Sunday, August 6, 2017

Terimakasih, Papaku

Oleh Ridhalul Ikhsan*

Suatu malam di tahun 2012, empat tahun yang lalu, di kedai kopi Cut Nun Lingke, Banda Aceh, cita-cita ini telah kususun rapi. Kala itu aku masih berstatus dokter muda. Targetku adalah, aku harus keluar negeri untuk melanjutkan pendidikan. Tidak tanggung-tanggung, Eropa adalah pilihanku saat itu.

Kala itu pernah terpikir olehku, kenapa tidak sekarang saja? Dengan menjual sepeda motor Honda Supra 125 Injection yang kupunya, itu menurutku cukup. Tentu, tidak kurang dari 15 juta rupiah bisa kudapat dengan status motorku yang masih “perawan” itu.

Berangkat dengan kombinasi metode cari tumpangan (hitchhiking) dan ranselan (backpacking) merupakan jurus jitu bagi penekat dengan segala konsekuensi logis yang sudah kuperhitungkan.

Mungkin, untuk metode hitchhiking dan backpacking ini kita dapat mengambil contoh sederhana dari dua turis Rusia yang ditangkap di Lhokseumawe Sabtu lalu, 15 Juli 2017.

Dengan menumpang mobil sayur satu ke mobil sayur lainnya, akhirnya mereka ditemukan tertidur di depan sebuah panglong kayu. Cukup tragis memang, tapi itu adalah sebuah konsekuensi logis nan menantang.

Keinginanku tersebut tidak hanya berorientasi pada happy life, bersenang-senang. Tentu tidak semurahan itu juga mimpiku, Kawan. “La wong cuma mimpi, kenapa tidak aku pasang harga yang tinggi saja tetapi harus logis, ” Pikirku. Maka tanpa perlu bertengkar dengan isi hayalanku, sudah jelas targetku, yaitu sekolah.

Setelah menamatkan Pendidikan Dokter dan lulus Ujian Kompetensi Dokter Indonesia (UKDI) pada 2013, aku memilih kabupaten Aceh Barat Daya (Abdya) sebagai wahana Internship. Internship ini merupakan program yang diwajibkan oleh Kementerian Kesehatan bagi fresh graduate untuk pemantapan paparan kasus-kasus di fasilitas kesehatan (faskes) pertama.

Selama internship, ketertarikanku akan penyakit dalam tumbuh bak cendawan di musim hujan, hampir tidak bisa kubendung. Terutama karena paparan kasus-kasus sulit yang memberikan pengalaman dan tantangan tersendiri.

Nah, di saat ber-internship inilah kebimbangan melandaku. Apakah aku akan melanjutkan studi profesi (spesialis) atau ilmu murni (master)? Setelah berpikir panjang dan menyambangi laman demi laman, aku putuskan melanjutkan studi ilmu murni dahulu, dan setelah itu baru profesi. “Alah, aku ingin melihat dunia dulu,” pikirku.

Satu minggu kemudian, aku mendapat kabar gembira bahwa aku diajak oleh pemerintah Abdya untuk menjadi tim kesehatan dan mendampingi delegasi Abdya pada perhelatan akbar Pekan Kebudayaan Aceh (PKA). Semangatku meletup. “Ini adalah tiket pertama, ” pikirku. Tanpa menunggu lama, aku menghubungi Papaku dan kusampaikan kabar gembira itu. Di akhir pembicaraan, kusampaikanlah hasratku untuk melanjutkan studi ke luar negeri.

Pertanyaan pertama Papaku adalah kemana? Universitas apa?

“Inggris, Birmingham University,” jawabku.

“Lalu subjeknya apa?”

“Ilmu kanker atau Imunologi, kekebalan tubuh”

“Kenapa subjek ini?”

“Agar linier dengan penyakit dalam”

“Apa rencana pertama?” Papaku lanjut bertanya.

“Rencananya, saat di Banda nanti, saya akan mengatur satu waktu di sela jam makan siang, untuk makan bersama dengan alumni Birmingham. Banyak hal yang bisa saya diskusikan dengan beliau”

“Mantap, silakan, ” jawab Papaku di ujung telepon sana.

Setelah mengakhiri pembicaraan, maka persiapan sederhana pun kumulai. Waktuku tinggal tiga hari menuju hari keberangkatan.

Di saat aku sedang tidak ada tugas jaga, di kantin Pak Rajab, tiba-tiba Papaku menelepon. Seperti biasa, hal yang pertama ditanya adalah: “puhaba–Apa kabar?”, “Kiban sehat, Neuk–Bagaimana, sehat, Nak?”, “Bagaimana persiapan ke Banda?”, dan beberapa hal-hal ringan lainnya.

Sejurus kemudian pembicaraan kami memasuki tema sekolah ke luar negeri. Diskusi ringan penuh gelak tawa pun dimulai. Hal yang paling kuingat adalah, pertama Papaku bertanya bagaimana persiapan bahasanya. Saya bilang bahwa aku akan les privat bahasa selama enam bulan di Malaysia atau di kampung Inggris di Pare. Papaku bilang, itu masuk akal.

Kedua, Papaku bertanya perihal pendanaan. Saya bilang bahwa saya akan mendaftar ke lembaga donor beasiswa Chevening. Lembaga donor ini milik pemerintah Inggris yang secara rutin memberikan beasiswa kepada calon mahasiswa S2 atau S3.

Papa lanjut bertanya tentang bagaimana peluang mendapatkannya. Dengan suara pelan saya bilang bahwa itu sangat sulit. Seorang senior bercerita, dia harus bertarung selama tiga tahun untuk mendapatkan beasiswa ini. Dan lembaga donornya sendiri pun sudah menyarankan untuk merubah subjek yang dia pilih.

“Kenapa, ” tanya Papa.

“Ini karena lembaga donor kebiasaannya sangat susah memberikan funding pada subjek-subjek kedokteran. Beberapa cerita dari teman-teman di internet pun demikian.”

“O, begitu, “ dengan nada lemah Papaku menjawab.

Aku sendiri masih mencerocos, memberikan tawaran-tawaran baru nan masuk akal ke pada Papaku. Hingga akhirnya Papaku bilang, “Nak, terlalu besar usaha dengan konsekuensi yang tidak terpetakan. Bila kegagalan demi kegagalan dialami konsekuensi ada dua: pertama usiamu berjalan terus. Dan kedua, ini akan berefek kepada psikologismu.”

“Bagaimana bisa, Pa?” potongku.

“Neuk, kamu itu punya semangat yang besar. Papa tahu, apa yang kamu impikan itu akan kamu perjuangkan habis-habisan. Neuk, kamu itu hanya siap untuk menang, tapi kamu tidak siap untuk kalah.”

Di saat Papaku mengucapkan ini, sontak aku terdiam, aku hanya menjawab, “Iya, Pa. Iya, Pa.”

“Oke, saat ini Papa tanya apakah engkau masih menyukai penyakit dalam?”

“Masih, ” jawabku.

“Seberapa kuat?”

“Sama kedua-duanya. Kedua subjek tersebut sangat saya impikan dalam usia muda ini, Pa. Termasuk prestisenya itu, Pa.” Kami berdua tertawa.

“Iya, ya, tahu,” timpal Papaku.

Tetapi saya sadar usaha dan konsekuensi seperti yang Papa sampaikan memang benar adanya. Nah, di saat ini aku sudah mulai tenang dan sikapku mulai melunak.

Singkat cerita, aku dan Papaku “deal” untuk memilih pilihan pertama, pendidikan spesialis ilmu penyakit dalam di Fakultas Kedokteran Unsyiah, dan mengarahkan seluruh persiapannya kesana. Sedangkan studi ke luar negeri sebagai pilihan kedua.

Setali dua tali obrolan kami terus berlanjut, yang tali-tali tersebut sudah mulai saling berajut. Maksudnya adalah, tidak ada benturan ide lagi antara aku dan Papaku. Ibarat rally car, mobil balap, aku sebagai pembalapnya, dan Papaku sebagai navigatornya.

Sebelum menutup pembicaraan kami berdua, ada satu hal yang diucapkan oleh Papaku yang membuatku tidak mampu menulis gambaran emosinya di sini. Di akhir pembicaraan, Papaku menyampaikan satu hal, “Neuk, dari semua percakapan panjang ini, Papa tahu dengan jelas ke mana tujuan mimpimu. Eropa!”

Tidak berselang setengah detik, aku langsung tertawa terbahak-bahak. “Bagaimana Papa tahu?”

“Neuk, kamu itu anakku, dengan jelas isi kepalamu Papa tahu. Oke, berangkatlah ke Banda, cari semua informasi tentang penyakit dalam. Bila kamu telah berhasil kelak, Eropa itu bukan hal mustahil.”

Setelah mengakhiri pembicaraan tersebut, maka secara spontan peta kegiatan di Banda Aceh kurubah dan persiapannya dimulai. Alhamdulillah, satu tahun kemudian, tepat pada tanggal 1 Juli 2014, aku mendapatkan NIM baruku di program studi pendidikan dokter spesialis Ilmu Penyakit Dalam FK Unsyiah.

***

Papa, dari kota ini, aku ingin mengenang kembali percakapan kita berdua malam itu, empat tahun yang lalu. Tahukah engkau, Papa, di saat aku menyelesaikan oral presentation-ku, aku berjalan ke koridor luar dan dari lantai 23 Central World, kuangkat tinggi jas dan tas pemberian mama melambung.

Di dalam hati aku bergumam , “Hari ini cita-citaku telah tercapai. Papa, dari kota ini seakan-akan Eropa itu selangkah lagi bagiku. Seakan-akan telah kulihat gedung-gedung pencakar langit itu berjejer rapi nan tinggi menyapaku.”

Terima kasih, Papa, atas nasihatmu empat tahun yang lalu. Mimpiku ke luar negeri dalam agenda pendidikan tercapai sudah.
__________
*Dokter muda spesialis Penyakit Dalam asal Blangjruen. Ditulis di Bandara Don Muaeng, Bangkok, Thailand, 5 Agustus 2017.

No comments:

Post a Comment