Angin berhembus. Dari utara. Membelai Texas. Kota Houstonnya. Mendung sudah empat hari betah bergelayut di langit sana. Tebal. Rata. Rendah. Tanpa celah.
Raungan pesawat terbang hanya terdengar suaranya saja. Saya mendongak. Tidak kelihatan. Mereka ada di balik awan. Apalagi matahari, yang nun jauh tinggi di atas sana, tak semiang kalam pun sanggup menampakkan diri.
Texas tiba-tiba sejuk. Padahal musim dingin masih jauh ke depan. Belum waktunya. Dingin seharusnya singgah mulai dari bulan Desember sampai mencapai puncaknya di bulan Februari nanti.
Tapi, dalam tiga hari ini, negara bagian kaya minyak ini dingin. Kolam renang hotel tiba-tiba sepi. Ditinggalkan sahibnya. Hanya gemericik air yang jatuh dari pasu di sisi kolam, yang sedikit menghidupkan suasana. Membuat airnya bergejolak seolah ada penghuni di dalamnya.
Empat belas derajat skala Celcius. Dingin. Dibantu hembusan angin, ia menggelitik sampai ke tulang. Hidungku perih. Udara kering. Saya tidak kuat. Badanku harus kubungkus jaket warna abu-abu biru muda. Jaketku satu-satunya. Kubeli dulu di Taiwan.
Namun, hari ini (18/10) rawi malu-malu sudah mulai mengintip dari celah-celah awan. Mengirim cahayanya ke tanah Houston. Terpaannya berhasil menghangatkan kulitku. Tapi, hatiku tidak, ia tetap dingin.
Aku rindu pulang...
No comments:
Post a Comment