Dia masih saja memaksa. Saya tetap tidak mau. Habis akal, akhirnya ia menyodorkan celengan plastik bentuk boneka gajah duduk berwarna kuning muda dan tembus pandang ke arah saya. Rupanya pengemis!
“Qian? - Uang?” tanya saya sambil mengesek ujung telunjuk dengan jempol.
Ia mengangguk, wajahnya memelas.
“Ngomong dong kalau mau minta uang, " aku membatin sambil mengeluarkan dompet koin dari saku celana dan mengambil dua koin 10 NTD. Saya kemudian memasukkannya ke celengan itu.
Setelah uang saya masukkan, saya menoleh ke wajahnya, tersenyum. Saya hanya mau ia membalas senyum. Tapi, ia malah memaksa saya lagi untuk menerima roti itu. Saya menolak lagi, benar-benar tidak mau.
Lagipula kalau saya terima nanti paling saya tak akan berani memakannya. Saya memang punya kebiasaan takut makan makanan dari orang yang tidak jelas di jalanan, apalagi ini lokasinya di stasiun.
Nanti kalau saya keracunan bagaimana? Tak ada lagi yang mau menulis cerita-cerita tak bermutu seperti ini tiap hari. Kan bosan tiap hari baca berita kasus Pak Ahok terus, ya kan, ya kan?
Tambahan lagi, pengemis ini, maaf, orangnya kotor. Kasihan melihatnya. Bau keringatnya saja menguar memenuhi awang-awang. Kacamatanya, ya Tuhan, yang seharusnya bersih, sudah kotor berkerak serasa tak pernah diusap.
Entah ada manfaat kacamata itu baginya. Tadi, sebelum ia mendekati saya, saya melihat ia membuka kacamatanya ketika ia sedang menelisik seonggok sampah yang tergeletak di pinggir jalan, melihat untuk kemungkinan ada bagian dari sampah itu yang bisa ia gunakan.
Akhirnya saya memang berhasil menolak pemberian roti itu dengan menggunakan cara kyai saya di Aceh ketika ia menolak menerima sedekah dari seseorang: Sedekah itu ia terima dulu, kemudian mengembalikannya dengan cara menyedekahkan balik kepada si pemberi.
“Ya, sedekah kamu sudah saya terima. Sekarang, ini saya sedekahkan lagi kepadamu. Mohon diterima,” begitu cara kyai saya menolak sedekah seseorang.
Saya tadi juga begitu. Walau tidak saya ambil roti itu dulu, saya mendorong ujung jarinya sambil bilang, “OK, ni gei wo le. Xianzai, wo gei ni – Oke, kamu telah memberi kepada saya. Sekarang, saya kasih ke kamu.”
Ini adalah bahasa Mandarin pertama yang terpaksa saya ucapkan dalam bulan ini. Maafkan daku kalau berlepotan. Sungguhpun demikian, ternyata saya berhasil! Ia menarik balik kue itu dan pergi meninggalkan saya. Sepertinya pengemis ini sempat mengaji juga kayaknya. Ah, lupakan. Mana ada pesantren di Taiwan.
Dari kejadian ini minimal saya sadar, bahwa apa yang saya dapatkan di pesantren baik yang tertulis di kitab maupun tidak, seperti cara-cara kyai saya menghadapi orang, ternyata itu berlaku secara universal.
Karena memang manusia awalnya adalah satu, kemudian kawin-mawin, beranak-pinak, pecah berbangsa-bangsa, bersuku-suku, bernegara-negara, yang walaupun tak semuanya, pasti akan mewarisi kesepakatan leluhur yang satu, yaitu sebuah ketetapan yang disetujui secara universal.
Di sisi lain, saya mencurigai metode mengemis dengan cara memberi dulu sesuatu kepada seseorang, kemudian akan berujung pada pemaksaan. Jangan-jangan, jika tadi roti itu saya terima dulu, kemudian saya disodorkan celengan, ia akan tidak mau dikasih seikhlasnya saja.
Tapi, dengan saya kasih 20 NTD sepertinya ia masih untung “banyak”, makanya roti itu tetap dikasihkannya kepada saya, sekalipun saya tolak.
Di pasar Keudee Blangjruen, kota asal saya, di Aceh Utara sana, saya pernah menjumpai pengemis dengan modus yang kira-kira hampir serupa dengan ini: Seorang pengemis datang ke setiap toko meminta sumbangan untuk membeli setumpuk sayur campur di pasar sayur. Kala itu, setumpuk sayur campur seharga dua ribu rupiah.
Seorang pemilik toko yang kebetulan ada saya di sampingnya menolak memberikannya, bilang bahwa itu hanya modus, membuat kita tidak bebas memberinya berapa kita mau, harus dua ribu. “Minta maaf saja!” katanya kepada saya setelah menolak memberi kepada pengemis itu.
Dulu di Jogjakarta ada yang lebih unik lagi. Seorang ibu bawa bayi datang ke rumah-rumah warga minta uang sambil bilang bahwa ia butuh ongkos kereta api untuk pulang kampung. Bayinya digunakan sebagai alat pembangkit iba, sedangkan ongkos kereta api sebagai pemancing agar warga memberi uang dalam jumlah banyak.
Sebelum saya datang di Taiwan ini, saya berpikir bahwa di sini tidak ada pengemis. Ternyata ada! Sekalipun banyak dari pengemis di sini adalah orang-orang sakit jiwa, keberadaan mereka di negeri yang pernah saya impikan sebagai Shangri-la ini cukup membuat saya kaget.
__________
Hasyiah:
Shangri-la adalah sebuah tempat khayalan dan cantik nun jauh di sana di mana kondisi kehidupannya mendekati kesempurnaan (diterjemahkan secara merdeka dari Kamus Merriam-Webster).
Shangri-la adalah sebuah tempat khayalan dan cantik nun jauh di sana di mana kondisi kehidupannya mendekati kesempurnaan (diterjemahkan secara merdeka dari Kamus Merriam-Webster).
No comments:
Post a Comment