Lhoksukon semestinya sumringah karena statusnya meningkat lagi, setelah pensiun dari status Onderaffdeling di zaman Belanda atau Gun pada zaman Jepang, menjadi ibukota sebuah kabupaten yang dulu sempat kaya raya. Petrodolar.
Namun, alih-alih tersenyum, wajahnya malah sekarang terlihat kuyu. Suram. Tak berseri. Sebabnya tentu adalah yang sama kita tahu, tiap akhir tahun, kotanya menyuruk ke bawah air. Banjir. Dari luapan sungai Keureutoe. Sungai yang dulu manis bagai puteri baru pulang dari pemandian, tapi sekarang menjadi ganas menakutkan.
Dulu, sungai adalah sumber kehidupan. Sungai adalah jalur transportasi. Malah, sungai adalah sebagai simbol kenikmatan surga (tajri min tahtihal anhar). Maka ketika banyak desa dan kota terbentuk di pinggir sungai, jangan tanyakan mengapa.
Namun siapa tahu, ratusan tahun setelahnya, sekarang, sungai menjadi petaka. Kebalikan dengan dulu, sekarang orang merasa bersyukur tidak ditakdirkan tinggal di pinggir sungai. Terbebas dari banjir yang bukan hanya merenggut harta, malah bisa-bisa nyawa. Banjir dalam dasawarsa ini memang sudah cukup meresahkan.
Tidak sampai berganti satu generasi. Orang-orang tua di sekitar kami masih hidup. Mereka masih bisa bercerita bagaimana sungai di masa muda mereka, jernih. Tapi sekarang keruh. Sungai membawa serta tanah dari dataran tinggi Aceh. Begitu cepat berubah.
Endapan lumpurnya memenuhi sungai, menyebabkan dangkal. Daya tampung airnya berkurang. Meluap. Banjir. Dipasangi tanggul. Endapan lumpur bersaing meninggi, mengakibatkan sungai melayang di atas kota. Hanya soal waktu saja, kita tidak akan berani lagi tinggal di pinggir sungai, yang bukan lagi di bawah letaknya, tapi di atas.
Sungai itu terbentuk dengan hukum alam. Air mengalir dari atas ke bawah. Dari dataran tinggi ke dataran rendah. Dalam perjalanannya, kadang ia harus berbelok ke kanan karena di sana lebih rendah. Begitu juga jika sebelah kiri rendah, ia akan berbelok ke kiri. Karena tanah tidaklah rata, maka sungai akan berbelok-belok mengikutinya.
Maka, untuk mengatasi banjir, jangan pernah berencana untuk meluruskan sungai. Itu hanya akan mampu mengekspor banjir dari hulu ke hilir. Bukan menghilangkannya. Ditambah lagi jika banjir datang ketika di muara sedang pasang naik, maka laut baru menerima kiriman air beberapa jam kemudian ketika pasang surut.
Secara ilmiah yang saya pahami secara umum, mengingat saya hanyalah seorang doktor teknik mesin, bukan ahli sungai dan banjir, hanya satu yang bisa dilakukan untuk menghindari banjir. Yaitu dengan cara merekayasa aliran air hujan di dataran tinggi agar tidak langsung tumpah ke sungai. Ini, memangg, saya yakin sulit. Tapi bukan tak mungkin untuk dilakukan.
Saya, beberapa bulan yang lalu, sebelum berangkat ke Amerika, cukup gembira mendengar kabar bahwa tinggi air di sungai Keureutoe tidak naik lagi. Menurut mereka, ini berkat telah mulai beroperasinya waduk raksasa di hulu sungai Keureutoe.
Saya mulai hitung-hitung. Tak perlu lama, jika waduk itu mampu memperlambat datangnya air ke hilir tiga puluh menit saja, walaupun banjir, tentu tidak akan separah ini lagi. Apalagi mampu memperlambat sampai berjam-jam, kemudian dilepaskan secara bertahap ketika pasang surut. Kita akan bisa katakan "goodbye" kepada banjir.
Tapi sayang, itu ternyata belum terjadi. Dalam dua minggu ini, di sana masih banjir. Matangkuli masih harus bersusah hati ketika mendengar kabar di dataran tinggi telah hujan. Terus menatap air mili per mili merangkak naik di dinding rumah mereka, dan dengan gundah menunggu kapan ia berhenti dan turun lagi. Terus seperti itu. Setiap tahun.
Kita memang tidak bisa menolak hujan. Tapi aliran airnya, kemana dia harus mengalir, bisa direkayasa, bisa dimanipulasi. Jangan langsung terjun ke sungai tanpa hambatan. Di Houston, Texas, itu dilakukan. Mereka merekayasa aliran air hujan dengan mengadakan apa yang mereka sebut dengan kolam-kolam retensi dan detensi.
Gampang bilangnya, dua jenis kolam itu bertugas menampung air hujan agar tidak membanjiri kota. Kolam detensi akan dikosongkan sampai kering secara bertahap setelah badai hujan reda. Sementara kolam retensi tidak sampai kering, ia hanya akan tumpah keluar jika air di kolam mencapai ketinggian tertentu.
Mungkin kita bertanya, berapa kolam yang dibutuhkan untuk melawan banjir? Jawabannya, banyak. Maka jangan heran jika kita keliling Houston, kita akan menemukan banyak sekali kolam-kolam. Yang kadang dihias indah agar enak dipandang.
Menurut keterangan salah satu teman, orang Indonesia yang sudah lama tinggal di Houston, saya memanggilnya Pak Jol, jika kita ingin mendirikan bangunan di kota ini, kita harus menyisakan sedikit tanahnya untuk kolam retensi.
Karenanya, saya pun bisa langsung melihat sebuah masjid, yang dibangun oleh warga Texas keturunan Arab, bernama Masjid Al-Sahabah, yang di depannya ada sebuah kolam retensi besar. Pinggir kolam itu diberi tanda dengan pita kuning plastik seperti garis polisi karena banyak anak-anak yang bermain di sana.
Masih menurut keterangan teman saya itu, masjid Istiqlal Houston yang dibangun orang Indonesia itu, juga ada kolam retensi besar di belakangnya. Sayang ia tidak terlihat jika saya berdiri di depan masjid. Mungkin posisinya jauh ke belakang sana. Memang tanahnya cukup luas memanjang ke belakang.
Terus, bagaimana dengan sungai kita Keureutoe? Ia adalah makhluk Tuhan, yang tentu ada batasnya. Buat ia agar jangan terlalu kenyang dengan air ketika hujan turun. Kalau tidak, ia akan muntah.
Sungai Keuretoe itu besar, maka butuh tangan besar agar ia dapat disembuhkan. Tangan kecil, hanya mampu menulis seperti ini, yang saya pun tak yakin apakah ada manfaatnya atau tidak.
![]() |
Saya berlatarkan salah satu kolam buatan di Woodland Waterway, Houston, Texas. |
No comments:
Post a Comment