Tuesday, September 5, 2017

Transkripsi Bahasa Aceh

Jika bukan orang Aceh, saya yakin Anda tidak akan mampu membaca dengan benar transkripsi bahasa Aceh yang selama ini ditulis baik dalam huruf Latin maupun dalam huruf Arab Jawi (Jawou).

Hal ini karena kedua sistem huruf tersebut secara utuh, tanpa modifikasi, digunakan untuk menulis bahasa Aceh yang memiliki fonetik yang jauh lebih ruwet dibandingkan bahasa Indonesia dan bahasa Arab.

Sebagai contoh, ada sebuah kampung yang bersebelahan dengan kampung saya di Blangjruen di mana namanya ditulis dengan huruf Latin sebagai "Rayeuk Meunye".

Anda tentu jangan percaya diri dulu dengan mengaku bisa membaca dengan baik dan benar nama kampung ini dengan menggunakan sistem penulisan bahasa Indonesia, karena pengucapannya ternyata jauh dari tatabaca yang kita pahami dalam bahasa Indonesia.

Rayeuk Meunye dilafalkan oleh kami sebagai "Rayok Munje", di mana "o" diucapkan seperti dalam kata "home" dan "e" seperti dalam kata "beg" dalam bahasa Inggris. Yang lebih unik lagi di sini adalah ternyata huruf "y" dibaca sebagai "j" dalam bahasa Indonesia.

Terkait "y" ini saya tak tahu apakah ini berasal dari kesalahan ejaan pada awal penulisan nama kampung ini dulu, yang kemudian diwariskan kepada generasi sekarang, serta dikekalkan penggunaannya oleh administrasi negara? Tentu ini hanya para tetua yang tahu.

Terlepas dari masalah "y" ini, memang penulisan bahasa Aceh sepertinya belum diatur sedemikian rupa sehingga mampu mewakili fonetik-fenetik ruwet dalam bahasa Aceh.

Selama ini kita selalu meminjam huruf Latin dan Arab untuk menulis bahasa Aceh yang fonetiknya sama sekali jauh berbeda dari kedua bahasa itu. Walhasil, bahasa Aceh yang kita tulis itu, hanya orang Aceh sajalah yang mampu membacanya. Yang lain tidak.

Padahal maksud tulisan itu adalah agar ia bisa dibaca oleh siapa pun, baik penutur Aceh sendiri maupun orang asing yang tidak pernah mengenal Aceh sama sekali.

Hal inilah yang membuat Prof. Snouck Hurgronje yang berlidah Belanda ketika meneliti masalah Aceh, harus membuat transkripsi baru dalam huruf Latin dengan beberapa tambahan modifikasi untuk mewakili fonetik-fonetik Aceh. Dan transkripsi inilah yang digunakan oleh peneliti-peneliti selanjutnya ketika menulis bahasa Aceh.

Karena Prof. Snouck bukan orang Aceh, tentu traskripsi tersebut masih kurang di sana-sini. Sebabnya adalah ia hanya mampu membandingkan fonetik-fonetik Aceh dengan bahasa-bahasa Eropa yang dikenalinya.

Dalam hal ini, orang Jawa sangat beruntung karena mereka memiliki huruf sendiri untuk menulis bahasanya, yang dikenal dengan "honocoroko". Walaupun dalam penggunaan sehari-hari untuk pesan-pesan elektronik mereka tetap menulis dengan huruf Latin, tapi paling tidak mereka sudah punya.

Saya tak tahu persis institusi apa di Aceh yang berhak membuat transkripsi yang representatif (mewakili) untuk bahasa Aceh. Tapi untuk sementara bolehlah kita tujukan tanggungjawab ini kepada Lembaga Bahasa untuk mengurus hal ini. Saya rasa ini mendesak, sebelum bahasa Aceh kita ini punah.
_________
20 Agustus 2017

No comments:

Post a Comment