Saturday, March 4, 2017

Budak di Aceh

Yang perlu saya tekankan di sini adalah, tidak semua pekerja atau pembantu kasar di rumah raja/hulubalang Aceh zaman dulu adalah dari golongan budak. Bisa saja mereka berasal dari golongan biasa yang dipekerjakan di rumah pembesar-pembesar sebuah negeri.

Di keraton Jogjakarta malah ada istilah Abdi Dalem, yang menjadi pembantu di Dalam Sultan sampai sekarang. Mereka itu bukanlah budak, melainkan orang merdeka yang dengan senang hati menjadi pelayan rajanya secara turun-temurun. Dan, yang paling penting, menjadi Abdi Dalem adalah sebuah kebanggaan bagi mereka.

Perlu diingat pula bahwa, sejak Islam datang, sekalipun tetap melegalkan perbudakan, pintu bagi seseorang untuk dijadikan budak cukup dipersempit, yaitu hanya melalui sebuah peperangan antara kaum Muslimin dengan kaum Kafir Harbi. Maka jika mereka kalah, tawanan perang itulah yang akan dijadikan budak jika tidak dibarter dengan tebusan oleh panglima perang.

Sebelum Islam datang, banyak cara seseorang bisa dijadikan budak, di antaranya adalah melalui penculikan dan perampokan. Anak-anak dan perempuan dirampas dan dijual di pasar budak. Sejak Islam datang, pintu itu ditutup rapat-rapat.

Selama ribuan tahun sebelum kedatangan Islam, perbudakan itu dipraktekkan sebagai sebuah sistem yang diakui dan disahkan oleh penguasa. Oleh karena itu, melawan sistem perbudakan kala itu, sama sulitnya seperti melawan jual beli dan sembelih hewan di zaman sekarang, sulit sekali.

Karenanya, Islam sebagai agama yang menghargai semua makhluk Tuhan, melawan perbudakan itu dengan sistem pula. Sehingga sistem dilawan dengan sistem.

Sistem penghapusan budak ala Islam memang cukup cantik. Misalnya, denda atau kafarat dalam Islam, pilihan pertamanya adalah pembebasan budak.

Seseorang yang kadong menggauli istrinya dalam keadaan berpuasa Ramadhan, maka dendanya adalah membebaskan seorang budak.

Seorang suami menceraikan istri dengan cara menyamakan anggota tubuh istrinya dengan anggota tubuh mahramnya (zhihar), kalau ia mau rujuk, maka dendanya adalah membebaskan seorang budak.

Budak yang sudah meminta merdeka pada pemiliknya dengan sejumlah uang tebusan (mukatab), maka ia berhak memperoleh zakat sebagai bantuan untuk memerdekakan dirinya.

Dan masih banyak lagi paket-paket pembebasan budak yang diberikan Islam. Termasuk, budak yang mengandung anak pemiliknya (ummu walad), maka ia akan merdeka setelah pemiliknya meninggal. Dan juga, bagi pemilik yang melukai budaknya, maka ia wajib memerdekakannya.

Dan masih banyak lagi hukum syariat yang tujuannya adalah penghapusan budak secara pelan-pelan tapi pasti. Alhasil, Islam adalah agama pembebasan budak dengan sistemnya yang cukup elegan.

Sekarang kita melirik budak yang ada di Aceh zaman dulu. Menurut Prof. Snouck Hourgronje, tercatat bahwa, kebanyakan budak di Aceh adalah orang Nias, orang Aceh menyebutnya sebagai orang "Nieh".

Yang mengagetkan adalah, perbudakan itu dilakukan dengan cara menculik orang Nias itu. Namun ada juga yang dibeli, sekalipun hanya sedikit. Dan juga ada budak yang dibeli dari Arab dan dibawa pulang ke Aceh selepas menunaikan ibadah haji.

Tentang penculikan orang Nias yang dijadikan budak di Aceh, ada satu cerita yang saya dengar dari sebuah pengajian mingguan di salah satu mesjid kota Lhokseumawe, yang mungkin secara historis butuh pembuktian lanjutan.

Orang Aceh dengan kapal besarnya kadang kala merapat di pulau Nias. Di kapal itu diadakanlah berbagai macam hiburan yang menarik kaum perampuan dan anak-anak Nias naik ke kapal. Setelah dinyatakan cukup, pintu kapal pun ditutup dan kapal diberangkatkan, membawa kabur anak-anak dan wanita-wanita Nias. Mereka inilah yang selanjutnya dijual dan dijadikan budak di Aceh.

Untuk keturunan orang-orang Nias ini, maka yakinilah bahwa mereka bukanlah budak dalam hukum Islam, melainkan orang-orang merdeka yang terzalimi karena lemahnya mereka kala itu.

No comments:

Post a Comment