia sedang membersihkan lubang timbil. Saya merasakan gerakan jari tangannya yang memijat-mijat agar isi timbil itu keluar tak bersisa. Dua pijatan terakhir cukup membuat saya harus menggeliat kuat. Kaki saya yang tadinya lurus, sekarang secara tidak sadar saya tekuk. Seperti orang mau melahirkan saja.

“Selesai, ” dokter berujar tenang. Lega nian saya dibuatnya.

Pertanyaannya, kenapa sakit, ya? Padahal ‘kan sudah disuntik obat kebas? Entahlah, ini mungkin standar kerja dokter di sini. Mungkin untuk bedah kecil tidak perlu mematikan rasa, hanya perlu menguranginya saja. Dan memang, kelak saat saya sudah sampai di lab, saya tidak merasakan lagi pelupuk mata saya kebas. Cepat sekali hilangnya.

Dokter selanjutnya menutup mati mata saya dengan perban. Saya dimintanya menekan di atas perban itu selama sepuluh menit. “Untuk menghentikan pendarahan,” katanya. Oleh suster, saya kemudian dibimbing keluar ruang bedah dan ditinggal sendiri di ruang tunggu.

Sejenak kemudian, petugas obat memanggil saya ke loket. Saya bangun, mendekat. Mata saya berkunang-kunang. Apalagi mata kiri yang tertutup perban itu, menampakkan citra bintik abu-abu seperti pada layar televisi saat habis siaran.

“Ini, yang dua ini, ditetes empat kali sehari. Yang ini salep, digosok di atas bekas timbilmu itu.” Saya hanya mengangguk. Kemudian celingukan mencari suster yang melayani saya barusan. Saya melihatnya. Dia sedang di dalam ruangan. Suster itu juga melihat saya.

“Hai, ini bagaimana!?” Saya menunjuk perban yang menempel di mata saya.

“Tunggu. Tiga menit lagi! ” jawabnya sambil mengangkat stopwatch.

O, ternyata ia menghitung waktu dengan akurat. Pakai stopwatch segala. Saya menekan lagi perban itu, serius lagi mengikuti instruksi dari dokter. Padahal tadi saya sudah tidak melakukannya lagi.

Benar saja, tiga menit kemudian, suster itu pun keluar dari ruangan. “Ok. Selesai.” Suster membuka perban dan mempersilakan saya pulang. “Sekarang kamu bisa pulang.”

Saya pun keluar meninggalkan klinik. Berjalan menerobos lagi dinginnya kota Kaohsiung. Tapi kali ini saya merasa lebih hangat, tersebab senang karena sudah selesai urusan dengan penyakit saya.

Sepuluh menit kemudian, saya sampai di lab. Kejadian itu kemudian saya ceritakan kepada teman saya, bahwa timbil saya tadi sudah dibedah. Ia bergidik begitu mendengarnya. Saya hanya tertawa. Kemudian kembali ke meja belajar. Mengambil cermin dengan maksud melihat sisa sobekan bedah. Eh, ternyata tidak ada sisa sobekan di pelupuk mata saya. Wah, ternyata mereka membedah lewat dalam.

Awalnya saya pikir sayatan pisau itu akan meninggalkan bekas sebagai parut di pelupuk mata saya. Ternyata tidak. Saya benar-benar tak menemukan sayatan itu. Saya sempat berpikir mau melihatnya dengan cara membalikkan pelupuk mata. Akan tetapi, saya tidak berani.

Ternyata, operasi timbil di Taiwan memperhatikan estetika juga. Sehingga ganteng saya tidak merosot akibat keberadaan parut timbil itu.
__________
Hasyiah:
Timbil adalah bisul kecil pada tepi pelupuk mata (bahasa Aceh, guluntie).

Obat kebas maksudnya adalah obat bius (anastesi) yang digunakan untuk pemati rasa pada operasi.
Perban dibuka setelah sepuluh menit operasi

Setelah pembukaan perban

No comments:

Post a Comment