Tuesday, April 11, 2017

Mi Ayam di Warung Indonesia Lestari Kaohsiung Taiwan Selatan. Perang Boga Antara Saya dan Istri

Sebagai pasangan jago makan, tentu ketika saya dan istri videocall, salah satu materi yang kami bahas adalah soal makanan. Biasanya saya yang duluan bertanya, “Hari ini di rumah apa teman nasinya, Mi?”

Kalau ternyata teman nasinya adalah kesukaan saya, istri saya menjawabnya pakai acara menyengir begitu, mengejek, “Hari ini kuah lemak sayur singkong, Bi.”

Saya dibegitukan langsung bilang, “Kamu enak, lah, di situ. Di sini apa, lah.” Saya memasang wajah merengut.

Tapi, saya tentu sekali-kali pengin, dong, balas dendam. Masakan jadi korban terus. Saya harus segera mencari kelemahannya, kelemahan istri saya. Dan saya tahu itu apa.

Ini rahasia, jangan bilang-bilang ke istri saya. Dia itu, sejak tahun satu saya mengenalnya, saya sudah tahu bahwa dia adalah penggemar mi kelas hiu. Kakap kalah. Tak peduli mi apa itu jenisnya. Yang penting mi. Titik.

Tapi semenjak kami tidak tinggal lagi di Banda Aceh tersebab pendidikan keperawatannya di Poltekkes Banda Aceh sudah rampung, satu jenis mi tiba-tiba hilang dari kehidupannya. Yaitu mi ayam, atau istri saya menyebutnya mi pangsit. Saya yang lama tinggal di Jogjakarta, bersikeras bilang bahwa itu mi ayam, bukan mi pangsit.

Sedihnya dia itu, di Blangjruen ternyata tidak ada penjual mi ayam. Atau, tak ada mi ayam yang sesuai dengan seleranya. Buktinya, saya pernah mencoba membeli mi ayam di sebuah kota di wilayah Aceh Utara, eh, dia malah tak suka. “Tak enak, ” begitu katanya pada suatu hari setelah menyantap mi ayam bawaan saya.

Nah, dengan ketiadaan mi ayam di Blangjruen, maka jadilah itu sebagai peluru bagi saya dalam rangka membalas dendam akan ejekannya saat bilang ada masakan kesukaan saya di rumah. Ini, kalau kata pejuang-pejuang Aceh zaman dulu, namanya “tueng bila”.

Kemarin dulu (7 April 2017), saat menelepon istri, saya bilang ke dia bahwa saya mau makan mi ayam besok. “Saya tiba-tiba, kok, pengin makan mi ayam, ya, Mi? Saya mau makan besok, lah, ” saya di ujung telepon videocall di Taiwan bilang kepadanya.

“Memangnya ada mi ayam di situ, Bi?” tanyanya penasaran. Tahu, lah, Kawan, bagaimana ekspresi wajah istri saya di saat mendengar salah satu nama makanan kesukaanya. Matanya langsung membulat, kerongkongannya naik-turun.

“Ada, lah, Mi. Malah lebih enak di sini, ” jawabku memasang wajah seberwibawa mungkin, videocall soalnya.

Keesokan harinya (8 April 2017) kami videocall lagi. Ternyata istri saya penasaran, bertanya, “Sudah makan mi ayamnya, Bi?”

Saya agak kaget, karena saya sudah lupa rupanya, malah diingatkan. Terus menjawab berlagak sok sibuk, “Nanti, Mi. Sedang sibuk. Paling nanti sore.”

Tak berapa lama kemudian, perut saya lapar juga ternyata. Saya minta izin mengakhiri videocall, mau makan, lapar. Dan, memang akhirnya saya berangkat ke Kaohsiung Main Station untuk makan mi ayam.

Kali ini saya memilih makan di Warung Lestari di bilangan Kaohsiung Main Station. Itu adalah kali kedua saya makan di warung Indonesia tersebut. Pertama dulu saya makan lalapan bebek goreng. Ternyata enak. Beda dengan warung yang lain, sambal di sini berwarna ijo dan di dalamnya ada ikan teri kecil-kecil kering yang menambah gurih rasanya. Di samping itu tentu, amboi pedasnya.

Kali kedua, dalam rangka balas dendam itu, saya makan mi ayam. Saya memilih makan di sini lagi tentu karena tertambat hati pada enaknya sambal pada pertemuan pertama.

Setelah saya pesan, saya menunggu sambil membaca buku. Lumayan lama. Saya hitung-hitung sekitar lima belas menit, atau mungkin dua puluh menit. Sampai akhirnya tibalah mi ayam itu di hadapan saya.

Saya melihatnya lamat-lamat. Astaga, dari wujudnya saja, tak seorang pun di muka bumi ini yang bagus akalnya berani bilang bahwa mi ayam ini tidak enak.

Lihat, Kawan, minya yang kekuning-kuningan seolah berlomba berebut pengaruh dengan rebusan daun sawi hijau segar. Potongan daging ayam serta tulangnya tersepuh bumbu cokelat mengitari di pinggir piring, terapung dalam kuah nan lezat susunan bumbu pusparagam.

Tiga potong pangsit hijau teronggok terpacak menjulang tinggi seolah mengisyaratkan bahwa dialah yang harus dimakan lebih dulu. Karena nikmatnya akan segera hilang diluruh kuah panas yang merendam sebagian tubuhnya.

Saya langsung memakannya? Sungguh tidak, Kawan. Tolan lupa dengan dendam saya? Saya harus mengirim foto mi ayam ini kepada istri saya di Aceh. Dua kali jepret maka foto itu jadilah. Kemudian saya pilih foto yang paling menggoda, dan mengirimnya ke istri saya yang cantik itu.

Dia melihatnya. Mau tahu apa komentarnya? “Paleeh, koep mangat ! – Astaga, enak sekali !” Begitulah ekspresinya ketika melihat mi ayam itu.

Kata “paleeh” dalam bahasa Aceh tentu sebenarnya tidak baik digunakan. Tapi kata ini akan keluar secara spontan bagi penutur Aceh di saat melihat sesuatu yang mengagetkannya. Kalau di Jawa Timur mungkin sepedan dengan kata “jancok”.

Saya tertawa cekikikan begitu membaca komentar istri saya itu sambil terus menyantap mi ayam itu sesendok demi sesendok. Suapan pertama, O, Tuhan, enaknya membikin lupa mertua. Sungguh sesuai dengan rupanya yang membuat istri saya si jelita itu kaget dibuatnya.

Dua hari berlalu, pembicaraan kami sepi dari bab-bab mi ayam itu. Tapi hari ini (10 April 2017), istri saya menyinggung lagi tentang mi ayam itu. Ternyata ia benar-benar pengin makan mi serupa. Tapi, di Blangjruen tidak ada. Terus ia juga bilang, bahwa sudah menyimpan tutorial cara membuat mi ayam yang sedap yang telah diunduhnya dari Youtube.

Duh, saya jadi kasihan mendengarnya. Pikiran saya campur aduk. Coba kalau saya ada di sana. Pasti saya akan ikut membantu untuk mengadakan mi ayam itu buatnya. Yaitu mungkin dengan ikut membantunya membeli ayam dan juga bumbu-bumbunya. Mengingat ada beberapa bumbu yang saya yakini tidak ada di pasar Blangjruen. Mungkin di Lhokseumawe baru ada, dan saya bisa membantu membelinya ke sana.

Tapi, saya lagi di Taiwan. Jauh. Akhirnya saya yang sedih. Ini sungguh bukan pencitraan, lo, ya. Sebagaimana istri saya juga tahu, saya hampir tak pernah menunda jika istri saya pengin dibelikan sesuatu makanan.
__________
Hasyiah:
Membikin lupa mertua adalah ungkapan orang Melayu untuk mensifati akan luar biasa lezatnya sebuah makanan.

Teman nasi adalah lauk yang dimakan dengan nasi, seperti sayur dan ikan. Sekalipun ada dalam KBBI, kata ini jarang digunakan oleh orang non-Melayu.

Mi ayam Lestari di Kaohsiung Main Station, Taiwan Selatan.

Suasana warung makan Indonesia Lestari di hari Minggu

Daftar menu harian warung makan Lestari

Penampakan depan warung makan Indonesia Lestari Kaohsiung, Taiwan Selatan

No comments:

Post a Comment