Terus terang saya belum pernah mengunjungi Museum Aceh yang ada di ibukota provinsi kelahiran saya itu, Banda Aceh. Namun, hari ini (3 Juli 2017) ada yang menarik di hati saya setelah melihat foto unggahan salah satu teman saya di Facebook berupa sebuah batu tulis Museum Aceh berisi nama-nama raja Aceh berdarah Bugis.
Saya penasaran, berapa banyak pengunjung museum ini yang hatinya membersit tanya kenapa ada orang keturunan Bugis yang sempat-sempatnya menjadi raja di Tanah Aceh ini? Yang rajin membaca sejarah Aceh tentu tahu perihal ini. Namun, saya menulis ini bukan untuk mereka, tapi untuk sahabat saya yang memang belum tahu tentang hal ini sama sekali.
Baik saya ceritakan sedikit, tentang masuknya orang berdarah Bugis dalam pimpinan tertinggi kerajaan Aceh Darussalam, sebuah kerajaan Islam di ujung barat Indonesia yang baru saja runtuh di awal abad ke-19 (1874).
Adalah Daeng Mansur, diceritakan bahwa beliau berasal dari bangsawan Bugis Makasar yang alim, yang entah apa yang terjadi beliau terdampar di daratan Pidie. Selanjutnya beliau hidup menyatu dengan masyarakat Aceh yang pada akhirnya berhasil mempersunting putri dari seorang ulama Pidie, yaitu putri dari Teungku Chiek Di Reubee.
Dari hasil pernikahan itu, Daeng Mansur dikaruniai dua orang anak: Putri Suni (dalam beberapa literatur disebut dengan Sani) dan Zainal Abidin, dua anak beribu Aceh-berbapak Bugis Makasar.
Seiring berjalannya waktu, Sultan Iskandar Muda yang memerintah Aceh dari tahun 1607 sampai 1636 yang sanggup membawa Aceh ke titik kegemilangan yang sangat menakjubkan, jatuh hati kepada Putri Suni yang berayah Bugis ini. Sehingga Sultan Iskandar Muda mempersuntingnya menjadi permaisuri. Nah, saat itulah masuknya keturunan Bugis di istana Aceh Darussalam, dimulai.
Selain Permaisuri Puteri Suni, Sultan Iskandar Muda juga memiliki dua istri lagi (dalam beberapa literatur disebut dengan gundik): satu adalah wanita Gayo dan satunya lagi adalah seorang wanita dari Habsyi (Etiopia sekarang).
Dari Puteri Suni Sultan Iskandar Muda dikaruniai anak perempuan yaitu Safiatuddin, dari istri Gayo beliau memperoleh anak laki-laki bernama Meurah Pupok, dan dari istri Habsyi dianugerahi seorang anak laki-laki yang diberi nama Teuku Itam.
Safiatuddin kemudian dinikahkan dengan Thani putera raja Pahang di Semenanjung Melayu yang berhasil ditaklukkan oleh ayahnya. Setelah Sultan Iskandar Muda wafat, kerajaan kemudian dipimpin oleh Thani ini dengan gelar Sultan Iskandar Thani dengan tentunya Safiatuddin sebagai permaisurinya.
Sedangkan Meurah Pupok dari ibu Gayo terbelit masalah hukum setelah dituduh berzina yang kemudian dihukum sampai mati oleh tangan ayahnya sendiri, Sultan Iskandar Muda.
Ada desas-desus, sekalipun secara ilmiah saya belum yakin akan kebenarannya, tapi saya rasa tidak salah untuk diketahui, bahwa Meurah Pupok yang merupakan calon putra mahkota terkuat pada saat itu telah terkena fitnah dengan tuduhan keji itu. Ibunya Thani, yaitu Puteri Pahang, dan bahkan Syeh Nuruddin Araniri, dikabarkan terlibat dalam persekongkolan itu. Maka Meurah Pupok pun meninggal dalam kasus konspirasi itu.
Oleh karena itu, dan juga karena Meurah Pupok berdarah Gayo, bagi orang-orang Aceh suku Gayo yang mengerti sejarah, jika berkunjung ke situs-situs sejarah di Banda Aceh, seharusnya memang menyempatkan diri ke pusara Meurah Pupok yang masih kekal di Banda Aceh sampai sekarang.
Sedangkan Teuku Itam anak dari istri Habsyi, keturunannya tidak ada yang menjadi raja. Tetapi posisinya tetap sangat berpengaruh dalam kebijakan-kebijakan kerajaan, lebih-lebih dalam hal penetapan calon raja-raja Aceh.
Keturunan Teuku Itam lumayan terkenal dalam sejarah Aceh, yaitu apa yang sering kita dengar dengan Panglima Polem, yang berkuasa memimpin Sagi 22 Mukim di Aceh Besar. Raja yang tidak didukung oleh Panglima Polem, tentu bakal sulit tenang di tahtanya.
Sepeninggalan Sultan Iskandar Muda, selama lima tahun Aceh dipimpin oleh Sultan Iskandar Thani, anak tiri sekaligus menantunya. Setelah Iskandar Thani turun tahta pada tanggal 15 Pebruari 1641, Puteri Safiatuddin dinobatkan sebagai penggantinya dengan julukan Sri Ratu Safiatuddin Tajul Alam.
Ratu inilah yang merupakan raja pertama kerajaan Aceh Darussalam dari kalangan perempuan. Dan yang paling penting dalam fokus pembahasan kita adalah, beliau adalah keturunan Bugis pertama yang menduduki jambatan paling tinggi di kerajaan Aceh Darussalam, menjadi Sultanah. Setelah Safiatuddin, Aceh masih dipimpin oleh tiga Sultanah lagi dan kemudian dilanjutkan oleh raja-raja Aceh keturunan dari wangsa Syarif sampai tahun 1727.
Sebagai yang terdahulu bicaranya, bahwa Putri Suni mempunyai saudara laki-laki yang bernama Zainal Abidin. Zainal Abidin yang juga seorang yang tinggi ilmu agamanya kemudian hijrah ke ibukota kerajaan Bandar Aceh Darussalam. Zainal Abidin kemudian mempunyai anak yang bernama Abdurrahim Maharajalela. Selanjutnya Abdurrahim Maharajalela ini mempunyai anak bernama Maharajalela Melayu.
Maharajalela Melayu yang tersebut terakhir itulah yang kemudian pada tahun 1727 dinobatkan oleh Panglima-panglima Sagi sebagai Sultan Aceh dengan gelar Sultan Alauddin Ahmad Syah, yaitu cicit dari Daeng Mansur. Sekaligus ini mengakhiri Dinasti Syarif dalam kerajaan Aceh.
Mulai saat itu, kerajaan Aceh Darussalam terus dipimpin oleh putra-putra keturunan Bugis sampai dengan raja yang terakhir yaitu Sultan Muhammad Daud Syah, yang pada tahun 1903 setelah berjuang mati-matian melawan Belanda, perjuangannya berhasil dikandaskan dengan cara licik yaitu dengan menculik istri dan keluarga beliau untuk tebusan. Dengan itu beliau menyerah kepada Belanda setelah diancam dengan pembuangan istri dan keluarganya jika tidak mau turun gunung.
Dan pada tahun 1907 Sultan Muhammad Daud Syah diinternir ke Ambon karena dituduh melakukan subversif dengan cara menjalin hubungan dengan Kaisar Jepang untuk melawan Belanda. Karena itu, van Daalen (Gubernur Kutaraja kala itu) mengirimnya ke Batavia (Jakarta), sebelum dibuang ke Ambon. Wallahu A’lam.
No comments:
Post a Comment