Di sebuah rumah kost, Jetisharjo, Yogyakarta, di akhir tahun 2003.
“Si Usman mau tinggal di asrama Aceh, ” kata salah satu teman kost saya memberitahu teman kost lain yang baru pulang.
Teman kost yang baru pulang itu menoleh ke arah saya, dengan khas suara lantangnya bertanya, ”Apa kamu? Mau tinggal di asrama Aceh?”
Saya mengangguk, agak lemas, berujar, “Tinggal di asrama, kan, bisa lebih murah.”
“Puw kanak loep lang penjara!? - Apa kamu mau masuk penjara!?” bentaknya.
Saya padahal terkenal sebagai tukang debat, termasuk dengan teman yang lantang suaranya itu. Tapi giliran ditakut-takuti dengan mengaitkan asrama Aceh dengan penjara, kali ini saya tidak berdebat sama sekali. Yang ada hanya mendengar dengan takzim ceramahnya.
Teman saya itu bilang bahwa asrama Aceh kerap digeledah polisi karena dicurigai ada yang bawa ganja. Hasil dari ceramah ini, akhirnya saya tidak pernah tinggal di asrama Aceh selama kuliah di ekstensi Teknik Mesin UGM Yogyakarta dalam rentang tahun 2003-2005.
Seiring berjalannya waktu tinggal bersama mereka di rumah kost di Jetisharjo, akhirnya saya tahu rupanya teman-teman saya itu juga punya kenangan buruk dengan asrama Aceh saat hari pertama mereka tiba di Yogyakarta di tahun 2001.
Saat itu, karena tak ada kenalan di Yogyakarta, tentu mereka ingin tinggal di asrama Aceh saja. Namun sayang, saat mereka tiba di asrama itu dengan tas ransel yang besar-besar, rupanya pengurus asrama mencurigai mereka. Sebelum diizinkan masuk, tas mereka digeledah dan ditanya ini-itu.
Sebagai anak baik-baik yang ke Yogyakarta hanya ingin menuntut ilmu, kemudian dicurigai sehingga tas mereka digeledah dan diinterogasi, panas juga hati anak-anak dagang baru itu. Puncaknya, mereka memilih keluar dari asrama itu dan mencari tempat lain untuk berteduh.
Memang, sepintas tak salah juga pengurus asrama itu mencurigai pendatang baru, karena selanjutnya saya juga mendengar bahwa petugas keamanan Yogyakarta kerap mencurigai anak Aceh dengan stigma ganjanya. Sehingga asrama Aceh menjadi sasaran intaian petugas.
Mungkin inilah sebabnya kenapa begitu sulit bagi pengurus asrama menerima anggota baru yang tidak mereka kenal. Karena satu yang membuat kasus, satu asrama yang akan menanggung risikonya. Dan dengan alasan itu pulalah teman-teman melarang saya untuk tinggal di asrama.
***
Sama seperti saya, mereka datang di Yogyakarta semata-mata ingin melanjutkan kuliah. Sebagai abang leting saya di Politeknik Negeri Lhokseumawe, mereka tiba di kota Sultan itu dua tahun sebelum akhirnya saya juga ikut ke sana.
Kemauan saya untuk melanjutkan kuliah di Yogyakarta ini tidak lepas dari informasi yang mereka berikan. Lebih-lebih salah satu dari mereka adalah sepupu saya di Blangjruen. Hasil kipasannya saat pulang kampung ketika libur kuliah, membuat saya begitu ngiler untuk segera kuliah ke sana.
Saya pun tiba di Yogyakarta di pertengahan 2003. Biaya kostnya mahal untuk standar ekonomi keluarga saya di Blangjruen dewasa itu. Istimewa pula, akhir tahun 2003 pasar Blangjruen deretan timur musnah terbakar, dan tentu ruko keluarga kami juga hangus tak bersisa.
Karenanya saya sebenarnya mau tinggal di asrama saja biar murah. Tapi ketika dikait-kaitkan dengan penjara, bukan Usman orangnya jika tidak takut, sehingga saya membuang jauh-jauh impian untuk tinggal di asrama.
Saya tetap tinggal di Jetisharjo sampai studi saya di UGM usai di pertengahan tahun 2005. Bahkan, ketika kuliah S2 di universitas yang sama pada tahun 2010-2012, saya tetap tinggal di Jetisharjo yang legendaris itu. Bahkan di rumah kost yang sama.
Karena hikayat semacam itulah, maka jangankan untuk tinggal di asrama Aceh saat kuliah dulu, rupanya melihat asrama itu dari luarnya saja saya jadi segan dibuatnya. Perasaan saya selalu horor ketika melihat asrama Aceh. Orang Aceh menyebut kondisi seperti ini sebagai “geuleungeum.”
Asrama Ponco, adalah salah satu asrama Aceh di Yogyakarta yang paling sering saya lihat. Asrama Aceh ini ada di jalan Poncowinatan. Jauhnya hanya sepelemparan mata kail dari Tugu Jogja yang terkenal itu.
Melihat asrama Ponco ini saya juga merasa geuleungeum. Padahal kejadian teman-teman yang saya ceritakan di muka bukanlah di asrama ini, tapi di asrama Aceh lain di sekitar lembah sungai Code. Tapi rasa geuleungeum saya ternyata memukul rata.
Saya sering melewati depan asrama ini karena letaknya di depan pasar Kranggan. Pasar ini adalah pasar tradisional terbesar kedua di Yogyakarta setelah pasar Beringharjo yang ada di jalan Malioboro.
Saya sering ke pasar Kranggan karena, di saat saya sudah tinggal sendiri di Jetisharjo, saya mulai memasak sendiri untuk pengiritan biaya hidup. Setiap pagi saya pergi ke pasar Kranggan dengan sepeda untuk membeli sayur dan ikan. Kemudian pulang, memasak, dan tahan sampai malam. Begitulah kegiatan saya setiap pagi.
Kesan saya saat melintas di depan asrama Ponco itu adalah, sepi. Saya tidak pernah melihat ada orang di depannya. Sebagai bangunan berpenghuni, saat melintas saya selalu berharap ada satu-dua orang yang lagi mengobrol atau apalah sebagai pertanda ada geliat kehidupan di dalamnya.
Ini karena saya ternyata ingin juga sekadar melepas senyum kepada sesama orang Aceh di rantau ini, sekalipun tidak berencana untuk mampir. Tapi, asrama itu selalu terlihat senyap setiap saya melintas. Mengakibatkan saya selalu meresa geuleungeum dibuatnya.
Sungguh pun demikian, saat orang-orang asli Yogyakarta bertanya tentang asrama tersebut, dengan bangga saya bilang bahwa itu adalah asrama Aceh, sekalipun saya belum pernah masuk ke dalamnya.
Pun sekarang saya juga ikut bersedih manakala hak guna bangunan (HGB) asrama Ponco itu telah digugat, dan celakanya, penggugat itu menang di pengadilan. Ini artinya, asrama Ponco itu akan tamat riwayatnya sebagai salah satu aset Aceh di Yogyakarta.
Sayang, saya hanya orang kecil, hanya bisa bercerita. Tidak lebih dari itu. Dan mungkin akan menarik untuk dibaca di ribuan tahun ke depan oleh anak-cucu kita, bahwa dulu kita punya asrama Ponco di Yogyakarta.
Namun, bagi orang-orang besar Aceh, saya rasa mereka bisa membuat cerita yang menarik dibaca sekarang. Yaitu cerita penyelamatan asrama Ponco Yogyakarta, sekarang juga!
__________
Hasyiah:
Kata "leting" berasal dari bahasa Belanda yaitu "lichting", yang berarti kelas atau angkatan. Tidak ada lema "leting" dalam KBBI yang dimaksudkan untuk angkatan atau kelas, tapi kata ini cukup sering digunakan di masyarakat untuk hal itu.
No comments:
Post a Comment