Sunday, December 25, 2016

Mereka dengan Mobil Mewah Itu

Di pinggir sebuah jalan di pusat kota Kaohsiung, di sebuah perhentian bus kota, sembari menunggu bus jalur R-30, seorang teman bercerita kepada saya bahwa di sekitar tempat kami menunggu bis ini, ada tempat prostitusi. “Pak Usman, ada tempat prostitusi di situ.” Ia menunjuk ke arah sebuah ruko yang hanya sepuluh langkah dari tempat kami berdiri.

“Masa, sih?” Saya menyatakan ketidakpercayaan saya. Karena saya sering menunggu bis di situ, tapi tak sekali pun melihat ada perempuan naik-turun mobil.

“Lihat saja nanti. Ada mobil mewah datang. Untuk menjemput atau mengantar perempuan-perempuan cantik. Yang diantar, turun dari mobil terus masuk ke ruko itu. Dan ada kalanya mobil kosong datang, menjemput, seorang perempuan keluar dari ruko itu, masuk ke mobil, dan dibawa pergi,” teman saya dengan takzim menjelaskan.

“Oh, saya paham,” sela saya menyatakan diri mengerti, “tapi, omong-omong, kok, kamu tahu di sini ada tempat gitu-gituan, Pak?” Saya mulai menggoda teman saya itu. Kami pun tertawa.

Sebenarnya itu hanya godaan basi, cara bercanda yang sudah cukup klise, tapi mampu juga membuat kami tertawa keras. Betapa sederhananya makna lelucon (joke) bagi kami mahasiswa doktor yang sudah tua dan jauh dari anak-istri ini. Hal-hal yang untuk orang normal tidak lucu, bagi kami kadang sudah cukup menggelitik. Itu menandakan bahwa, beratnya beban kuliah doktor membuat kami tidak selamanya butuh hal-hal lucu untuk tertawa. Jika kami ingin tertawa, ya, tertawa saja. Begitu juga menangis.

“Bukan, lah, Pak Usman. ‘Kan, kita bisa lihat dari ‘naik-turun mobil’nya perempuan-perempuan cantik itu,” jawab teman saya itu setelah selesai dari tawanya.

Saya menerima pengakuannya itu. Karena bagi kami, sekalipun bobroknya pikiran kami karena dihantam beban kuliah, untuk dosa yang satu itu, kami tidak sudi! Lebih baik kami pulang kampung sebulan sekali, Taiwan-Blangjruen PP, tidak peduli mahalnya harga tiket, jika memang alam menyuguhkan kami pilihan terhina itu, pilihan untuk berzina. Biarlah lelaki itu saja yang menikmatinya, dunia saya adalah aturan, dalam segala hal.

Setelah diberitahu teman saya itu, saya kemudian mulai serius melihat setiap mobil mewah yang melintas. Siapa tahu ada mobil datang terus seorang perempuan cantik naik, dibawa pergi. Dan juga sebuah mobil lain datang, seorang perempuan cantik lain turun, masuk ke ruko itu, kemudian mobil itu pergi. Seperti hikayat teman saya tadi. Tapi hari itu saya tidak beruntung. Belum sempat fenomena itu saya saksikan, bus R-30 datang, kami pun meninggalkan pos perhentian bus itu dan diangkut pulang ke kampus.

Hari ini (25/12/2016), kebetulan saya juga sedang menunggu bus di perhentian bus yang sama. Dan, sebenarnya saya sudah lupa percakapan perihal perempuan cantik yang naik-turun mobil kemarin itu. Hari ini di sekitar perhentian bus lumayan sepi. Matahari cerah, tapi suasana tetap sejuk karena sudah memasuki musim dingin. Saking sepinya, saya bisa melihat lebih detail seluruh aktivitas yang masuk ke ruang pandang saya, kiri-kanan-muka-belakang.

Saya sesekali menatap ke ujung jalan, memastikan apakah ada bus bertuliskan R-30 yang datang. Namun, tatkala mata saya menerawang ke ujung jalan sana, tiba-tiba pandangan saya menangkap sebuah mobil mewah yang makin lama makin lambat lajunya, meminggir, serta berhenti tepat di depan ruko yang diceritakan teman saya kemarin.

Sekarang mobil itu telah berhenti sempurna. Senyap sesaat. Pintu belakang mobil kemudian terbuka, tanpa suara. Kaki kanan putih bersih bagai ubi kayu terkelupas, keluar dan menancap tegas di aspal. Kaki kiri menyusul melayang keluar sekelebat kemudian. Seorang wanita cantik, berambut lurus tergerai menggapai bahu telah sempurna turun dari mobil mewah itu. Tas bertali pendek penuh manik disampirkan di bahu kirinya. Di antara tangan dan badannya yang aduhai itu, tas itu dikempitnya. Gaya yang begitu santai seolah tak ada seorang pun yang sedang memperhatikannya.

Saya sungguh penasaran apa isi tas itu. Tapi, dari caranya mengempit, yakinlah saya bahwa isinya tidaklah berat. Hanya perkakas-perkakas ringan saja, itu pun kalau ada. Karena, setahu saya, tas bagi perempuan bukan hanya sebagai wadah pengangkut barang, tapi lebih dari itu, juga sebagai perhiasan.

Saya tahu ini setelah saya menikah, bahwa tidak selamanya tas perempuan itu ada isinya. Dan jika pun ada isinya, tak selamanya pula isi tersebut adalah dari barang-barang yang perlu dibawa. Karena yang paling penting dari tas perempuan adalah tas itu sendiri. Bukan isinya.

Suatu hari istri saya membeli tas baru. Seperti biasa, saya tak keberatan kalau istri saya membeli pakaian termasuk tas dan kosmetik. Tak perlu minta izin. Tapi, sungguh pun demikian, biasanya ia minta izin dulu sebelum membelinya. Saya tentu hanya mengiyakan saja, dan mengirim uang jika memang di rekening sudah kurang saldonya.

Foto pertama dengan tas barunya di sebuah resepsi perkawinan kakak dikirimkan kepada saya ke Taiwan ini. Saya melihatnya, ia berpose dengan kedua mempelai. Harus saya akui, cantik juga istri saya dengan tas barunya itu. Yang sengaja disampirkan di tangan kirinya yang telah ditekuk ke atas setakat sembilan puluh derajat. Saya melihat tasnya dan seraya memuji, bagus, saya suka warna dan desainnya.

Saya yang tahu betul istri saya, kemudian bertanya, “Isi tasnya apa itu, Mi? Penasaran.” Dengan cepat ia menjawab, “Cuma dompet dengan uang dua puluh ribu rupiah.” Demi mendengar jawabannya ini, tawa saya meledak menggegerkan isi lab, tak tertahan tertawa sendiri di depan komputer di lab yang isinya hanya perkakas-perkakas yang membosankan ini.

Tapi, tas perempuan cantik yang naik-turun mobil di pinggir jalan tadi tentu banyak isinya, sekalipun tidak sampai penuh dan berat. Terlihat dari wujudnya yang sedikit mengembang.

Setelah kedua kakinya sempurna menginjak bumi dan keseimbangan tubuhnya sudah tercapai, gerendel pintu mobil diraihnya. Ia menutup pintu mobil itu. Tanpa ba-bi-bu secara sigap ia meninggalkan mobil itu dengan tatapan lurus ke depan. Pun dari mobil yang dia tumpangi tadi tidak ada nada klakson yang dibunyikan.

Benar-benar senyap sekali suasananya. Komunikasi yang sangat efektif. Padahal, kalau di tempat kita, yang namanya klakson itu wajib hukumnya jika bertemu orang atau meninggalkan seseorang. Sekarang malah lebih parah. Sopir harus memakai klakson “telolet” segala jika tidak ingin diberi jempol terbalik dan teriakan “huuu” dari para penggembira di pinggir jalan.

Sejenak kemudian, satu mobil mewah lain datang. Berhenti di posisi yang sama. Bagai magnet, tak lama setelah mobil mewah itu berhenti setentang pintu ruko itu, seorang perempuan cantik keluar bagai tertarik ke badan mobil itu. Gerendel pintu belakang mobil digapainya, membuka pintu, dan masuk. Lenyaplah tubuh molek menggairahkan itu dari pandangan saya. Terhalang dinding mobil hitam berkilap dan kaca jendela hitam, yang juga berkilap, yang hanya memungkinkan penglihatan dari dalam ke luar. Mobil itu pun pergi, meninggalkan saya yang penasaran ingin mengintip ke dalam ruko di mana perempuan cantik itu keluar-masuk.

Namun, belum saja lima langkah saya meninggalkan perhentian bus, di ujung jalan sana sudah terlihat bus bernomor R-30. Saya pun kembali lagi ke perhentian bus dengan berlari-lari kecil sembari melambaikan tangan ke jalan.

Bus berhenti. Saya pun pulang ke kampus dengan masih menyisakan penasaran di dalam hati. Hanya ingin tahu rupa ruko itu dari luar. Bukan bermaksud mau berlangganan! Mobil semewah itu, untuk menjemput perempuan-perempuan cantik itu, adalah indikator kuat betapa biayanya pasti cukup untuk digunakan sebagai biaya bolak-balik sehari dua kali Taiwan-Blangjruen, untuk bertemu istri saya yang cantik dan anak saya yang lucu itu.

No comments:

Post a Comment