Sebenarnya warung makan vegetarian ini ada tak lain untuk melayani para biksu dan biksuni Budha yang telah mengikrarkan dalam hidupnya untuk tidak makan hewan dan unsur hewani lainnya. Tegasnya, mereka tidak akan ikut makan dengan cara membunuh makhluk hidup lain.
Malah, pada suatu hari salah satu sumber pernah bilang kepada saya bahwa ada juga para penganut vegetarian yang tidak mau makan makanan selain yang ditanamnya sendiri.
Pasalnya, penggunaan insektisida yang kerap dilakukan oleh petani menyebabkan banyak hewan yang terbunuh di situ. Sehingga hasil panen yang didapatkan dari pembunuhan itu, juga tidak mereka makan. Dan solusinya dengan menanam sendiri.
Namun demikian, ada juga para vegetarian yang malah lebih lunak, yaitu yang membolehkan dirinya untuk makan telur. Karena telur, walaupun berasal dari hewan, belumlah ada nyawa di situ dan juga tidak ada yang terbunuh ketika mendapatkan telur itu. Karena alasan inilah mungkin beberapa warung vegetarian masih menyediakan telur dadar dan mata sapi.
Sekalipun diperuntukkan untuk para vegetarian, uniknya, yang makan di situ bukan hanya para Biksu dan Biksuni saja. Para pendiet daging dengan dalih kesehatan pun ikut meramaikan warung-warung vegetarian itu.
Tentu tak ketinggalan pula, kami mahasiswa Muslim yang tidak boleh makan daging babi dan daging sembelihan non-halal, ikut menghambur mengantre di warung vegetarian dekat kampus bersama para bapak dan ibu yang rata-rata sudah pada uzur. Memang, rata-rata pelanggan warung vegetarian adalah para lansia.
Namun yang membuat saya heran, entah apa sebabnya, sudah hampir empat tahun menjadi pelanggan setia warung vegetarian, sungguh jarang saya melihat para biksu dan biksuni makan di warung vegetarian itu. Ke mana mereka dan di mana mereka makan, apakah mereka malah memasak sendiri? Saya tak tahu.
Sekalipun pernah saya jumpai, tapi cuma beberapa kali saja terlihat mereka makan di warung vegetarian. Dan tentu dengan ikut mengantre bersama kami sebagai penggembira di warung tersebut.
Saya malah sempat berpikir, seharusnya mereka diberi jalur khusus, diberi prioritas, tidak perlu mengantre. Tapi, mungkin sudah menjadi sifat umum orang Taiwan: mengantre itu wajib, siapa pun itu. Termasuk, jika dalam budaya kita Muslim, seorang ulama sekalipun. Tak ada prioritas satu di atas yang lain. Termasuk untuk para Biksu dan Biksuni.
Tambahan pula, warung tersebut, sungguhpun berjenis vegetarian, adalah juga lahan bisnis, yang tentu tetap berorientasi kepada laba. Oleh karena itu, penarikan pelanggan akan dilakukan dengan cara apapun asal masih dalam ruang lingkup vegetarian. Artinya, yang penting diingat oleh si pemilik warung adalah jangan ada unsur hewani dalam hidangannya. Sedangkan berkenaan hal lain, silakan berkreasi.
Maka dengan alasan inilah pada sangka saya, adanya hidangan-hidangan yang dibuat sedemikian rupa sehingga sangat menyerupai daging, padahal bukan. Ia dibuat dari tepung. Tapi rupa dan rasanya sulit dibedakan dengan daging.
Pertama sampai di Taiwan, saya sempat tak berani makan daging bohongan itu yang dibubuhkan ke dalam mi goreng yang saya beli di warung makan vegetarian. Saya tanya pada teman Taiwan asli, dia juga ragu itu daging atau bukan.
Akhirnya, saya putuskan kembali ke warung untuk menanyakannya. Mereka tertawa, bilang itu bukan daging. Dan juga menegaskan setegas-tegasnya bahwa tidak akan ada daging di warung vegetarian.
Mulai saat itulah saya tidak tanya menanya lagi apapun makanan yang dihidangkan di warung makan vegetarian. Saya santap saja semuanya. Apalagi daging bohong-bohongan itu juga gurih rasanya. Cukup untuk menggantikan ikan dan daging asli lainnya yang ada di alam pikiran saya saat makan.
Pertanyaan saya, untuk siapa daging bohong-bohongan itu ada di warung vegetarian? Saya yakin betul itu adalah untuk pelanggan yang sebangsa dengan saya. Bagi para Biksu dan Biksuni dengan ketaatan menjalankan keyakinannya, sungguh ini tidak perlu sama sekali. Mereka tidak perlu dihibur dengan daging bohong-bohongan itu. Kamilah yang perlu dihibur.
Karena bagi saya, daging bohong-bohongan itu sungguh sangat membantu. Pertama, saya adalah bukan vegetarian. Yang kedua, saya adalah orang Aceh. Yang tahu sendiri, tanpa ikan atau daging, tidak akan bisa makan. Paling minimal, telur itu harus ada.
Maka daging-daging bohong-bohongan itu adalah pahlawan saya di Taiwan ini. Dengannya saya bisa makan menu warung vegetarian dengan lahapnya.
Cara saya makannya pun persis sama seperti makan ikan sesungguhnya: makan sesuap nasi, kemudian menggigit ikan bohong-bohongan itu secuil. Karenanya, kadang-kadang sambil makan saya sempat berpikir, sampai kapan kepalsuan hidup ini berakhir? Mudah-mudahan semester ini berakhir.
__________
Hasyiah:
Vegetarian adalah orang yang (karena alasan keagamaan atau kesehatan) tidak makan daging, tetapi makan sayuran dan hasil tumbuhan (KBBI).
Biksu adalah pendeta atau petapa pria (Buddha). Sedangkan Biksuni adalah Biksu wanita (KBBI).
![]() |
Ikan goreng dan daging kari bohong-bohongan dari warung makan vegetarian |
No comments:
Post a Comment