Wednesday, April 18, 2018

Merengkuh Hikmah Aforisme Ibnu Atha'illah R.A. Bersama Abu Mannan

Minggu yang lalu saya terpaksa absen dari pengajian asuhan Abu Mannan di Masjid Annur Blangjruen karena harus pergi ke Banda Aceh. Kala itu yang dikaji adalah kitab fikih. Sementara minggu ini, 14 April 2018, jatahnya kajian ilmu tasauwuf. Begitulah materinya diselang seling setiap minggu.

Kitab tasauwuf yang dikaji adalah syarah Hikam buah karya Syaikh Ibnu Atha'illah R.A. yang cukup terkenal itu. Kitab ini menjelaskan dan mengupas makna dari aforisme-aforisme Ibnu Atha'illah yang berupa kalimat atau pernyataan singkat serta padat tentang sikap hidup dan kebenaran. Jumlahnya ratusan aforisme.

Saya tadi malam sebenarnya agak bingung mendengar penjelasan Abu Mannan karena itu adalah malam pertama saya mengikuti pengajian ini. Hal ini karena aforisme yang dibahas tadi malam ada sangkut pautnya dengan aforisme sebelumnya di mana saya belum ikut gabung dalam pengajian.

Aforisme sebelumnya jika saya terjemahkan secara merdeka kira-kira sebagai berikut: "Mengetahui keterlibatan hawa nafsu dalam perbuatan maksiat itu mudah sekali karena jelasnya. Sementara keterlibatan hawa nafsu dalam perbuatan taat sulit diketahui karena samarnya. Oleh karena itu, usaha untuk mengenyahkan hawa nafsu dalam perbuatan taat, cukup sulit."

Dalam perbuatan maksiat, hawa nafsu jelas sekali perannya. Misalnya, dalam syariat dilarang berzina, tapi dia malah jadi pelanggan para PSK. Jelas, itu adalah hawa nafsu. Dalam syariat dianjurkan salat lima waktu, tapi ia malah asyik mengobrol sampai lupa salat. Jelas, ini pula hawa nafsu. Dan masih banyak lagi pelencengan-pelencengan dari garis syariat yang merupakan penurutan hajat dari hawa nafsu.

Namun, giliran dalam hal perbuatan taat, keterlibatan hawa nafsu menjadi samar, sulit dideteksi. Padahal ia sering bercokol di dalamnya. Karena sangking samarnya, maka ia sulit diobati. Di mana keterlibatan hawa nafsu dalam perbuatan taat? Yaitu pada kemunculan sifat riya dalam ibadah kita.

Oleh karena itu, Ibnu Atha'illah menulis aforisme selanjutnya yang berbunyi kira-kira: "Terkadang masuknya riya dalam amal ibadah kita dari arah yang tidak dilihat orang." Aforisme ini mengajarkan kita bahwa riya itu ada dua macam. Ada "riya jelas" di mana riya itu timbul di saat kita beribadah dengan disaksikan orang. Ada pula "riya samar" yang timbul sekalipun kita beribadah seorang diri, namun kita tetap ingin dipuji dan disanjung orang atas ibadah kita itu. Riya yang tersebut terakhir inilah yang disinggung oleh Ibnu Atha'illah dalam aforisme di atas.

Riya samar ini tak lain adalah akibat dari bisikan hawa nafsu dan bisikan setan yang menjalar ke seluruh tempat dalam tubuh anak Adam sampai di mana darah dapat menjangkaunya. Salah satu jalan untuk menyempitkan aliran bisikan setan ini adalah lapar dan dahaga. Hal inilah yang merupakan salah satu hikmah dari berpuasa.

Adanya bisikan hawa nafsu dan bisikan setan dalam hati yang mengakibatkan terjadinya "riya samar", adalah sebagai petunjuk atas ketiadaan "sidiq/jujur" yang bertugas membentengi hati kita dari berharap selain Allah di dalam beribadah (sidqul ubudiyah). Dengan ketiadaan sidiq ini, maka timbul penyakit hati sebab disaput hijab yang muncul karena ketiadaan ikhlas dalam beribadah.

Orang-orang yang sempurna imannya berkata, dalam segala hal kita dituntut untuk selalu mengusahakan hati agar selalu tertuju kepada Allah semata.

Oleh karena itu, kita wajib menghilangkan riya dengan menghadirkan ikhlas di dalam hati, menyingkirkan ujub (bangga diri) dengan memandang bahwa apa yang kita punyai semata-mata hanya karunia Allah, dan membuang tamak dengan menghadirkan tawakal. Semua yang tersebut ini, adalah cara untuk menggugurkan keiinginan kita yang senantiasa berharap penglihatan orang (tilik hamba) atas ibadah kita.

Ibnu Sahal R. A. berkata bahwa tidak akan sampai manusia itu kepada hakikatnya yang tersembunyi sebelum gugur padanya harapan untuk dilihat orang dalam ibadahnya, sehingga yang diharapkan hanya penglihatan Allah semata.

Karenanya, jika riya, ujub, tamak, dan "harapan untuk dilihat orang dalam ibadah" tidak ada lagi dalam hati kita, maka tidak berpengaruh apakah ibadah kita disaksikan orang atau tidak. Karena hati kita sudah bersih. Namun, jika hati kita masih dikuasai penyakit-penyakit di atas, maka timbullah riya sekalipun pada ibadah yang tidak dilihat orang.

Selanjutnya Ibnu Atha'illah melanjutkan aforismenya: "Kuatnya keinginan agar keistimewaanmu diketahui orang, pertanda kamu tidak jujur dalam ibadahmu." Ini mengisyaratkan kepada kita bahwa derajat kesempurnaan kita tercerabut, karena dalam ibadah kita berpaling dari harapan penglihatan Allah kepada penglihatan makhluk atau hamba.

Untuk memperjelas batasan riya, Syaikh Fadzil R.A. menyatakan bahwa beramal karena manusia, itu dinamakan riya. Sementara tidak beramal karena manusia, itu dinamakan syirik. Ini sungguh menggelikan kita semua jika kita lihat tingkah kita sehari-hari dalam beribadah.

Betapa tidak. Tak ingin beramal karena takut disebut riya oleh manusia, justru itu malah menurunkan kita menjadi syirik. Bukan menyelamatkan kita dari riya! Lebih jelas lagi, contohnya, berdiri di saf depan agar dikira taat oleh orang, itu adalah riya. Berdiri di saf belakang agar tidak dianggap riya oleh orang, itu adalah syirik.

Terus bagaimana kita menyelamatkan diri dari kedua masalah itu semua? Syaikh Fadzil meneruskan, caranya hanya dengan ikhlas. Mau di saf depan atau di belakang, tak masalah, yang penting bukan pandangan manusia yang kita harapkan, tetapi hanya pandangan Allah. Itulah ikhlas.

Selain Syaikh Fadzil R.A, sebenarnya masih ada beberapa ulama lagi yang memberi komentarnya terhadap aforisme-aforisme yang telah kita sebutkan itu. Cuma saja tidak kuat juga saya ketik semua di sini. Ini saja sudah linu jempol saya. Wallahu A'lam Bissawab.

Sampai jumpa minggu depan!
Suasana pengajian Syarah Hikam bersama Abu Mannan di masjid Annur, Tanah Luas, Blangjruen, Aceh Utara.
___________
15 April 2018

No comments:

Post a Comment