Kalimat itu dilontarkan dalam sebuah percakapan singkat beberapa hari yang lalu saat saya bertemu dengan salah satu teman FB dan juga warga Blangjruen. Hal ini disampaikan dalam rangka menanggapi tulisan saya di FB terkait kehulubalangan Keureutoe.
Sekarang sudah lumayan sering jika saya bertemu teman, yang dibahas adalah isi tulisan saya di FB. Kadang saya jadi tak enak hati menanggapinya. Sekalipun demikian, saya selalu melayaninya dengan baik dan santai.
Terkait pengakuan kedaulatan Belanda atas negeri Keureutoe yang dilakukan oleh hulubalangnya, mulai dari Ampon Chik Mulieng Abdul Majid pada 1874, saya punya sedikit catatan positif tentang itu, yaitu alasan kenapa hulubalang langsung menandatangani "korte verklaring" yang disodorkan Belanda, tanpa berperang.
Salah satu alasannya adalah Belanda saat itu terlalu kuat untuk dilawan dengan hanya senjata pedang dan beberapa senapan. Sehingga daripada hancur, beberapa hulubalang memilih tunduk saja kepada Belanda.
Istimewa pula, sebelum mengakui tunduk, Belanda sering secara serampangan menembakkan meriam-meriamnya dari laut ke kota Keureutoe. Ini cukup berbahaya bagi masyarakat dan isi kota. Akhirnya, hulubalang mengakui saja kedaulatan Belanda atas negerinya untuk keamanan warga dan kota.
Tapi, sekalipun sudah mengakui tunduk, hulubalang masih saja mendukung perjuangan laskar Muslimin berjihad menentang Belanda, dengan tetap memberikan biaya untuk perjuangan mereka.
Konon katanya, Cut Nyak Asiah sebenarnya merekomendasi Teuku Cut Muhammad (anak angkatnya yang kelak menjadi suami Cut Nyak Meutia) untuk ikut bergambung bersama pejuang Muslimin bergerilya di hutan Pasee. Oleh sebab itulah, sampai akhir hayatnya di Aceh, Belanda tak sepenuhnya percaya kepada hulubalang sekalipun sudah mengakui tunduk.
Adapun penyerangan pasukan Sultan ke Kuta Jrat Manyang (ibukota Keureutoe) pada tahun 1901, itu hanya kesalahpahaman yang terjadi antara Sultan dan Cut Nyak Asiah saja. Yang disebabkan oleh kelancangan Syahbandarnya Cut Nyak Asiah.
Sebelum penyerangan, saat Sultan sedang berada di hutan Pasee dalam pelariannya untuk menghindar dari kejaran Belanda yang ketika itu sudah menguasai Dalam Sultan di Banda Aceh, beliau mengutus Teuku Muda Angkasah hulubalang Blang Geuleumpang untuk menjumpai Cut Nyak Asiah di Kuta Jrat Manyang (kecamatan Tanah Pasir sekarang). Maksudnya adalah untuk menagih sumbangan materi yang akan digunakan sebagai bekal perjuangan.
Cut Nyak Asiah sebagai hulubalang Keureutoe waktu itu telah menyanggupi permintaan dari Sultan. Namun untuk mencairkan sumbangan itu, Cut Nyak Asiah meminta Teuku Muda Angkasah untuk menjumpai Syanbandar Krueng Baro, tangan kanannya dalam bidang keuangan.
Tapi sayang, ketika Teuku Muda Angkasah menemui Syahbandar, orang yang bertanggung jawab memberi uang itu sedang lalai di lapak judi. Entah setan apa yang merasuki jiwanya, jangankan diberi uang, Teuku Muda Angkasah malah dicacimakinya dengan kata-kata kasar. Tak peduli sama sekali siapa yang sedang dimarahinya. Padahal yang sedang dihadapinya adalah utusan Sultan dan atasannya, Cut Nyak Asiah.
Sultan, demi mendengar berita itu, betapa murkanya beliau. Tapi, Sultan masih tetap menaruh kasihan kepada Cut Nyak Asiah. Bahkan, Sultan sempat berkata, "Kasihan Cut Nyak Asiah. Janda berkuasa tapi mempunyai Syahbandar seperti itu."
Namun, di saat Cut Nyak Asiah tidak segera menghukum Syahbandar tersebab kelancangannya itu, kemarahan Sultan tak terbendung lagi. Yang akhirnya terwujud di tangan panglima perangnya, Muda Pahlawan.
Panglima Muda Pahlawan menyerbu Kuta Jrat Manyang dan menyita barang-barang berharga di Dalam. Cut Nyak Asiah saat itu sedang berada di Mulieng (kecamatan Syamtalira Aron sekarang). Sedangkan Dalam sedang kosong dan tanpa penjagaan yang berarti.
Teuku Cut Muhammad, demi mendengar hal penyerbuan itu, langsung bergegas pulang ke Jrat Manyang untuk melakukan negosiasi agar tidak terjadi penyerangan. Namun, saat Teuku Cut Muhammad tiba, penyerangan itu sudah usai. Dalam sudah berantakan.
Apa mau dikata, Teuku Cut Muhammad hanya bersedih. Dan, Sultan pun sebenarnya menyesal atas penyerangan itu. Begitu juga Panglima Muda Pahlawan. Ini semua akibat tingkah Syahbandar Krueng Baro. Dialah biangkeladi semua ini.
Setelah penyerangan itu, Sultan langsung meninggalkan Kuta Jrat Manyang menuju Laga Baro dan beristirahat di sana. Sementara itu, Muda Pahlawan masih di Dalam Kuta Jrat Manyang.
Sampai keesokan harinya, pagi-pagi, bantuan tentara Belanda datang dari Lhokseumawe untuk membantu Cut Nyak Asiah. Bantuan Belanda ini sebagai akibat dari penandatanganan "korte veklaring" (perjanjian pendek) dengan Belanda: dimana antara Belanda dan hulubalang akan mempunyai musuh yang sama.
Saat serdadu datang, Muda Pahlawan dan prajuritnya masih berada di Dalam. Mereka terjebak di sana, tak bisa keluar. Ini karena Dalam Jrat Manyang terkenal kokoh dan tinggi dindingnya. Konon katanya, dinding itu pun dilingkari lagi dengan galian berair dan ada buayanya.
Saat serdadu sampai di sana, mereka naik ke sebuah menara yang disebut dengan nama "Tuk Iboih". Dari situlah peluru dimuntahkan ke Dalam Kuta Jrat Manyang. Empat puluh prajurit, termasuk Panglima Muda Pahlawan, syahid ditembus pelor dalam penyerangan balasan itu.
Sultan demi mendengar kejadian yang memilukan itu meminta agar jasad Muda Pahlawan dibawa ke Geudong (kecamatan Samudra) untuk dikebumikan di situ. Maka makam Muda Pahlawan ada di Geudong dan masih bisa dilihat sampai sekarang.
Tadi pagi (28 Februari 2017), saat mau berangkat ke Politeknik Negeri Lhokseumawe, sampai di Geudong saya menyempatkan diri singgah di makam Muda Pahlawan yang ada di belakang meunasah (langgar) Keudee Geudong, kecamatan Samudra. Karena belum pernah ke situ, saya harus tanya sana-sini, dan akhirnya mendapatkanya.
Sekalipun tidak sempat menitikkan air mata, sebenarnya saya sedih dan menyesali demi melihat kondisi makam Syuhada ini. Karena sama sekali tidak terawat!
Hanya bangunan beratap seng yang satu lembarnya sudah hampir lepas, melindungi makam itu. Batu nisannya hanya batu bulat biasa yang tak bertuliskan apa-apa. Itu pun juga hampir tak kelihatan.
Saya sempat bertanya ke orang sekitar, "Apakah ada dari pemerintah yang datang dan ingin membuat makam itu?" Jawabannya, "Tidak! Itu bangunan atap hanya inisiatif warga sendiri."
![]() |
Makam Panglima Muda Pahlawan di meunasah Keudee Geudong, kecamatan Samudra, Aceh Utara |
No comments:
Post a Comment