Tak enaknya lagi, terkadang saya sudah jauh-jauh keluar tapi harus balik lagi ke lab hanya untuk mengambil sepotong jaket. Dinginnya ternyata sungguh tak tertahan.
Ini terjadi karena saya memang tidak begitu peduli dengan informasi prakiraan cuaca di Taiwan ini. Sebab pertamanya adalah faktor bahasa, mengingat banyak informasi penting disampaikan dalam bahasa Mandarin. Yang kedua, kita memang tidak terbiasa memperhatikan prakiraan cuaca di Indonesia, karena sesudah dibilang hujan, ternyata tidak.
Namun di Taiwan ini tidak demikian adanya. Jika suhu drop tiba-tiba, mahasiswa Taiwan sudah saja berjaket semua di jalanan. Saya, malah masih dengan baju biasa. Akhirnya kedinginan sendiri.
Begitu juga pada musim panas seperti sekarang (Mei), yang mana musim panas di Taiwan itu identik dengan musim hujan. Walaupun hujan datang tiba-tiba, mahasiswa Taiwan sudah saja siap dengan payung-payungnya.
“Menarik. Kenapa mahasiswa Taiwan terlihat begitu siap menghadapi perubahan cuaca ya? Begitu hujan, hampir tak ada dari kalian yang tak membawa payung. Kalian sepertinya sudah siap-siap sebelumnya?” saya bertanya pada teman lab saya, ia anak Taiwan asli.
“Karena dari berita kami sudah tahu bahwa hari ini hujan,” dengan santai teman saya itu menjawab, “Tapi, saya kadang lupa juga membawa payung.”
Kami tertawa.
“Prakiraan cuaca di sini akurat sekali ya? Sehingga kalian begitu yakin akan hujan sesuai prediksi. Payung pun disiapkan, ” saya kagum, bertanya lagi.
Soalnya saya sudah pengalaman juga merasakan keakuratan prediksi cuaca di Taiwan ini, yaitu ketika taifun (angin ribut). Tahun lalu, 2016, pemerintah Taiwan mengumumkan bahwa taifun akan datang ke Kaohsiung pada siang hari sekitar pukul satu siang.
Kantor dan sekolah tetap diaktifkan pada setengah hari pagi. Mulai tengah hari aktifitas kemudian dihentikan. Tepat pukul satu siang, taifun itu datang, sesuai prediksi, mengacak-acak Kaohsiung dengan arah hembusan yang tak menentu. Sebagian besar pepohonan di taman kampus hancur, benar-benar acakadut. Prediksi itu tepat sekali.
“O, iya. Kalau tidak tepat prediksinya, pemerintah akan dikecam habis-habisan. Semua orang akan marah, ” jawabnya, tertawa.
Saya juga ikut tertawa.
Oleh karena itulah, saat hujan mengguyur kota Kaohsiung, saya melihat semua mahasiswa sudah siap dengan payungnya masing-masing. Tak ada yang tidak mengembangkan payung. Jika mereka berjalan bergerombol, begitu indah ditatap. Payung-payung warna-warni itu seolah tepinya kait-mengait antara satu payung dengan yang lainnya.
Di Taiwan ini, tak peduli laki-laki atau perempuan, semua punya payung sendiri-sendiri untuk menghadapi hujan. Di Indonesia, lain lagi adatnya, kepemilikan payung bagi laki-laki ternyata agak aneh, apalagi mahasiswa.
Saya masih ingat dulu ketika masih indekos di Jogjakarta tahun 2003-2005 saat masih kuliah sarjana di UGM. Suatu hari salah satu teman kos melihat saya pergi kuliah menerobos hujan dengan berpayung.
“Man, aku lihat kamu tadi pergi kuliah, pakai payung, ” teman itu berujar saat kami bercengkerama di salah satu rumah kos di bilangan Jetisharjo.
“Kamu punya payung, Man?” teman lain bertanya.
Saya mengangguk, “Iya, itu payungku sendiri. Di awal kuliah saya langsung beli payung.”
“Wah, setahu saya, Man, kamu adalah satu-satunya anak kos yang punya payung sendiri,” mereka tertawa. Saya hanya tersenyum.
Anggapan teman-teman saya kala itu, terlalu lembut bagi seorang anak kos laki-laki mempunyai sebuah payung sendiri.
Ah, peduli amat. Bagi saya yang paling penting adalah, masuk kuliah lancar, hujan tak kan jadi hambatan, dan tidak basah sampai di ruang kuliah. Habis perkara.
Makanya, kalau hujan, saya tetap pergi kuliah dengan berpayung sambil mendayung sepeda balap butut hasil gadaian seorang teman kepada saya.
Di Taiwan ini, tidak seperti mereka mahasiswa asli Taiwan, saya tidak tahu kapan hujan itu datang, karena tak mungkin mengetahuinya melalui berita, maka payung selalu saya bawa serta setiap hari di segala musim.
Tas ransel saya punya kantong samping terbuka di bagian kiri dan kanannya. Kantong sebelah kiri untuk botol air minum, sedangkan yang sebelah kanan untuk payung.
Ke mana pun saya pergi, di musim apapun itu, payung yang merupakan sumbangan teman itu, tak pernah lekang dari tas saya.
![]() |
Parkiran payung di lobi ruang bawah tanah gedung jurusan teknik mesin kampus saya, NKUAS. Yang kuning sebelah kanan paling bawah itu payung saya. |
No comments:
Post a Comment