Thursday, April 13, 2017

Tomat dan Keakraban Saya di Taiwan

Paling sulit di Taiwan ini, kalau sudah terlalu akrab dengan orang setempat, adalah menolak pemberiannya. Soalnya, cara mereka memberi sesuatu agak unik. Biasanya mereka tak mau mendengar apapun alasan kita dalam menolaknya.

Mereka mungkin menganggap alasan itu sebagai basa-basi saja yang memang seharusnya dilakukan saat orang lain menawarkan sesuatu. Karenanya, apapun alasan kita untuk menolaknya, barang itu akan tetap disangkutkan ke tangan kita.

Kemarin malam (12 April 2017), seperti biasa saya membeli nasi di warung vegetarian di belakang kampus. Namun, manakala sampai di sana pikiran saya berubah. Sehingga saya membeli mi, mi rebus yang segera setelah sampai di lab selalu saya buang kuahnya. Saya tak suka kuahnya. Rasanya aneh, enek.

Sementara menunggu mi selesai dimasak, saya duduk di kursi dan menyambi membaca buku. Sesekali berbicara dengan yang punya warung (Laopan) yang kebetulan sedang duduk di depan saya.

Lima belas menit mi rebus itu selesai. Pelayan mengodekan tangannya ke arah saya. Saya pun langsung bergegas bangkit karena mi rebus itu harus cepat-cepat saya bawa pulang karena kuahnya harus cepat-cepat pula saya buang ke wastafel di lab.

Setelah membayarnya dan bergegas balik badan ke luar warung, tiba-tiba Laopan dari tempat duduknya tadi memanggil. Saya menoleh. Ia kemudian menyodorkan satu kantong keresek berisi tomat-tomat kecil untuk saya.

Saya menolak, bilang tidak usah. Tapi jangankan digubrisnya, ia malah menambahkan sepotong “kue apam dempet berselai di tengahnya” ke dalam keresek tomat itu.

Saya menolaknya tentu bukan main-main dan basa-basi. Kalau kue apam itu oke, lah, saya bisa memakannya. Tapi tomat kecil-kecil itu? Saya, kan, tidak punya kompor untuk memasak?

Duh, akhirnya tomat-tomat yang segede kelereng itu saya ambil saja dan saya bawa pulang ke lab. Nanti rencananya akan saya kasihkan saja ke teman saya yang sudah membawa keluarganya ke Taiwan, untuk dipergunakan seperlunya karena ia punya dapur.

Saya tahu, orang Taiwan berpikir bahwa orang Indonesia itu seperti dirinya, yang menganggap tomat itu sebagai buah-buahan dan dimakan begitu saja seperti mengunyah buah ceri.

Di Indonesia, lebih-lebih di Aceh, tomat itu hanya sebagai pelengkap bumbu masak saja, yang biasanya digiling bersama cabai untuk membuat sambal. Atau hanya dicincang sedikit saja ke dalam sayur-sayur lain dengan tujuan memperoleh keluaran sarinya saja. Dan setelah sayur masak, ia malah dibuang. Tak ikut dimakan.

Demikianlah, tomat itu sempat terlantar selama dua belas jam di lab. Namun, sekarang sudah berpindah tangan ke teman saya, dibawa pulang, dan diolah di mana perlu. Yang jelas, tidak langsung dimakan sebagaimana khayalan Laopan kemarin malam.

Terkait cepatnya keakraban saya dengan orang-orang, saya harus mengakui bahwa sebenarnya saya termasuk orang yang sulit memulai pertemanan, dan juga terkenal dengan sifat menyendirinya.

Tapi uniknya, mereka yang kadong mengenal saya, kok, ya, menjadi cepat akrab. Ini yang kadang membuat saya bingung. Dan parahnya, mereka lumayan cukup cepat mengingat wajah saya. Apakah ini karena wujud saya yang memang unik? Atau tingkah saya yang memang aneh? Tak tahu, lah. Biarkan saja mereka menganggap saya itu seperti apa.

Tapi, kalau sudah terlalu akrab dengan seseorang, saya biasanya akan menyampaikan kepadanya bahwa sifat saya yang membuatnya tertarik, tidak sendirian di dalam tubuh saya. Ada sifat lain yang membuat saya lumayan menjengkel untuk dijadikan teman.

Salah satunya adalah suka menyendiri. Dan kadang juga cepat marah. Tapi jangan kuatir, seiring menuanya saya dan punya anak dua, sifat marah itu praktis sudah menghilang. Malah kadang cepat sedih begitu, melankolis.

Tomat sumbangan Laopan

No comments:

Post a Comment