Dalam seminggu sehari saya pasti agak cepat keluar asrama menuju lab. Hari-hari biasa saya baru masuk lab pada pukul sebelas siang. Dan terus saja tepekur di lab sampai pukul dua belas malam.
Tapi sehari itu, seperti hari ini, pukul sepuluh saya sudah terpacak di lab, lebih cepat satu jam. Dan tentu dengan pakaian yang serba baru dicuci, mengingat di sini saya terkenal jarang ganti baju. Tapi jangan kuatir juga, karena badan saya dijamin aman dari bau tidak sedap ala truk pengangkut getah karet.
Sampai di lab, dengan ransel masih di pundak, saya menghampiri “wastafel bercermin” sebelum ke meja belajar, untuk melihat janggut dan kumis saya sampai semana sudah panjangnya, ternyata sudah bisa dicukur.
Saya bergegas menuju meja belajar, mengambil pencukur jenggot, ke wastafel lagi, dan membabatnya sampai habis. Di samping wastafel itu maka adalah minyak rambut dan sisir punggung rata, sisir khas favorit saya.
Rambut kemudian sedikit saya basahkan dengan raupan air, mencolek minyak rambut, membalurnya perlahan, dan menyisir, maka terlihatlah saya lebih muda lagi sekira sepuluh tahun mundur ke belakang. Tersenyum ke cermin sejenak, setelahnya menuju ke meja belajar, menghidupkan laptop.
Jam digital laptop menunjukkan pukul 10.30. Masih ada waktu setengah jam lagi untuk melalaikan diri di depan laptop. Membuka apa saja yang saya sukai, termasuk melihat Facebook dan sedikit mengintip hasil kerja kemarin malam.
Tak terasa pukul sebelas pun sampailah. Saya mematikan laptop, mengambil botol air kemudian memasukkannya ke saku samping rangsel. Powerbank cum kabelnya, beserta notepad yang berisi buku-buku digital tak ketinggalan pula saya masukkan ke kantong depan ransel.
Dompet, baik untuk uang kertas maupun koin, saya masukkan ke saku celana: dompet uang kertas ke saku kanan belakang celana, sedang dompet koin ke saku kiri depan.
Saya bangkit dari kursi, merengkuh ransel, dan menyelempangkan satu talinya di pundak kiri. Sebelum menyelempangkan tali yang satunya lagi ke pundak kanan, saya melihat ke arah teman Indonesia yang duduk di depan saya, bilang, “Heh, Jumatan, ayo!”
Kawan, betapa kagetnya saya manakala mendengar respons teman saya itu yang begitu santai, “Eh, Bang, santai. Jumatnya masih besok. Hari ini Kamis.”
Duh, sebegitu tuakah saya sehingga nama hari pun sudah saya lupakan? Saya tidak terima ini. Hari ini harus hari Jumat. Tidak boleh salah. “Masa, sih? Bukan hari Jumat?” tanya saya seolah tak percaya.
“Bukan, Bang.” Ia sudah mulai tertawa.
Sedangkan saya sudah mulai malu dan kesal, membuka ponsel pintar, melihat kalender. Di layar depan ponsel tertulis “Thu, April 20”, yang artinya Thusday, April 20. Jelas bahwa hari ini adalah hari K-a-m-i-s.
O, Tuhan. Perasaan saya langsung tidak enak. Sebabnya, hari Jumat di Taiwan ini bagi saya di samping berhasrat untuk menunaikan salat Jumat, juga telah mengkhayalkan bagaimana nikmatnya makan siang di restoran Indonesia di Masjid Besar Kaohsiung olahan tangan Mbak Aling si wanita tangkas dan cantik asal Bangka Belitung itu.
Dua agenda terbesar itu pupus bagai habisnya es diterpa matahari musim panas, meleleh dan menguap tak bersisa. Tapi, saya harus mengatasi ini. Saya tak akan membiarkan diri saya sedih di rantau ini. Karena tanpa itu pun hidup di sini sudah sama sekali tak enak bagi saya. Ingin pulang kampung, tapi belum bisa.
Saya tetap saja memanggul ransel itu dengan sempurna, tidak melepaskannya, dan bilang ke teman saya itu, “Ah, tak apa-apa, lah. Saya akan tetap keluar. Untuk mencari makanan enak.”
Selanjutnya saya pun kabur ke Kaohsiung Main Station, ingin makan masakan Indonesia sepuasnya di sana. Saya keluar dari lab, uap panas menerpa wajah demi pintu lab saya buka. Memang musim panas telah sempurna menancapkan kukunya di Kaohsiung untuk tahun ini.
Tak peduli, saya tetap berangkat. Matahari bersinar terang, membakar apa saja yang ada di bawahnya, termasuk kulitku yang membungkus hatiku yang lagi dirundung galau ini.
Dua barisan gedung melintang di pekarangan kampus telah saya lewati saat tiba-tiba kepala saya sakit, berdenyut. Kulepaskan tali ransel sebelah kanan, ransel kuhela ke depan, merogoh ke dalamnya. Syukur kepada Tuhan Yang Mahakuasa, stok obat sakit kepala saya masih ada walau hanya tinggal satu pil.
Saya membuka kemasannya, mematahkannya menjadi dua. Sayang, patahannya tak tepat di gentingan tengah. Satu patahan, utuh tiga perempatnya. Seperempatnya lain hancur menjadi tepung, tak berwujud.
Karena hanya ingin minum separuh dosis, dengan mengandalkan kuku jempol, saya mencoba mengorek pil itu hingga tinggal separuh benar. Terakhir pil yang tinggal setengah itu pun patah dua. Tak peduli, saya minum saja.
Saya meneruskan perjalanan ke perhentian bus di depan kampus. Sampai di sana, tak seberapa lama maka bus pun datang. Saya naik, duduk manis, menyetel arah angin AC, mengeluarkan notepad, dan membaca buku. Entah berapa menit lamanya, rasanya tak lama sudah sampai saja di Kaohsiung Main Station.
Saat turun dari bus, masih belum tetap pendirian saya akan ke warung mana saya menuju. Akhirnya, setelah sel otakku melakukan rapat kilat, pilihan jatuh pada warung Indonesia Bu Sari yang ada di sebelah barat stasiun. Saya bergegas ke sana. Cuma beberapa tarikan napas maka saya sampai di depan warung itu. Ternyata tutup. Tak mengapa. Masih banyak warung lain.
Warung Lestari adalah pilihan selanjutnya. Tutup juga? Enak saja! Buka, dong. Di situ saya memesan mi ayam yang enaknya sungguh membikin lupa mertua itu. Sementara menunggu mi itu selesai dibuat, saya membaca buku lagi sampai mi itu terhidang mantap di hadapan saya.
Tak butuh waktu lama, saya selesai menandaskannya. Habis bersih. Seandainya peradaban kita menurunkan standar kebersihannya sedikit saja, sungguh mangkuk mi sisa makan saya itu tak perlu dicuci lagi. Sangking begitu bersihnya.
Saya memanggil Mbak Lestari, minta dibuatkan nasi goreng plus mata sapi untuk makan malam. “Dibungkus, ya, Mbak,” teriak saya dan segera di-oke-kan olehnya.
Sungguh tak lama nasi goreng itu terhidang cantik di depan saya dalam sebuah piring lonjong putih susu. Saya melihatnya, protes, “Mbak, saya pesannya dibungkus, lo.” Maka dibungkuslah nasi goreng itu. Tanpa debat.
Saya bergegas pulang setelah membayar, 200 NTD. Namun, belum genap sepuluh langkah meninggalkan pintu warung, saya balik lagi. “Mbak, jual obat sakit kepala, tidak?” teriak saya di muka pintu.
“Eh, tunggu, saya lihat dulu,” jawabnya sambil berjalan menuju meja kasir. Saya ikut melihat ke dalam bungkusan yang dikeluarkan dari lacinya. Syukur, ada. Malah banyak. Saya minta satu bungkus saja, berisi lima tablet, 50 NTD harganya. Eh, penasaran, ya? Nama obat sakit kepala itu adalah Paramex.
__________
Hasyiah:
Mengaco belo adalah berkata-kata tidak keruan; meracau.
No comments:
Post a Comment