Tuesday, December 19, 2017

Doktor, Tukang Tambal Ban, dan Bergek

Beberapa hari yang lalu, saat menyambangi rumah ibu di Blangjruen sehabis magrib, begitu pulang ban sepeda motor kesayangan saya, Jupiter MX, bocor. Angin ban belakang habis total. Saya memompanya untuk sekedar bisa saya naiki sampai ke bengkel terdekat.

Maunya, saya hanya menambalnya di bengkel terdekat di pasar Blangjruen. Tapi ternyata malam itu bengkel yang biasanya buka sampai larut malam, malah tutup. Akhirnya motor saya kebut sampai ke Simpang Rangkaya yang jaraknya sekitar sekilometer ke selatan pasar Blangjruen.

Sukur, di sana tukang tambal ban masih buka. Motor saya sorong ke situ. Saya duduk di sebuah bangku panjang yang kayaknya khusus disediakan untuk pelanggannya yang menunggu. Malam itu saya tak membawa ponsel. Otomatis pikiran saya melayang ke mana-mana.

Saya menatap tukang tambal ban itu yang sedang menggerayangi motor saya. Entah apa sebabnya, tiba-tiba sifat narsis saya muncul. Tiba-tiba saya yakin betul bahwa tukang tambal ban itu mengenal saya.

"Siapa yang tak kenal saya di Blangjruen ini? Tak mungkin ada orang yang tak mengenal saya. Tak mungkin. Doktor satu-satunya sepanjang sejarah Blangjruen. Lulusan luar negeri lagi, " saya mengoceh tak karu-karuan dalam lamunan saya.

Tukang tambal ban sudah menemukan lubang di ban motor saya. Bocor halus. Butuh waktu sedikit lebih lama baginya untuk mendapatkan lubang halus itu. Kemudian setelah dikikisnya daerah bocor dengan kertas pasir dan membubuhi lem ke atasnya, ia menekan dengan pemanas elektrik, maka selesailah setahap pekerjaannya itu.

Sembari menunggu, ia ikut duduk bersama saya di kursi panjang. Setelah sedikit mengobrol pembuka dengan materi yang tak begitu penting, akhirnya ia bertanya, "Anda ini... yang mempunyai abang yang jualan emas di pasar Blangjruen ya?"

"Buset !, "saya kaget dan, dalam hati, menyerapahi diri sendiri dengan kesal, "Duh, ternyata dia tidak mengenal saya sama sekali! Sejak kapan abang saya buka toko emas?"

Tapi saya tidak marah. Cuma menyesali diri saja karena terlalu yakin bahwa saya dikenal banyak orang. Namun kenyataannya tidak demikian. Banyak sekali orang yang tidak mengenal saya. Menyadari itu, saya langsung turun tingkat dengan memperkenalkan diri saya dan keluarga saya kepadanya sampai ia betul-betul mengenal saya.

Di pasar Blangjruen, kita tak butuh kalkulator untuk menghitung berapa jumlah toko emas yang beroperasi di sana. Jumlahnya cuma empat: Masco Jaya, Hidup Damai, Hidup Damai Baru, dan ada satu lagi saya lupa nama tokonya.

Ini artinya, saya dikira sebagai anggota keluarga salah satu para pemilik toko emas itu. Kalau bukan keluarga Masco Jaya, berarti keluarga Hidup Damai, atau Hidup Damai Baru, atau keluarga pemilik toko emas satunya lagi. Hihihi, padahal setelah berkaca bolak-balik, saya sama sekali tak ada mirip-miripnya sama mereka.

Tapi okelah, tak apa-apa. Paling tidak, ia telah menaruh pilihan bahwa saya berasal dari keluarga berada. Itu artinya, gaya saya malam itu memang sudah mirip orang kaya. Secara wajah juga ga jelek-jelek amat. Malah masuk ke dalam kategori ganteng. Eaaa! Eaaa! Eaaa!

Tapi kalau mau jujur setelah saya merenung, jangankan di luar, di dalam institusi tempat saya bekerja saja banyak juga orang yang tidak mengenal saya. Sehingga saya kadang harus memperkenalkan diri kepada mereka.

Memang, beberapa hari setelah saya pulang selesai doktor dari Taiwan, agak sedikit heboh, saya bak artis. Lumayan, karena lulus S3 agak cepat sedikit, katanya. Mungkin gegara itulah di awal-awal tiba di tanah air saya sering diajak kegiatan ini-itu di tempat saya bekerja. Setelah saya mengangguk setuju, eh, ternyata tak ada kabar lagi, sekalipun hanya kabar pembatalan. Padahal saya sudah mencari informasi sana-sini perihal kegiatan itu agar tidak kagok ketika ikut bekerja kelak.

Syahdan, suatu hari, pas saya turun dari ruang dosen ingin pulang karena tak tahu apa yang akan saya kerjakan lagi di kampus, tiba-tiba dari sela-sela parkiran mobil ada suara yang memanggil-manggil nama saya.

Saya menoleh, ternyata Heri. Seorang Polisi muda yang dulu pernah satu pesantren dengan saya di Dayah Alhilal Aziziyah Nibong. Tubuhnya sekarang tinggi besar. Tak seperti dulu yang agak kurusan.

Yang menarik adalah, ternyata ia bersama dengan grup artis Aceh Bergek yang begitu tersohor sekarang di Aceh. Mereka sedang shooting sinetron di depan institusi saya.

Saya mengobrol sejenak dengannya, kemudian menoleh ke arah Bergek dan sekelebat kemudian menatap lagi wajah Heri, bertanya, "Heri, aku mau berfoto bareng Bergek. Bisa tak kira-kira?"

"Bisaaa !," ponsel saya disabetnya sambil memanggil si Bergek untuk berfoto dengan saya. Kalau tak salah, ia sempat memperkenalkan saya kepada Bergek yang direspons oleh artis itu dengan tersenyum ringan ke arah saya. Saya membalasnya dengan tersenyum juga.

Tentu, perasaan Bergek beda dengan saya pada saat di depan tukang tambal ban tadi itu. Bergek pasti yakin betul bahwa saya mengenalnya sebagai artis Aceh, bukan sebagai anak tukang emas, tukang kebun, tukang kaleng, maupun tukang pangkas. Sebab ia memang benar-benar terkenal, tidak seperti saya.
Saya bersama Bergek di area parkir Politeknik Negeri Lhokseumawe

No comments:

Post a Comment