Setelah kemarin jagung bakar Nibong yang gurihnya nggak akan hilang di hati sekalipun hilang di mulut, kali ini nasi goreng Cek Him Rayeuk Meunye ternyata juga tak mau kalah.
Kamaren, 21 Februari 2017, saya lagi galau pas mau makan di rumah. Aslinya padahal lapar banget, tapi mau makan, malas. Bukan, bukan. Bukan karena masakan istri tak enak lagi. Bukan itu sebabnya. Tapi, semua orang, kan, pernah, ya, terkadang kita bosan makan di rumah, terus ngajak istri makan di luar? Saya sering seperti itu.
Tapi karena kemarin lagi siang dan panasnya pol, maka istri saya tak mau ikut keluar. Maka sayalah yang keluar cari makan sendiri. Mencari nasi bungkus dan saya makan di rumah.
Namun kamfretnya, begitu keluar, saya bingung juga, mau beli makan di mana? Daftar warung makan yang ada di kepala saya, semua sudah masuk ke list yang membosankan untuk hari kemarin.
Solusinya tentu saya harus mencari warung makan baru yang belum pernah saya datangi. Maka pilihan saya jatuh pada warung makan Cek Him Rayeuk Meunye, yang sebelumnya saya lewati saja.
Jangan lupa, Rayeuk Meunye dibaca sebagai Rayoek Meunje (diftong "oe" dibaca seperti "o" kedua pada kata logo, diftong "eu" seperti pada kata euleuh-euleuh, "e" seperti "e" kedua pada kata keren)
Saya membeli sebungkus nasi goreng, pakai telur mata sapi. Tak berani membeli banyak. Takut sampai di rumah, begitu makan, rasanya tak enak, dan mubazir. Saya juga membeli empat potong bakwan.
Eh, mau tahu harganya? Lima ribu rupiah per bungkus! Bakwan, cuma lima ratus rupiah per potong. Murah sekali. Di tengah era globalisasi seperti sekarang ini, ada pedagang yang berani bermain di harga murah, kan, ewow banget itu namanya.
Padahal di tempat lain harganya sampai sepuluh ribu rupiah per bungkus dengan lauk yang sama, mata sapi. Bakwan, seribu rupiah. Dua kali lipat dari harga di Warung Cek Him.
Memang inflasi yang membuat Pak Jokowi sakit kepala, sepertinya tak menyentuh Cek Him. Ketika orang ramai-ramai menaikkan harga, Cek Him malah menyapa masyarakat Blangjruen dan sekitarnya di harga terendah. Sesuai isi kantong masyarakat setempat yang berada dalam masa paceklik.
Sudah murah, sampai di rumah, saya dan istri makan, O, Tuhan, ternyata enak. Rasanya benar-benar tak mewakili harganya. Enak. Nggak bohong. Sekalipun harganya murah banget.
Alhasil, malamnya, saya dan istri pergi lagi ke sana, membeli tiga bungkus sekaligus dan kami makan bersama di rumah. Dan, semua anggota keluarga saya bilang, "enak." Cuma ada satu yang kurang, kata mereka, "kurang banyak." Ya, iya,lah. Tiga bungkus nasi dimakan satu truk manusia. Ya jelas kurang. Besok-besok beli lagi!
Eh, hampir lupa, bukan hanya nasi goreng dan gorengan saja yang dijual Cek Him, tapi juga bakso ayam. Harga tetap lima ribu rupiah. Duh, kalau dipikir-pikir untungnya dari mana, ya?
Nah, sebagai bukan pedagang, terus terang saya nggak tahu. Tapi jelas dia dapat untung, karena kata Cek Him, sebentar lagi dia akan membuka satu cabang baru di tempat lain. Tapi harganya dinaikkan sedikit, menjadi enam ribu rupiah. Wajar, lah. Saya menduga itu akibat harga sewa kedai yang mahal di tempat baru itu.
Oke, bagi yang penasaran mau menyantap nasi goreng Cek Him, silakan berkunjung ke gampong Rayeuk Meunye. Bagi warga Blangjruen, silakan saja meluncur ke lokasi. Bagi yang dari luar kota, masuk Simpang Landing, jalan saja sekitar lima kilometer, jumpa simpang Meunye, nah, warungnya sekitar situ.
Bagi yang dari luar pulau Sumatra, siapa tahu ada, jangan ketawa dulu, maka naik pesawat saja dan turun di Lhokseumawe. Minta dianterin ke jalan provinsi, naik bus arah Medan dan turun di Simpang Landing, terus naik ojek minta diantarin ke Simpang Meunye.
Terakhir, yang lebih asyik lagi, di samping menu nasi, bakso, gorengan, dan minuman, untuk menarik konsumen, lebih-lebih anak muda, di warung kecil mungil ini Cek Him juga menyediakan Wi-Fi, gratis. Sehingga semua pelanggan terhubung ke dunia luar
No comments:
Post a Comment