Wednesday, April 18, 2018

Tingkat Konsumsi Listrik dan Earth Hour

Bahkan, sekarang saja di saat tulisan ini saya ketik, di Blangjruen, tempat kelahiran saya, listrik sedang mati. Alasannya sungguh bisa diterima: "Sedang ada perbaikan, " kata seorang petugas PLN yang kebetulan lewat di depan rumah saya.

Saya jadi ingat ketika dulu belajar matakuliah Mesin Kalor di Universitas Gadjah Mada bersama Prof. Harwin Saptoadi. Dalam satu pertemuan beliau pernah menjelaskan tentang konsumsi energi (dalam hal ini energi listrik) untuk tiap-tiap negara di dunia.

Seingat saya, kala itu, Amerika Serikat menduduki peringkat pertama paling banyak mengkonsumsi energi, kemudian baru diikuti oleh negara lain. Indonesia, tentu masih jauh di bawahnya.

Yang jadi menarik adalah, Prof. Harwin menyatakan bahwa tingkat kemajuan suatu negara bisa dilihat dari jumlah konsumsi energinya. Artinya, makin maju sebuah negara, maka makin besar pula tingkat konsumsi energi. Dan begitu juga sebaliknya.

Indonesia, provinsi Aceh lebih-lebih, tanpa perlu mengecek terlalu detil, kita sudah dapat mengetahui bahwa jumlah konsumsi energi per kapitanya pasti rendah sekali. Ini artinya, kemajuan daerah kita tidak perlu ditanya lagi, pasti bobrok.

Di sini, listrik masih bergiliran dimatikan pada beban puncak, karena dayanya sudah tidak mencukupi lagi. Ini belum lagi pematian untuk alasan perawatan seperti hari ini, yang dengar-dengar sampai setengah hari pula matinya.

Pendeknya, kata maju untuk kondisi penyediaan energi seperti ini adalah benar-benar "ceet langeet" (mengecat langit), suatu cita-cita yang mustahil tercapai.

Betapa tidak, dengan berjam-jam masyarakat hidup tanpa energi listrik, kemajuan macam apa yang bisa kita harapkan akan timbul dari masyarakat gelap seperti ini?

Oh, mungkin ada yang bilang begini: "Ah, dasar tidak kreatif, kalau kreatif, mau ada listrik atau tidak, tetap saja bisa berkembang." Dek, Pak, Bu, kalau itu yang kamu bilang, itu artinya kreatifitasmu levelnya masih primitif.

Untuk menyelesaikan sehelai baju dalam waktu tiga hari itu tidak perlu listrik. Cukup banyak-banyak minum kopi luak saja, biar ga ngantuk. Tapi ketika seribu helai baju harus selesai dalam satu hari, itu tidak cukup hanya kopi luak saja, butuh energi listrik, yang akan menggerakkan alat-alat sebagai pengganti tangan dan kaki manusia yang lemah gemulai ini.

Berangkat dari kenyataan ini, saya, kok, jadi heran, ya, dengan adanya peringatan Earth Hour di Aceh? Pasalnya, kita sudah hampir tiap hari Earth Hour, listriknya mota-mati terus. Lah, sekarang ini lampu lagi mati. Earth Hour lagi, kan?

Tapi orang Amerika dan beberapa negara maju lainnya sangat cocok dengan upacara ini. Soalnya mereka enggak pernah mengalami mati lampu. Earth Hour, itulah saatnya mati lampu. Bila perlu, satu kota matikan lampu semua. Kota gelap. Mereka bergembira. Bisa melihat bintang di langit yang selama ini disaput polusi cahaya.

Kita? Dapat apa? Bahan tertawaan dari mereka yang tidak pernah mati listrik!
__________
25 Maret 2018

No comments:

Post a Comment